buku

Tulisan ini seharusnya terbit dalam rangka memperingati hari buku nasional. Tentu tidak akan ketinggalan momennya. Namun, barangkali kesadaran untuk membaca, memahami sebuah buku tidak terbatas pada hari-hari tertentu saja. Bagi saya setiap hari adalah hari buku.

Saya pernah dinasihati agar menulis pada satu kajian saja sehingga tulisannya lebih tajam. Tapi hal ini justru mendukung Anekdot dalam filsafat Ilmu karya Jujun S Suriasumantri yang menyatakan suatu saat nanti akan muncul spesialis dokter telinga kiri anjing. Saking terspesialisikannya keahlian.

Namun jika kita perhatikan protes Edward Said yang merasa tersinggung dengan pertanyaan ‘mengapa profesor sastra sibuk mengurusi geopolitik?’, ada benarnya ketika dia memposisikan diri ‘bukan ahli’ dan ‘biarkan saya amatir selamanya.’ Ia kesal dengan tuntutan keahlian semacam itu.

Sampai hari ini saya belum kesampaian untuk menulis satu buku utuh yang menjelaskan pikiran saya dan bisa dibaca banyak orang. Setiap penulis pasti mendambakan karya Magnum Opusnya masing-masing. Namun jika saya perhatikan, pembuat magnum opus biasanya terjebak dalam dua situasi.

Pertama, blangsak. Misal Nietzsche dan Marx. Tulisannya mendapatkan keuntungan luar biasa justru setelah mereka mati. Tulisan, surat dan coretan Nietzsche yang menikmati adik perempuannya. Sedang Marx malah membuat salah satu anaknya mati kelaparan selama menulis.

Selama menulis Das Capital di Inggris digedur-gedur penagih utang. Saat ditagih tulisan oleh penerbit ia protes meminta waktu perpanjangan. Alasannya apabila penagih utang datang ia berhenti menulis. Sebabnya dikhawatirkan kekurangan capital akan mempengaruhi tulisan ‘Das Capital.’ Sangat istiqomah, tapi kan ngeri.

Setelah membacanya, saya takut meniatkan diri menulis magnum opus semacam itu. Saya yakin masih banyak penulis-penulis blangsak lain yang tulisannya justru bisa mengubah dunia, tapi orang itu tidak mendapatkan keuntungan apa-apa secara langsung selagi mereka masih hidup.

Yang lebih mengerikan Jose Rizal. Jelas-jelas ia Borjuis dan tuan tanah di Filipina. Karena menulis dua novel, ia dijatuhi hukuman mati oleh Kolonialis Spanyol karena dituduh sebagai arsitek pemberontakan dan orang ‘anarkis’ paling berbahaya.

Pemberontakan di Filipina dan jaringan Anarkisme global memang mendapatkan inspirasi dari novel Jose Rizal padahal dalam suratnya kepada sahabatnya ia mengaku tidak terlibat sama sekali dan berniat untuk hidup damai di Kalimantan.

“saat surat ini tiba, mungkin aku sudah dieksekusi.” Ini juga ngeri.

Waktu bertemu orang Filipina, saya basa-basi tentang Jose Rizal mereka tahu semua. Dapat julukan bapak Bangsa. Padahal ia sendiri tidak punya semangat nasionalisme seradikal itu. Bukunya menjadi magnum Opus tapi nasibnya yang buruk.

Saya pernah tanyakan juga pada kiai yang tidak mau disebutkan namanya. ‘Adakah ilmuwan Islam yang karyanya sangat penting tapi hidupnya melarat?’ Ternyata banyak juga. Saya lupa rinciannya.

Kami pun sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam sejarah Ilmuwan Islam bisa menghasilkan magnum opus namun tidak melarat. Inilah yang Kedua; dekat dengan kekuasaan. Entah pejabat, kepala perpustakaan kerajaan, pencatat kerajaan, atau terlahir sebagai pejabat dan anak sultan. Intinya menulis apapun tidak masalah toh pelayan banyak dan keluarga tercukupi.

Lain soal dengan crazy rich. Itu jelas bebas. Sama dengan Edward Said, untuk biaya meneruskan kuliah, usaha bapaknya dijual demi biaya gelar Profesor. Ada juga, Haruki Murakami, tidak kaya, bukan anak sultan. Tapi disiplin parah. Punya usaha dijual, tutup, fokus nulis. Tiap pagi konsisten olahraga dan tidak merokok.

Pramoedya A Toer merokok, novelnya dilahirkan dalam penjara. Novelnya jadi film setelah beliau tidak ada. Selama hidupnya penjualan novelnya tidak mulus. Habis dipopor senjata. Disuruh memaafkan kayak Mandela sama Goenawan Mohamad. Dapet penghargaan diboikot. Keras hidupnya.

Memang yang paling aman dekat dengan kekuasaan. Sebab sekelas Aristoteles saja, itu guru bimbelnya Aleksander Agung/ Alexander The Great/ Iskandariyah. Mesti dekat dengan kekuasaan, atau bagian dari kekuasaan. Tapi ini tidak mutlak. Terlalu dekat jadinya malas nulis.

Hanya saja, terlalu dekat dengan kekuasaan beresiko tinggi mempengaruhi karya magnum Opus. Misal hadiahnya Il Principle Nicolo Machiavelli untuk seorang penguasa, malah bisa menjadi motor kekuasaan. Dalam tradisi tulis prasasti di Indonesia, mesti ada puja-puji buat raja sebelum menyampaikan fakta. Oleh karena itu, Magnum Opus yang dibiayai oleh kekuasaan dipenuhi sambutan-sambutan yang begitu panjang. Sebab ongkos produksi dibayar dengan kata-kata manis. Secara transaksional itu sepadan.

Saya hanya mengungkapkan pilihan-pilihan. Yang jelas alternatif pasti ada. Sumber tulisan hari ini, dengan kecermatan tertentu, tidak menghabiskan begitu banyak biaya seperti era-era pra-digital.

Namun, ada kekhawatiran cara kita membaca di zaman digital telah sangat berubah dari cara membaca pada zaman sebelumnya.

Nicolas Carr (2011) menulis bahwa cara kita meraih informasi dari internet sebenarnya lambat laun mengubah cara kita membaca atau merekonstruksi kata-kata yang dilihat oleh mata.

Sederhananya, orang-orang semakin kesulitan membaca secara mendalam karena cara kerja membaca kita meniru sirkulasi informasi yang melebihi kapasitas visual, hiperteks. Menurut saya tulisan Carr lebih mirip film horor. Ia melengkapi semua argumennya dengan penelitian-penelitian yang menyeramkan.

Jikalau kita berhasil membuat magnum Opus, lantas bagaimana jika para pembaca kita sudah berubah?

Pada masanya, para komentator Filsuf Yunani, komentarnya bisa menjadi magnum opus baru. Sedangkan saat ini para intelektual kampus didorong untuk melakukan penelitian terindeks scopus yang jaraknya dengan pembaca semakin jauh lagi.

Dengan situasi ini, generasi pembaca internet akan menyederhanakan penelitian sebatas membaca abstraknya saja. Jadi kalaupun kita berhasil menciptakan magnum opus, diabad digital ini kita kehilangan pembaca.

Barthes mengatakan ‘Penulis mati ditangan pembaca,’ ia lupa menambahkan, para pembaca kemudian menyusulnya ke alam baka.

Selamat hari buku. Membaca adalah kemewahan.

*dibawah beberapa tulisan saya yang nyempil dalam buku/jurnal kumpulan tulisan. (IZ)

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] dan sarana menulis sekarang melimpah ruah. Laptop, komputer, hp, facebook, instagram, twitter, dan berbagai media […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini