Salah satu kesibukan generasi-generasi milenial adalah memboroskan umur dengan menyoal yang remeh-temeh sampai lupa substansi, sibuk berdebat perihal kulit hingga lupa isi, lupa belajar karena sibuk menghakimi dan mempersetankan yang berbeda. Tapi, ngomong-ngomong, mengapa harus berilmu dulu baru beramal? Oke, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan. Bukankah ayat yang mula-mula turun adalah perintah membaca, belajar, menyibak lautan makna!
Contoh konyol, kalau Anda salat jumat tapi malah menggunakan niat puasa, maka Anda tidak sembahyang tapi olah raga. Jika Anda sedekah gunting dan sisir untuk mereka yang tidak berambut sebanyak lima kontainer semata karena ingin dipuji calon mertua teman, maka Anda sedang buang-buang harta. Apabila Anda haji tiap bulan, umroh tiap minggu, salat malam hingga kepala bertanduk, pakai gamis rangkap lima, serban melilit sebesar parabola, tapi Anda melakukan itu semua tanpa ilmu, salah aturan pakai, sia-sialah yang hebat-hebat itu tanpa ilmu.
Semua prasyarat sebelum ibadah, juga muamalat adalah wajib ‘aqil-baligh. Apa itu?
‘Aqil adalah mendayagunakan mekanisme intelektual dengan benar, dengan itu manusia akan sampai pada konteks-konteks kebenaran (baligh). Bahkan, agama ini adalah rasionalitas (ad-dinu ‘aqlun), barangsiapa yang tidak menggunakan akal-sehatnya, maka dia tidak beragama (la dina li man la ‘aqla lahu). Lanjut nggak, pemirsah? Oke-oke, sambil ngopi, ups…
Jika Anda tidak menjumpai hambatan dalam hidup, kemungkinannya cuma dua, yakni: Anda tidak pernah melangkah atau melangkah tapi jalan di tempat. Di sinilah seni berislam. Jadi, kurikulumnya Al-Qur’an dan Al-Hadis, juga ajaran dan tuntunan para ulama (ijma’ dan qiyas) masa belajarnya seumur hidup, dan terapan-terapannya dalam berbangsa-bernegara, juga bermasyarakat dan dalam rumah tangga.
Lazimnya, kita senantiasa tancap gas dalam hidup, Nabi Muhammad Saw malah mengajarkan manusia melaju dengan cara melambat, menginjak pedal rem bahkan untuk yang halal sekalipun. Oleh karena itu, Allah menghadiahkan kita bulan Ramadan. Makan-minum halal, tapi kita tahan dan sabar sampai azan magrib berkumandang. Istri sendiri halal, tapi Anda tunggu sampai habis tarawih (kalau tidak kuat, begitu azan silahkan!)
Nah, ilmu menahan diri adalah ilmu kedigdayaan tingkat tinggi: menahan diri dari memubazirkan sumber daya, dari kesia-siaan berdebat soal mazhab dan budaya cadar atau lelaki pakai daster, soal ganti presiden atau ganti kalender tahun depan, soal betis istri tetangga dan godaan janda-janda Nusantara, soal lain-lain, yang padahal Anda bukan orang lain, Anda adalah diri Anda sendiri. Ilmu menahan dan mengendalikan diri ini hanya dimiliki para Begawan dan Resi. Ilmu yang hanya akan kita capai dengan puasa, upawasa, bukan sembarang puasa, tapi jiwa-raga, mendekat pada dang Mawla.
Apabila kita sedikit mau merenungi dan menginsyafi, hidup dilambangkan dengan makan-makan, Nabi Muhammad Saw justru menjadi antitesa dengan menahan, membelokkan dan mengendalikan nafsu dengan cara-cara yang manusiawi. Contoh: kaya itu boleh, yang tidak boleh adalah menyalahgunakan kekayaan dan lupa diri bahwa terdapat hak-hak orang lain dalam kekayaan kita.
Memiliki jabatan dan kedudukan itu baik, yang dosa adalah penyalahgunaan jabatan dan kedudukan, begitulah seterusnya.
Sangat boleh jadi bahtera besar bernama Indonesia dan Islam akan karam oleh kebocoran kecil, dan anehnya kita sendiri yang melubangi itu hari demi hari dengan menyia-nyiakan umur. Maka, waktu-waktu salat (di mana kita menyebut Allah dan Nabi dalam bacaan tahiat) seharusnya menjadi momen untuk kita menginsyafi keteledoran-keteledoran kita. Lantas, masihkah ada kesempatan? Masihkah ada yang peduli pada waktu salat? Jika peluang tak pernah mengetuk, pasanglah pintu!. [HW]