Semakin tidak terkendali. Itu kalimat yang pas menggambarkan sedikit kondisi masyarakat Indonesia. Bukan untuk menakut-nakuti, hanya sebagai sikap untuk berhati-hati. Segala kemungkinan ada disekitar kita.

Bagaimana tidak, trend negative terus berhembus. Media juga turut berperan aktif dalam merubah arus mindset masyarakat Indonesia. Di kota yang pesebarannya mengalami peningkatan bila dibandingkan di pelosok desa.

Penulis bermukim di kota pendidikan Jawa Timur. Awal diumumkan satu orang positive. Ditambah pelarangan bersifat masal dan sekolah-sekolah diliburkan. Kota ini seperti kota mati. Tanpa lalu lalang kendaraan.    

Lain halnya penduduk desa ayem tenteram awalnya. Kini mulai gupuh (jawa red: resah) dengan datangnya wabah covid-19. Informasi yang didapat melalui beberapa televisi sekaligus sosialisasi pemerintah desa yang kurang. Banyak kesimpang siuran dan keteledoran. Meminjam istilah Friedrich Goltz, masyarakat pedesaan yang polos dan lugu bisa disebut “katak rebus”. Filsuf Jerman itu menganalogikan bahwa katak akan bereaksi ketika air sudah mendidih panas. Seperti masyarakat yang enak-enakan di tempat nyaman, lalu baru kalang kabut jika sudah kejadian.

Lain lagi Para Kiai. Pimpinan pondok pesantren diseluruh nusantara yang memiliki banyak santri mengambil langkah cepat. Memulangkan santri dan membekali wejangan-wejangan serta ijazah/hizib merupakan ciri khas yang tidak diperoleh di sekolah formal.

Lagi-lagi Kiai. Yang sangat gati dan tresno kepada santri yang masih stay di pondok.

Bentuk ikhtiar sangat ditekankan. Seperti yang diinstruksikan oleh pemerintah pusat. Penyemprotan masal dilakukan. Melihat video yang tersebar dipondok-pondok ada yang disemprot ketika keluar gerbang pondok, masuk bilik disinfektan, atau disemprot ketika duduk di aula besar pondok. Terlihat unik seperti vaksin di kandang ternak. hehehe. Tapi mau bagaimana lagi? Ambil risiko terkecil bukan?

Baca Juga:  Belajar Pemaaf dan Tidak Mempermalukan Orang Lain Seperti Rasulullah SAW

Sedang tawakal kita belajar benar-benar kembali kepada Allah SWT. Namun disini kita selayaknya tidak terkecoh dengan jargon “Tidak usah takut dengan wabah, Takutlah dengan Allah”. Argumen itu salangatlah tidak rasional. Mengesampingkan bahwa kita sebagai makhluk untuk berusaha.

Kembali ke awal. Sedikit berbagi yang penulis dapatkan ijazah gelang janur untuk tolak bala’. Malam itu semua santri membaca burdah di masjid Baiturrahman. Masjid yang cukup luas untuk menampung santri sekitar 500-an seperti sayu. Kenapa?

Malam perpisahan. Kiai akan memberikan wejangan, karena semua santri akan dipulangkan. “Mboten ati, kulo wangsulaken santri” (tidak enak hati, saya memulangkan santri), dhawuh beliau yang masih terngiang. Tak sedikit mata santri yang berbinar-binar. Ada juga yang sentrap-sentrup (terisak haru). Termasuk penulis juga.

Beliau syaikhuna murabbi rukhina KH. Ahmad ‘Arif Yahya. Penerus estafet ayahanda KH. Muhammad Yahya, seorang pejuang sekaligus mursyid thariqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Dengan alamat jalan Gading Pesantren 38 Malang, lazim disebut Pondok Gading.

Ijazah yang diterima beliau dari Almaghfurlah KH. Abd. Jalil, atas intruksi dari Bu Nyai Abdul Jalil. Kaifiyahnya (tata cara) sebagai berikut :

Pertama, tawassul. Ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, alm.  Almukarram KH. Abdul Jalil, Bu Nyai Abdul Jalil, KH. Ahmad Arif Yahya yang mengijazahi. Dan terakhir Gus Sholahudin (Gus Saladin).

Kedua, membuat gelang dengan melanggengkan membaca shalawat Tibbil Qulub sampai gelang janur tersebut jadi.

Beliau juga menambahkan. Jika memang benar-benar lupa membacanya. Bisa dengan membaca shalawat Tibbil Qulub sebanyak 11x, kemudian ditiupkan. Tawassul  dan al-Faatihahnya juga di awal.

Atas perintah ibu, penulispun mudik.

Di lingkungan musala, juga telah beredar gelang janur. Ketika saya konfirmasi juga sama dari Pondok PETA (Pesulukan Thariqah Agung). Berlokasi di barat alun-alun Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.

Baca Juga:  Kepemimpinan Orang Jawa Ketika Menghadapi Pagebluk

Perlu digaris bawahi. Janur bukan mencegah. Hanya sebagai media, sama seperti kita pergi ke Surabaya. Via travel, kereta api, mobil, atau sepeda motor. Tujuannya sama. Ke Surabaya. Mengharap rida-Nya, agar wabah sirna, melalui doa, usaha dan washilah-washilah kekasihNya.

Mujarabkah atau tidak?

Huznudzan. Haqqul Yakin. Wawllahua’lam bishowab. [HW]

Finalis 10 Besar Sayembara Menulis Santri 2020 (Ramadan, Santri, dan Covid-19).

Madchan Jazuli
Santri PP Miftahul Huda Malang Jawa Timur, Ketua PR IPNU Karanganom dan diamanahi lembaga pers PAC IPNU Durenan Trenggalek

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini