Buku yang ditulis Dr. Tariq Suwaidan berjudul “Biografi Imam Syafi’i: Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid” ini, bagi saya sangat berkesan. Di buku inilah pertama kali saya mengetahui bahwa bakat yang pertama kali dikuasai oleh Imam Syafi’i sewaktu muda adalah bakat kepenyairan, bukan bakat dalam bidang fiqih, sekalipun pada usia itu pula Imam Syafi’i sudah menghafal Kitab al-Muwaththo’ yang dikarang oleh Imam Malik.
Jika kita baca lebih lanjut, ambisi Imam Syafi’i dalam menekuni fiqih justru terjadi setelah ia dipuji sekaligus mendapat teguran dari seorang laki-laki dari Bani Zubair. Ia berkata, ‘Wahai Abu Abdullah, aku sangat menyayangkan jika kefasihan bahasa dan kecerdasanmu ini tidak disertai dengan ilmu fikih. Dengan fikih, kau akan memimpin semua generasi zamanmu.’[1]
Setelah mendengar teguran tersebut, Imam Syafi’i lantas bertanya siapa ahli fiqih yang otoritatif di zaman itu, lalu bersegera diri meminjam kitab al-Muwaththo’ dari seseorang, menghafalnya dalam waktu sembilan malam, lalu bersiap berangkat ke Madinah menemui Gubernur Madinah dan Imam Malik.
Kepada Siapakah Imam Syafi’i Mempelajari Syair
Bani Hudzail, adalah tempat di mana Imam Syafi’i mempelajari bahasa Arab fasih, menghafal syair-syair mereka, dan hidup di tengah-tengah Bani Hudzail selama 17 tahun. Bani Hudzail merupakan suku Arab yang paling fasih bahasanya, tinggal di sebuah dusun di Makkah. Bani Hudzail juga dikenal sangat mahir dalam bidang ilmu bayan dan syair.
Keseriusan Imam Syafi’i dalam mempelajari bahasa Arab fasih ia lakukan untuk menghindari kesalahan dalam berbahasa yang saat itu dialami oleh banyak orang di kota-kota besar akibat percampuran interaksi dengan orang-orang non-Arab.
Berfatwa dengan Syair
Tatkala Imam Syafi’i telah sangat alim dalam bidang fiqih, memunyai banyak murid dan majelisnya senantiasa ramai di Baghdad dan Madinah, datang seorang pemuda membawa selembar kertas dan disampaikannya kepada sang Imam. Melihat hal itu, sang Imam pun tersenyum dan menuliskan sesuatu di atas kertas. Pemuda tadi lantas pulang. Orang-orang yang melihat kejadian tadi pun penasaran, kira-kira apa permasalahan fikih apa yang ditanyakan oleh si pemuda dan apa jawaban yang ditulis oleh sang Imam. Lantas, dikejarlah pemuda tadi. Tatkala dibuka, lembaran kertas itu ternyata berisi pertanyaan seputar cinta. Di situ si pemuda menulis sebuah syair,
سل المفتي المكي هل في تزاور * وضمة مشتاق الفؤاد جناح
Tanyakan kepada mufti Makkah, dosakah dua orang yang saling merindu * untuk saling mengunjungi dan berpelukan
Imam Syafi’i pun menuliskan,
معاذ الله أن يذهب التقى * تلاصق أكباد بهن جراح
Na’udzu billah, jika keterikatan hati kepada perempuan * dapat menghilangkan ketakwaan pada diri seseorang
Setelah membaca syair tersebut, orang-orang pun terkagum-kagum. Lantas si pemuda tadi kembali datang untuk bertanya,
سال المفتي المكي من ال هاشم * إذا اشتدّ وجد بامرئ كيف يصنع
Tanyakan kepada mufti Makkah yang berasal dari keluarga Hasyim * Jika rasa cinta terhadap seseorang semakin besar, apa yang harus dilakukannya?
Imam Syafi’i menjawab
يداوي هواه ثم يكتم حبه * ويصبر في كل الأمور ويخضع
Ia harus mengobati hawa nafsunya dan menutupi cintanya * serta bersabar dalam segala hal dan pasrah
Entah bagaimana ceritanya, di lain waktu, pemuda tersebut datang kembali pada Imam Syafi’i dan menanyakan sesuatu yang nampak mendesak
فكيف يداوي والهوى قاتل الفتى * وفي كل يوم غصة يتجرع
Bagaimana caranya mengobati hawa nafsu, padahal ia adalah penyakit yang dapat membunuh pemuda? * Setiap hari ia menjadi sesuatu yang menyumbat tenggorokannya hingga ia menderita karenanya
Sang Imam pun menjawab,
فإن هو لم يصبر على ما أصابه * فليس له شيء سوى الموت أنفع
Jika ia tidak bersabar atas apa yang ia alami * Maka tak ada yang lebih bermanfaat baginya selain kematian.
Melihat kemampuan gurunya tersebut, para murid Imam Syafi’i sangat terkagum-kagum. Dr. Tariq Suwaidan kemudian menjelaskan, ‘salah seorang dari mereka bertanya kepada Imam Syafi’i, “Bagaimana bisa engkau berfatwa seperti ini?”. Imam Syafi’i menjawab bahwasanya pemuda tersebut adalah seorang yang baru menikah.
Namun keluarga dari istri menunda-nunda pesta pernikahan. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan ini tak lain berkenaan dengan hubungannya bersama istrinya. Imam Syafi’i memberikan jawaban akan kebolehan melakukan keinginannya. Ini adalah fatwa khusus yang berhubungan dengan pribadi seseorang, bukan fatwa umum untuk masyarakat. Imam Syafi’i sangat mengetahui kondisi dan latar belakang pemuda tersebut, sehingga dapat menjawab sesuai keadaan yang dialami si pemuda. Wallahua’lam. []
[1] Suwaidan, Tariq. Biografi Imam Syafi’i. Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid. h. 35