Ijazah Cuma Selembar Kertas Penindas Ilmu

“Kuliah dimana mas?”

Pertanyaan itu mungkin sekilas terlihat hanya biasa saja. Namun, bagi saya pertanyaan itu sangat menyebalkan.

Perjalanan Jogja-Lampung membutuhkan waktu sehari semalam jika ditempuh dengan kendaraan darat. Dan tentunya  itu sangat membosankan bagi saya. Untuk menghilangkan kebosanan, saya selalu mengajak berkenalan dan mengobrol ringan dengan orang yang duduk disamping saya. Tapi selalu saja pertanyaan itu muncul.

Pertanyaan  seperti itu tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Tentunya dengan orang yang berbeda-beda dan tempat yang berbeda pula. Jika ada pertanyaan seperti itu, biasanya saya hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman.

Saya sebal bukan karena saya tidak kuliah, tapi karena pertanyaan itu berpandangan seolah-olah pendidikan hanya kita dapat dari bangku-bangku pendidikan formal saja. Padahal tidak. Dunia ini luas, Gan!.  Dan saya rasa pertanyaan seperti itu lebih baik diganti “mencari ilmu di mana mas?” pertanyaan seperti itu saya rasa lebih ringan, berbobot dan lebih luas.

***

Tapi sayang, di negara +62 keilmuan seseorang tak benar-benar dihargai. Yang dihargai justru hanyalah selembar kertas bertuliskan angka-angka dan gelar singkatan-singkatan yang dapat menambah daya tarik nama seseorang.

Sekolah sekarang seolah-olah hanya menjadi ajang pencarian kertas saja. Ijazah masa sekarang hanyalah alat penindasan ilmu. Orang lebih mengutamakan ijazah dari pada ilmu.  karena ilmu tanpa ijazah, di negara +62 tak akan diakui. Makannya banyak sekali orang yang memburu Ijazah.

Semua itu dilakukan demi  mendapat pekerjaan yang lebih baik. Karena terlalu mengkhawatirkan pekerjaan, banyak orang ketakutan menempuh pendidikan non formal. Padahal, Pendidikan bisa kita peroleh dari mana saja dan pendidikan formal bukanlah satu-satunya jalan.

Pendidikan formal hanya berkutat pada teks-teks yang bersifat tekstual dan kaku, tak seperti pendidikan non formal. Pendidikan non formal lebih efisien karena bisa memilih berdasarkan minat dan passion masing-masing dan tentunya tak terlalu tekstual.

Baca Juga:  Genealogi Pendidikan Pesantren sebagai Global Peace

Makannya orang-orang pendidikan non formal biasanya lebih menghargai karya dan ilmu dari pada hanya selembar ijazah berisikan angka-angka.Dan banyak juga kok, cendekiawan-cendekiawan yang lahir dari pendidikan non formal.

Baru-baru ini ranah keislaman Indonesia sedang digemparkan seseorang bernama Bahaudin Nursalim atau lebih dikenal dengan nama Gus Baha. Keilmuan tafsir Alquran dan fikihnya membuat UII menghadiahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada Gus Baha. Meskipun akhirnya beliau menolak gelar itu.

Putra dari Kiai Nur Salim dan Nyai Yuhanidz menempuh keilmuan dan menghafal Alquran dibawah asuhan keluarganya sendiri. Diusianya yang masih sangat muda Gus Baha sudah mampu mengkhatamkan Alquran dan mengkhatamkan Ilmu bacaan Alquran tingkat tinggi riwayat imam Nafi’  Madinah, imam Ibnu Katsir Mekkah, imam Ibnu Amir di Syam, imam Ibnu Amr di Basrah, dan imam ‘Ashim, Hamzah, dan Al-Kisai, yang kita kenal dengan Qiraah Sab’ah.

Gus Baha kemudian melanjutkan pendidikan non formal di Pesantren Al-Anwar Asuhan Kiai Maimoen Zubair. Di Pesantren inilah beliau mendapatkan ilmu Fikih, Hadis, Tafsir Alquran dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Dalam pengembaraannya, beliau tak membutuhkan gelar. Tak terlalu tunduk para akademisi, tak terlalu kaku dan ceramah-ceramahnya begitu merakyat, tak berbelit-belit menggunakan bahasa ilmiah. Dan tentu keilmuannya tak dapat diragukan lagi.

Ya, Saya sendiri lebih suka mendengarkan ceramah beliau dari pada mendengarkan ustaz bergelar Lc., M.A. yang membahas lagu anak-anak balonku ada lima dan naik-naik ke puncak gunung adalah lagu sesat, habis itu klarifikasi minta maaf. Bisa bahaya seorang mengisi kajian dengan gelar seperti itu tapi tidak diimbangi dengan keilmuannya. Anehnya, ada saja orang yang mengikutinya, bahkan banyak.

Atau jangan juga seperti ustaz YouTube yang bahkan tak jelas keilmuannya ceramahnya kemana-mana, bicara hadis, fikih, tapi ngajinya kacau balau. Ijazah dan gelar memang tak penting, tapi bukan berarti kita tak menempuh pendiddikan.

Baca Juga:  Napak Tilas Pendiri Yayasan Pendidikan Raudlatul Ulum Guyangan

***

Ada banyak jalan untuk mengamalkan kalimat pembukaan UUD 19945 “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selain pendidikan formal  Kita bisa belajar dari rumah atau yang lebih dikenal dengan Homeschooling, atau pendidikan islam yang lebih berkualitas seperti pesantren, atupun lewat sanggar-sanggar, komunitas-komunitas keilmuan lainnya. Dan tentunya juga harus ada guru yang mumpuni di bidangnya.

Satu-satunya jalan sukses hidup bukanlah hanya dari pendidikan formal yang menghasilkan ijazah dan gelar. Yang terpenting kita belajar di mana pun dan kapan pun. Sekolah memang baik bagi mereka yang tujuannya mencari ilmu, tapi tidak bagi mereka yang hanya mencari gelar dan selembar kertas bertuliskan angka-angka hanya buat ngibulin orang banyak. [HW]

Muhamad Ulinnuha
Santri Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem Yogyakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini