Dua Begawan Ilmi Nusantara

“Dengan tanpa mengecilkan ulama-ulama yang lain”, para muhibbin ilmi sempat kehilangan momentum semangat ketika maestro fiqh nusantara KH. Sahal Mahfudz dari Kajen Pati Jateng wafat. Keluasan fiqh beliau dalam mengayomi kemajemukan permasalahan di jaman sekarang sangat “luwes”.

Lahir di lingkungan santri membuat beliau terbiasa dengan didikan ala pesantren yang mengedepankan disiplin penguasaan ilmu-ilmu agama. Setelah belajar di bawah asuhan kedua orang tuanya, Sahal muda beringsut ngangsu kawruh pada Kiai Muhajir di Pesantren Bendo, Kediri. “Ia kemudian hijrah ke Sarang, Rembang, ngaji di bawah asuhan Kiai Zubair (ayah kyai Maimoen Zubair)”. Setelah menuntaskan dahaga keilmuannya di Sarang, Sahal melanjutkan petualangan intelektual ke Timteng.

Tidak seperti ulama-ulama kebanyakan berdakwah melalui ceramah dan pengajian, Kiai Sahal adalah sosok yang memilih tulisan sebagai wahana untuk mengeluarkan gagasan sekaligus sebagai media perjuangan. Ia memilih “jalan sunyi”.

Puluhan karya dihasilkan dari pemikiran, antara lain: Thariqatul Ushul ila Ghayati, Luma’aul Hikmah, Faraidul Ajibah, Nuansa Fikih Sosial, dan Pesantren Mencari Makna.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa Kiai Sahal adalah sosok yang jago dalam bidang fikih sejak usia muda. Kiai Sahal kerap menjadi rujukan tempat bertanya yang acap kali menjelma sosok pemecah kebuntuan dalam forum-forum pembahasan masalah fikih (bahtsul masail) di lingkungan pesantren.

Beliau menawarkan pendekatan kaidah fikih yang berbunyi: “idza taaradha mafsadatani ru’iya a’dhamuha dharran birtikabi akhaffihima“.

Artinya kurang lebih: dalam kondisi menghadapi dua persoalan yang sama-sama mengandung unsur mafsadah, maka jalan terbaik adalah memilih yang unsur mafsadahnya lebih ringan.

Misal dalam konteks lokalisasi dan prostitusi (tentu zina dosa besar), kita dihadapkan pada dua pilihan mafsadah, yakni membiarkan prostitusi dengan segala rangkaian kejahatannya di tengah masyarakat atau melokalisasinya sehingga mudah untuk melakukan kontrol dan menentukan kebijakan.

Baca Juga:  Dari Nahwu Ilmi ke Nahwu Ta'limi

Dengan paradigma (cara pandang) fikih sosial sesungguhnya pilihan me-lokalisasi adalah hal yang bisa “ditoleransi”. Sebab dampak serta mafsadah yang dikandung dalam lokalisasi prostitusi lebih kecil dibandingkan jika kita membiarkannya begitu saja.

Pada sebuah tulisannya dalam Nuansa Fikih Sosial (2004), Kiai Sahal menyatakan, “Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur’an maupun Hadis sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya.

Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh. Selain keluasan bacaannya yang menembus sekat-sekat disiplin keilmuan adalah kegigihannya dalam memperjuangakan gagasan fikih sosial. Kiai Sahal memperjuangkan bagaimana fikih bukan semata “didudukkan sebagai kebenaran ortodoksi”, namun dijadikan sebagai wahana “pemaknaan sosial”.

Dalam pandangan Kiai Sahal, jika fikih sebagai kebenaran ortodoksi berujung pada pola “mendudukkan realitas kepada kebenaran fikih”. Sebaliknya, fikih sebagai pemaknaan sosial berarti menjadikan fikih sebagai wacana pembanding dan penyanding dalam bingkai kehidupan sosial kemasyarakatan. Seperti halnya contoh diatas maka secara Syariat jelas praktek prostitusi adalah “Haram” tanpa pengecualian. Tetapi kaidah fiqh disamping amar’makruf nahi mungkar juga perlu melihat masfadah mudharat apabila tidak adanya lokalisasi maka penularan peyakit, meyebarnya para penjaja sex tentu menjadi masalah besar di masyrakat.

Maka jelas, fikih tidak hanya memiliki corak “hitam-putih”. Di tangan Kiai Sahal, fikih menjadi lebih berwarna. Ia bukan saja memberikan jawaban yang tidak hitam-putih, tapi sekaligus selalu berupaya mencari solusi bagi problematika kemasyarakatan secara luas. Kiai Sahal Mahfudh wafat 24 Januari 2014. Begawan fikih sosial itu bukan saja meninggalkan keteladanan dan kisah kebijaksanaan, tapi juga warisan keilmuan yang begitu mendalam.

Baca Juga:  Hadapi Revolusi Industri 4.0, RMI NU dan Arsitek UINSA Gelar Simposium Pesantren

Sepeningal beliau bisa dikatakan kita “kehilangan” samsudin (matahari) yang bisa jadi cahaya dakwah guna mengcounter derasnya aliran faham radikal dalam memahami teks-teks dalil yang diusung mubaligh (orator) manhaj wahabi (jalan wahabi) yang begitu keras tabdi, takfiri & hujum (meyerang) amaliah umat muslim diluar kelompoknya.

Dengan kekuatan finansial yang kuat para mubaligh manhaj wahabi membanjiri media-media dakwah baik cetak maupun elektronik. Ditengah gempuran faham wahabiyah disaat kita umat muslim butuh “sosok” yang tepat dan selevel Kyai Sahal Mahfudz.

Lagi-lagi dari arah Rembang muncul sosok fenomenal yang melibas, membanjiri berbagai media elektronik medsos khususnya. Tidak perlu dukungan finansial besar seperti faham wahabiyah, para muhibbin (pecinta) ilmu langsung bergerak secara masif untuk membanjiri media-media sosial dengan dakwah keilmuan sosok yang tak kalah hebat dari KH. Sahal Mahfudz.

Adalah putra asal Narukan Rembang, penampilannya yang sederhana, justru menunjukkan kepercayaan dirinya yang kuat. Tak ada serban yang menjuntai ataupun jubah. Bahkan, cara memakai pecinya seperti santri yang sedang leyeh-leyeh (santai) di serambi asrama.

“Kemewahan beliau adalah saat mengutip beragam riferensi kitab-kitab klasik. Bahasanya yang sederhana dan lugas, mudah dicerna”.Gus Baha’ mungkin berhasil menyembunyikan kealimannya dibalik penampilan sederhananya itu, tapi ketika beliau berbicara beliau selalu gagal menampakkan bahwa beliau adalah orang biasa. Ketika berbicara Gus Baha’ benar-benar bagaikan lautan ilmu yang airnya meluber kemana-mana.

Tiap ucapnya selalu mempunyai bobot keilmuan, kesederhaan dan ketawadhu’annya, hingga akhlak beliau yang apa adanya tanpa harus menjaga wibawa ‘kealimannya’ dihadapan siapapun.

Orang-orang seperti Gus Baha’ seakan ingin menegaskan bahwa kemuliaan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan penampilan atau pakaian.

Sama seperti Sayyidina Umar yang kala itu diminta untuk mengganti bajunya yang dipenuhi oleh belasan tambalan. Beliau menjawab :

Baca Juga:  Manaqib Buyut Habib Luthfi Bin Yahya, Habib Umar bin Thaha bin Yahya

” نحن قوم اعزنا الله بالاسلام .. فإذا ابتغينا العزة من غيره اذلنا الله.. “

Kita ini adalah kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kita..

والله اعلم

Musa Muhammad
Santri Pondok Pesantern as Syidiqiyah Bumirejo Kebumen.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama