Memaknai Syukur

Beberapa hari yang lalu bapak memimpin doa dalam rangka tasyakuran gedung baru yang akan dipergunakan oleh salah satu unit usaha BUMP (Badan Usaha Milik Pesantren) Fathul Ulum, yaitu unit penjilidan dan percetakan. Sebagaimana biasa, bapak selalu memberikan sedikit sambutan sebelum memimpin doa.

Dalam pembukaannya, bapak menjelaskan tentang tujuan pembangunan gedung ini: ”Panggenan niki diniati pados rizki, mangke lek pun hasil rizkine kadamel ngeramut agomo (tempat ini dibangun dengan tujuan mencari rezeki, nanti bila sudah mendapatkan rezeki, digunakan sebagai bekal merawat agama islam)”. Penjelasan ini penting diutarakan, karena memang kebetulan yang hadir di dalam majelis tasyakuran ini sebagian besar adalah masyarakat sekitar yang berdekatan dengan gedung baru tersebut. Keterangan ini menjadi semakin penting disampaikan sebagai penjelasan atas tujuan besar segala kegiatan ekonomi di dalam pesantren. Semua aktivitas ekonomi ini memang bertujuan mengambil keuntungan sebagaimana umumnya usaha, namun ada perbedaan besar dalam tujuan besarnya, yaitu sebagai motor pengembangan agama islam lewat pesantren.

Tak hanya kepada masyarakat, ketika di rumah pun bapak selalu mengarahkan kami, anak-anaknya untuk selalu mencurahkan harta benda dan segala usaha demi pengembangan pondok. Yang ke semua itu demi pengembangan agama islam juga. Seperti contoh, di setiap bapak membeli tanah, maka beliau akan selalu mengutamakan pembelian tanah yang berkaitan erat dengan pengembangan pondok ke depannya. Pun ketika akan berusaha melunasi pembayaran tanah, bapak selalu mengingatkan kami: ”ngeneki kabeh diniati kanggo ngembangne agomone gusti Allah. Insya Allah enteng. (semua ini diniati sebagai usaha mengembangkan agamanya gusti Allah. Insya Allah akan dimudahkan oleh Allah)”.

Sudut pandang bahwa semua yang diusahakan oleh pondok, dan terutama bapak, adalah demi pengembangan agama, seringkali luput dari kesadaran masyarakat umum. Ada beberapa orang yang menganggap pondok sebagai industri, bahkan ada yang menganggap bapak saya selayak tuan takur, ingin menguasai semua lahan di kwagean demi kepentingan pribadi. Sikap ini yang akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk menaikkan harga tanah berkali-kali lipat ketika akan menjual tanah kepada bapak dan atau pondok. Bahkan ada beberapa orang yang melarang keras saudara atau tetangganya untuk menjual tanahnya kepada pondok. Semua perlu dijelaskan, agar tak ada lagi salah faham.

Baca Juga:  Kitab Mafatih Al-'Ulum: Al-Khawarizmi (2)

Pun bagi pihak internal pondok, pemahaman bahwa niat awal usaha adalah untuk mencari rezeki perlu ditanamkan, agar selalu tertanam jiwa profesional. Dan ketika sudah mendapatkan rezeki, semua harus memahami dan mengetahui bahwa semua itu ditasyarufkan demi pengembangan agama.

Setelah dibuka dengan penjelasan tujuan besar pembangunan gedung, bapak menambahi keterangannya akan pentingnya harta bagi agama: ”Bondo dunyo tok, urusan agomo tok, niki mboten saget dipisah. Mangke mlakune pincang. Ten tengah masyarakat kersane mlakune apik geh kedah mlaku sareng kalih-kalih e niki (harta dunia saja, atau mengurusi agama saja, ini keduanya tidak bisa dipisah dan berjalan sendiri-sendiri. Nanti jalannya akan pincang, tidak bisa seimbang. Ditengah masyarakat, agar jalannya baik, seimbang, maka harus berjalan bareng dua-duanya ini)”.

Setelah dijelaskan niat utama usaha dan niat agung selanjutnya dari mencari rezeki, bapak menjelaskan bahwa semua ini bukan wujud hubbud dunya. Akan tetapi memang harta dan agama sangat berkait erat. Bahkan di beberapa literatur dijelaskan selayak anak kembar yang saling melengkapi. Bila keduanya bisa berjalan dengan baik bersama, maka akan baik juga perjalanan perjuangan kita di tengah-tengah masyarakat.

Setelah mendapatkan rezeki, bapak mengingatkan kita untuk selalu bersyukur. Sebagaimana dawuh:

النعم اذا شكرت قرت، واذا كفرت فرت

(Ketika nikmat rezeki disyukuri, maka dia akan tetap. Dan ketika dikufuri, maka dia akan hilang)

Bapak menjelaskan: ”Disyukuri maksude ditasarufake mareng dalan kang sak mestine. Mongko tetep. Tapi lek nikmat ditasyarufake marang dudu dalane, mongko bakale mlayu. Ilang nikmate (disyukuri yang dimaksud di sini adalah dengan mentasyarufkan nikmat atau rezeki tersebut di jalan yang semestinya, kalau bisa seperti itu, maka nikmat atau rezeki tersebut akan tetap. Namun bila dikufuri, atau tidak ditasyarufkan pada jalur yang seharusnya, maka nikmat atau rezeki tersebut akan hilang)”.

Baca Juga:  Al-Būtī: Dosa Batin Lebih Berbahaya

Jalan yang semestinya ini menurut bapak adalah jalan yang tidak melanggar aturan. Dalam artian, ketika rezeki yang diberikan kepada kita digunakan untuk hal-hal yang tidak melanggar aturan, dan baik, maka itu wujud syukur juga. Pun sebaliknya, sebaik apapun rezeki atau nikmat tersebut, bila ditasyarufkan kepada sesuatu yang melanggar aturan, maka itu dianggap kufur nikmat. Sebuah definisi sederhana yang menurut saya mudah difahami. Meskipun tetap saja sulit untuk diaplikasikan kepada diri.

Semoga kita selalu bisa bersyukur, agar tetap sehat, sejahtera, dan bahagia. []

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah