Kritik jika disampaikan secara langsung, seringkali terasa panas di telinga, panas di hati. Tak peduli yang menyampaikan siapa dan selembut apa. Setidaknya begitu yang kerap saya rasakan. Terutama tentang tingkat kerapihan saya mengatur barang.
Kamar yang saya huni lebih sering terlihat seperti ruang pameran seni instalasi daripada galeri artistik yang tertata rapi. Tanpa adik-adik santri piket atau mbak-mbak khadimah entah berapa elusan dada dan gelengan kepala hopeless yang saya terima ketika di pondok.
Salah satu kerabat pernah meramalkan, bahkan, bahwa hanya ibu mertua luar biasa sabar yang akan menyerahkan anaknya untuk menjadi pasangan saya.
Namun meski bertingkah cuek dan masabodo-berpikir positif bahwa saya memiliki kelebihan lain di luar kecakapan saya mengatur urusan domestik, tak urung melihat mbak-mbak piket dan khodimah membuat saya ngeper tidak pede.
Teringat pada fakta itulah, novel Dua Barista (2B) karya Ning Nazhaty Sharma membuat saya terpikat. Tokoh utama novel ini, Mazarina, digambarkan sebagai pengasuh pondok yang cerdas, pintar, berbakat, alimah namun tidak cakap urusan domestik.
“……………….tidak banyak pekerjaan domestik yang aku
kerjakan. Semua aktivitas domestik telah diambil alih oleh
khodam. Kesibukanku adalah mengasuh dan mengajar santri,
dan sesekali menyalurkan hobi mendesain”. [2B hal 3]
Dunia Mazarina hampir sempurna karena suaminya, Ahvash sama sekali tidak mempermasalahkan apa Mazarina bisa memasak atau tidak; bisa mengoperasikan mesin cuci apa tidak; atau serapi apa ia melipat baju yang sudah disetrika. Masalah Mazarina hanyalah ketika ia divonis tidak bisa memiliki anak. Jadi seperti kiamat shughra bagi Maza karena suaminya adalah pewaris tunggal pondok mertuanya.
Konflik dalam novel ini muncul ketika setelah semua ikhtiar yang dilakukan untuk mendapatkan putra gagal, mertua Mazarina menyodorkan permohonan agar Mazarina mau dipoligami. Mazarina sendiri yang memilih madunya. Maysaroh, salah satu abdi ndalem kasepuhan yang juga membantunya di butik.
Poligami yang terjadi, menjadi pemicu dan pemantik banyak kontemplasi batin dan proses revolusi internal Mazarina, dari proses pendewasaan karakter Mazarina sebagai representasi putri kiai inilah Nazhaty Sharma menyampaikan banyak kritik.
• Yang pertama mengenai tugas domestik sehari-hari.
Saya kira bukan saya saja di dunia ini yang tidak diberikan beban tugas harian. Sejak kecil ada mbak-mbak pengasuh dan pendamping yang siap membantu, Mazarina juga, namun ia baru menyadari kekurangannya ketika ada saingan.
Saya bisa membayangkan bagaimana Mazarina yang sudah merasa inferior karena tak bisa memiliki anak, merasa lebih tidak pede lagi ketika tahu Meysaroh bisa mengerjakan banyak hal tanpa bantuan.
Ketika masuk di pintu utama, aku pun langsung dikagetkan
dengan tata letak furniture yang sedikit bergeser, mengkilapnya
lantai marmer, dan kesetnya jendela-jendela kaca rumah ini.
“Siapa yang mbersihin ini Mey? Kang-kang?”
“Mboten Niing… Saya sendiri.”
“Ooo… “
Belum lagi ketika aku masuk dalam kamarnya, menemukan
spring bed usang itu berlapiskan bed cover baru masih bau
pabrik, licin begitu rapi dengan bayfresh yang menusuk hidung
menyamankan penghuni kamar ini, membuatku langsung
mlengos. Tak Sudi aku lama-lama di sebuah ruangan di mana
suamiku mereguk lautan asmara dengan perempuan lain.
Datang ke rumah Meysaroh secepat ini saja sebenarnya
adalah keputusan beresiko tinggi. Bodohnya aku kenapa
membuka buka kamarnya. Lalu aku melongok ke ruang makan dan dapur, di atas meja itu sudah terhidangkan lauk pauk dan sayur lodeh, lengkap dengan sambal terasi. Nasi panas masih mengepul di dalam cething.”
“Siapa yang sudah memasak ini Mey?”
“Saya sendiri Niing…”
Aku juga menemukan toples berisikan kopi dan gula dan
satu cangkir kotor sisa kopi.
Perempuan itu dulu sering melihatku membuatkan kopi
untuk suamiku, dan kini dia mempraktekannya sendiri. dia
juga ingin menjadi BARISTA!.
Ya Rabb…!
Kulihat air mukaku begitu masam di dalam cermin yang
bertengger di dekat meja makan. [2B hal 22]
• Yang kedua, kritik atas kehidupan sosial keluarga ndalem
Melembari novel ini selanjutnya menceritakan meski awalnya tidak dianggap sebagai rival, Meysaroh yang hampir total kebalikan dari Mazarina dalam urusan rumah tangga dan background keluarga, pelan tapi pasti merebut perhatian orang-orang dan keduanya dibandingkan.
Di halaman 201 :
“Dadaku semakin memanas, telah bertahun-tahun aku menjadi menantu dan tak satu kali pun ibu mertua
Memerintahkan aku menemaninya menemui tamu, kini perempuan yang baru saja masuk dalam rumah itu justru mendapat mandat itu. Kuremas-remas jilbabku sendiri dan menyandarkan tubuh ke tembok.
……..
“Ning Mey memang tidak kemening. Saya ingat bunyai saat muda, mirip-mirip begitulah!” Yu Kanti menambahkan.
“Kemening itu apa Yu? Dapat istilah dari mana?”
“Dari santri putri Bunyai. Kalau ngomentari santri yang suka kemayu dumeh putro kiai”
“Ooo!” Mereka semua tertawa.
“Ning Mey kerso mampir di rumah Yu Kanti itu tandanya Ning Mey tidak pilah-pilih…!”
Deg!
Debar jantungku makin terasa cepat. Aku ingat berapa tahun yang lalu saat aku tak mengiyakan Mas Ahvash untuk bertandang ke rumah Yu Kanti, karena di rumah sudah ditunggu rombongan dari Tuban. Padahal Yu Kanti sempat melihat mobil kami parkir di halaman rumahnya. Aku tahu betul apa yang dimaksud Yu Kanti dengan ‘srawungnya pilih-pilih’”
Mazarina dan Meysaroh merupakan dua perempuan yang memiliki latar belakang berbeda, dari lingkungan yang berbeda dan dididik dengan cara yang berbeda. Meski sama-sama berasal dari dunia pesantren, namun Mazarina yang seorang putri kiai asal Tuban jawa timur, memiliki corak tradisi santri yang berbeda dengan Meysaroh yang berasal dari Dieng Jawa Tengah.
Lora Edu (Badrus Sholeh) menulis tentang perbedaan tradisi santri Jatim-Jateng ini (lihat https://alif.id/read/raedu-basha/membandingkan-santri-di-jawa-tengah-dan-jawa-timur-b217309p/) santri dan pesantren Jawa Tengah memiliki tradisi lebih egaliter daripada santri Jawa Timuran.
Di jawa timur, penghormatan terhadap kiai dan keluarganya ditunjukkan lewat sikap dan tindak tanduk yang lebih kentara dan formal. Sungkem, ngendek saat berjalan, menunduk dan tidak memandang langsung ketika bercakap dengan kiai. Berusaha tidak su’ul adab agar bisa mendapatkan barokah dan ilmunya kiai.
Perbedaan tradisi ini tentu membawa beberapa perbedaan dalam perilaku sehari-hari. Karena para santri di Jawa Timur yang sangat beradab memperlakukan keluarga kiai inilah yang berpotensi menimbulkan ekses negatif, yakni kurang terampilnya dzurriyah dan putra-putri kiai dalam kehidupan sosialnya, terutama dari kalangan akar rumput.
Persis seperti Mazarina yang kurang cakap bergaul karena di rumah asalnya tidak biasa bergaul dngan masyarakat umum dan di rumah mertuanya tidak dibiasakan juga, sehingga kemudian menjadi bomerang dituduh pilih-pilih, sok, sombong dan kemening. Ditambah lagi kondisi mental Mazarina sebagai perempuan mandul.
“Memang benar di rumahku jarang ada orang yang berani Bertamu. Memang sih berkali-kali ketua Fatayat NU atau Muslimat NU desa mengajakku untuk kumpulan jam’iyah tapi aku selalu menolak karena alasan jadwal begitu padat.
Meski begitu, aku selalu menjawab berlembar-lembar pertanyaan masyarakat yang dititipkan oleh ketua Muslimat perihal syariat dengan dalil-dalil yang dibutuhkan. Tapi untuk kumpul kumpul? Aku memang belum intens bergaul dengan tetangga.
Karena aku takut akan shock melihat Lasmi telah beranak tiga,
Santi sudah hamil yang kedua, Hafsoh sudah mual-mual karena
ngidam, atau entah siapa lagi tetangga yang begitu mudahnya
hamil tanpa susah payah ini-itu.
Tak adakah orang yang tahu di balik hidupku ini, aku
simpan sejuta kepedihan sebagai perempuan mandul?
Sementara untuk menemui tamu-tamu dirumah, tak
sedikitpun dalam hatiku memilah-milah tamu yang boleh
datang, membeda-bedakan orang lain berdasarkan status sosial.
Sama sekali tidak!!
Aku hanya pernah dimanja oleh Umik di Tuban, semua tetek
bengek yang berkaitan dengan tamu diserahkan pada kakak-kakakku.”
• Yang ketiga, kritik atas lifestyle keluarga ndalem masa kini.
Lora Raedu Basha menulis dalam membandingkan santri Jawa Tengah dan Jawa Timur, “Penampilan Kiai dan Nyai Jawa Timuran rata-rata necis. Lihat saja, sorban-sorban mereka, jubah dan gamisnya, bahkan merk baju dan sarungnya, amboi, high-class.
Tak lupa, tasbihnya di bawa ke mana-mana. Ibu nyai Jawa Timur-an juga hampir setara dengan style selebriti ibukota, nyaris glamour. Sering ke salon misalnya. Kalau ke acara atau undangan, perhiasan yang dikenakan banyak sekali. Busana-busananya juga bermerk.
Lucu sekali ketika membaca novel 2B, Nazhaty Sharma terang-terangan menceritakan juga tentang hal yang sama. Mazarina sebagai ‘Ning’ Jawa Timuran, nyaris terjebak dalam hedonism. Ia tidak bisa menghadiri suatu acara tanpa perisai lengkap yakni outfit mewah dan aksesoris mahal dari puncak kepala hingga ujung kaki. Meski ibu mertuanya sudah menegur dan memberi contoh langsung.
“adalah pemandangan kontras jika disandingkan dengan
aku menantunya yang terkontaminasi jaman milenial. Yang
tidak pede jika hanya mengenakan gaun itu itu saja, tas itu itu
saja. Akhirnya bejibun baju pesta memenuhi almari-almari
kaca. Dan butuh waktu agak lama untuk memantapkan diri
sebelum keluar.
Meskipun demikian, umik tidak lantas terang-terangan
memarahiku atas kehidupan sedikit hedonis itu, hanya
mengingatkan pelan-pelan ketika gelang emas yang kukenakan
berlebihan atau bajuku terlampau mencolok, atau jika modelnya
kurang Prayogi.
Aku tau, suatu hari nanti, aku juga ingin seperti umik. Aku
menyadari bahwa hidup hedonis dan menjunjung materialistis
secara berlebihan adalah cobaan generasi-generasi pesantren
masa kini dan aku pun bisa menjadi korban jika tidak mawas diri. [2B halm 106]
Novel dua barista merupakan novel yang sarat akan kritik sosial dan nilai-nilai ajaran mulia melalui tokoh utama maupun tokoh pendamping yang ada. Poligami yang dilakukan tokohnya hanyalah trigger. Masih ada banyak pelajaran lain yang bisa ditulis, namun biarlah jemari lain yang mengetikkannya.
Quotes favorite saya akan mengakhiri review dan cuplikan singkat ini.
Karena tradisi pesantren dan realitas kadang-kadang justru membatasi perkembangan yang diharapkan. Putra-putri kiai biasa dimuliakan, jika mereka tidak mampu mengartikan makna penghormatan itu dengan baik, maka mereka akan tergilas di dalam fase stagnan. [ 2B hal. 140]