Dalam fakta kehidupan kita bermasyarakat, Belakangan ini perbincangan sekitar hak hak perempuan terus bergulir sepertinya tak akan pernah berhenti. Ada banyak fakta yang terjadi di hadapan kita dan praktik-praktik di kalangan umat islam yang merendahkan martabat kemanusiaan perempuan. Yang sering kita temui misalnya masalah memakai hijab dan jilbab hingga menuai kontroversi yang luar biasa. Banyak yang memakai jilbab namun tetap dihujat karena tidak memenuhi standar golongannya.
Sebenarnya kosakata ini sudah larut diperbincangkan dan di perdebatkan sejak jaman dahulu. Isu ini telah di tulis oleh para ulama, pemikir dan cendekiawan dalam beribu buku,kitab kuning dan berbagai karya ilmiah, namun sekarang ini sering diperbincangkan lagi dengan situasi sengit dan menegangkan, ini menandakan kita sebagai muslim belum bisa belajar memahami argumentasi pendapat yang berbeda dan belum bisa memahaminya dengan santun.
Jilbab atau Hijab sebenarnya memiliki arti yang berbeda. Jilbab berasal dari kata kerja Jalaba-Yajlibu yang berarti menutupi sesuatu sehingga tidak terlihat atau sering kita pahami bahwa jilbab adalah sehelai kain yang digunakan untuk menutupi kepala dan tubuh perempuan sedangkan Hijab berasal dari kata kerja Hajiba yang berarti pemisah atau sekat antara dua ruang seiring berjalanya waktu makna hijab bergeser secara terminologi menjadi sebuah pakaian yang digunakan oleh muslimah. Buya Husein Muhammad memaknai Hijab sebagai sekat atau penghalang yang di maksudkan sebagai alat mekanisme pencegahan terjadinya tindakan bernuansa seksual.
Pokok permasalahan ini bisa jadi terdapat pada ijtihad yang berbeda mengenai konsep batasan aurat sehingga konsekuensi hukum menutupnya pun berbeda, diskusi ini akan panjang karena kita perlu mengkaji bab Aurat secara mendetail. Apakah rambut, leher telinga itu termasuk aurat atau tidak..? bahkan auratnya perempuan atau laki-laki ketika sudah menjalin pernikahan batasan auratnya akan berbeda.
Aurat dalam kajian fikih
Aurat dalam Islam adalah suatu anggota yang wajib ditutupi. Dalam hal ibadah maupun di luar ibadah, namun mengenai batasan anggota tubuh yang dianggap aurat, pandangan fikih membedakan antara perempuan dan laki-laki. walaupun ada perbedaan tetapi secara umum mayoritas ulama berpendapat bahwa lelaki semestinya menutupi bagian anggota tubuh antara pusar dan lutut dan perempuan tentunya lebih tertutup dari pada laki-laki.
Batasan Aurat
Dalam aurat perempuan para ulama menjelaskan secara perinci dengan membedakan sesuai situasi dan kondisinya, Pertama perempuan Amat (budak) auratnya sama dengan laki-laki dimanapun berada dan yang kedua perempuan Merdeka ketika dihadapan orang lain auratnya lebih tertutup dalam arti semua badan kecuali wajah dan telapak tangan sedangkan ketika di hadapan sesama perempuan yaitu bagian anggota antara pusar dan lutut.
Dan ada satu keterangan lagi bahwa para ulama ahli fikih telah bersepakat ketika perempuan dan laki-laki sudah menjalin pernikahan maka tidak ada batasan aurat lagi bagi mereka dalam arti antara suami boleh melihat dan memegang semua anggota badan istri sampai alat kelamin (farji) dan juga sebaliknya. Karena sudah ada shighot yang memperbolehkan (mubah) mereka melakukan hubungan badan.
Namun dalam masalah melihat alat kelamin para ulama masih berbeda pendapat Mazhab Syafii dan Hanbali menghukumi makruh ketika suami melihat kemaluan istri dan juga sebaliknya. Demikian adalah garis besarnya batasan aurat sedangkan lebih perincinya akan ditampilkan perbedaan pendapat para imam mazhab, perbedaan ini dikarenakan cara pandang dan teori ijtihad yang berbeda dalam memahami perintah dalam Alquran dan metode istinbat hukum yang berbeda pula.
Di Balik batasan Aurat Perempuan
Dalam disiplin ilmu kata Aurat yang diperbincangkan adalah yang mempunyai muatan arti dalam ayat An-Nur yaitu yang berarti sebagian anggota tubuh manusia yang dalam pandangan umum buruk dalam kitab fikih dasar seperti Safinatunnajah fii madzhabi syafii menyebutkan aurat adalah sesuatu yang bila diperlihatkan timbul rasa malu dan bila dibiarkan terbuka akan menimbulkan fitnah seksual.
Oleh karena itu Islam lewat pemikiran para ulama ulama menyatakan bahwa aurat wajib ditutup dari pandangan orang orang yang dapat membawa fitnah seksualitas dan selain itu juga dianjurkan tidak berpakaian dengan pakaian yang dapat tembus pandang (berpakaian namun terlihat bagian dalamnya) dan berpakaian yang membentuk lekukan pada organ tubuh. Karena sejauh penelitian kasus pelecehan seksual dimulai dari bagaimana seseorang berpakaian kemudian menimbulkan syahwat sampai pada fitnah seksualitas.
Memang dalam hal berpakaian kita diberi kebebasan untuk memilih dan tidak ada pengkhususan untuk berpakaian dalam Islam Namun dalam rangka menghilangkan fitnah maka diaturlah konsep Aurat untuk menjaga kehormatan seorang perempuan. Pada dasarnya tindak kriminal dan kekerasan seksual bermula dari pikiran yang buruk dari setiap manusia, tapi dalam hal mengangkat dan menjaga martabat perempuan, Islam lebih dulu mengantisipasi munculnya pikiran kriminal dalam pikiran manusia karena bermula dari etika menutup tubuh. Yang perlu digaris bawahi adalah urusan menutup aurat bukan cara berpakaian karena berpakaian itu mengikut adat dan budaya masyarakat setempat.
KH. Husein Muhammad dalam bukunya Fikih Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender menyebutkan bahwa perintah menutup aurat adalah dari agama (teks syarak) akan tetapi batasan dan cara menutupinya ditentukan oleh pertimbangan pertimbangan kemanusiaan dalam berbagai aspek untuk itu menentukan batasan aurat diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkemban di masyarakat.
Sehingga dalam tingkat tertentu batasan itu bisa diterima oleh sebagian besar komponen masyarakat. Dalam hal ini pertimbangan khowaf al fitnah dan dapat menimbulkan fitnah seksualitas yang berujung pada kekerasan seksual juga harus menjadi salah satu penentu pertimbangan. Supaya tubuh manusia khususnya perempuan tidak dieksploitasi untuk kepentingan kepentingan rendah dan murahan, yang bahkan bisa menimbulkan gejolak pelecehan dan mengakibatkan kerusakan yang tidak diinginkan entah dari psikologi pribadinya atau bagi tatanan kehidupan bermasyarakatnya. [HW]