Menjelang Subuh, selasa, tanggal 15 Nopember 2022, saya melihat status Facebook sahabat saya, Ajidamanuri, tokoh muda Muhammadiyah Tulungagung dan dosen IAIN Ponorogo, yang sedang berada di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tempat muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 dilaksanakan. Untuk mengapresiasi organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia yang sedang mengadakan perhelatan akbar ini, saya membuat tulisan ringkas dengan harapan Muhammadiyah semakin meningkatkan dan meneguhkan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia dan keutuhan NKRI yang kini mendapat serbuan ideologi, baik dari dalam maupun luar. Dalam tulisan ini, saya coba mendeduksi nalar dengan menampilkan Islam ideal dan Islam historis untuk kemudian masuk pada islam historis di Indonesia.
Kalau boleh membuat tipologi, kita bisa mengatakan bahwa Islam itu adalah agama yang mempunyai dua dimensi, yakni dimensi ilahi dan dimensi basyari. Dikatakan berdimensi ilahi, karena Islam merupakan agama yang hadir dari Tuhan; dikatakan berdimensi basyari, karena Islam hadir untuk kepentingan manusia. Dalam posisinya sebagai yang berdimensi ilahi, Islam bersifat ideal, otentik, dan absolut; sedang dalam posisinya sebagai yang berdimensi basyari, Islam bersifat historis, partikular, dan senantiasa berdialog dengan peradaban-peradaban manusia.
Dialog Islam dengan peradaban-peradaban manusia merupakan sebuah keniscayaan, dan justru dialog itulah yang menyebabkan Islam menjadi produktif dan senantiasa mampu mengikuti dan mengarahkan perjalanan zaman. Dikatakan produktif, karena setiap dialog pasti melahirkan sintesis, dan sintesis itulah yang membuat Islam mampu mengikuti dan mengarahkan perjalanan zaman. Tanpa dialog produktif, Islam akan ketinggalan kereta zaman yang bergerak tanpa kendali manusia.
Dialog produktif Islam dengan peradaban-peradaban manusia berbeda-beda bentuknya. Ketika pertama kali hadir, al-Qur’an sebagai sumber asasi Islam mengambil kebudayaan Arab sebagai mitra dialognya, sehingga lahirlah disiplin keilmuan fiqih dan kalam; ketika berdialog dengan peradaban Persia, lahirlah disiplin keilmuan tasawuf; ketika berdialog dengan peradaban Yunani, yang dikenal dengan peradaban falsafah, lahirlah disiplin keilmuan filsafat Islam; dan ketika berdialog dengan peradaban Barat yang dikenal sebagai peradaban sains, lahirlah disiplin keilmuan sains Islam.
Islam juga berdialog dengan peradaban-peradaban lain seperti peradaban Nusantara (Indonesia). Hanya saja, dialog itu tidak melahirkan disiplin keilmuan sebagaimana dialognya dengan peradaban-peradaban besar di atas. Dialog Islam dengan peradaban Nusantara mengambil bentuk transformasi, bukan produksi, yang dilakukan melalui berdirinya organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah (1912) dan NU (1926). Hal itu wajar mengingat Indonesia bukan peradaban ilmiah, melainkan peradaban Maritim. Kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mengambil bentuk dialog-transformatif yang berbeda, tetapi saling menyempurnakan. Muhammadiyah mengambil bentuk purifikatif, sedang NU mengambil bentuk singkritis. Kedua bentuk dialog itu jangan dipahami secara negatif, karena tanpa dialog itu, Islam sulit diterima dan berkembang di Nusantara yang jauh sebelumnya sudah dikuasai budaya lain.
Bentuk dialog-transformatif yang berbeda itu terjadi lantaran tempat awal lahir dan tumbuhnya kedua organisasi Islam itu berbeda, kendati kedua pendirinya (K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari) belajar di tempat yang sama, yakni Makkah al-Mukarromah. Kedua figur kharismatik itu tahu betul apa itu Islam karena keduanya belajar Islam pada pusatnya di Makkah al-Mukarromah, sebagaimana keduanya juga tahu betul bagaimana kondisi daerahnya masing-masing, karena keduanya lahir dan tumbuh besar di sana. Maka, keduanya pun melakukan dialog-transformatif yang berbeda.
Dalam dialog-transformatif, kedua organisasi Islam ini mengikuti pemahaman keislaman yang berasal dari Timur Tengah, kemudian mentransformasikannya di Indonesia, tetapi dengan cara yang berbeda. Muhammadiyah yang lahir dan tumbuh di Jogja dengan daerah yang kental akan tradisi hindunya coba menawarkan Islam rasional-purifikatif terhadap budaya lokal, sedang NU yang lahir di Jawa Timur yang tidak terlalu kuat pengaruh budaya hindunya menawarkan pemikiran Islam tradisional-singkritis dengan budaya lokal.
Purifikatif dan singkritis di sini tidak bersifat total, sehingga jangan dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan bukan purifikatif total karena Muhammadiyah juga menggunakan budaya lokal sebagai sarana transformasi Islamnya seperti pengajian majelis taklim, suatu tradisi berkumpul yang sebenarnya sudah lama berkembang sebelum Islam menjadi dominan. Begitu juga dikatakan tidak singkritis total, karena NU tidak melibatkan dialognya antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu, melainkan ajaran Islam (isi) dengan budaya (bentuk) lokal yang sebelumnya sudah dipengaruhi agama Hindu. Kedua organisasi islam terbesar itu tetap menjadikan budaya lokal sebagai sarana mentransformasikan ajaran Islam, bukan bagian dari ajaran Islam.
Selain mempurifikasi secara terbatas budaya lokal, di saat yang sama, Muhammadiyah juga mengapresiasi budaya Barat, baik dari sisi pola pikirnya maupun manajemen organisasinya. Hal itu wajar mengingat warga Muhammadiyah pada umumnya berasal dari keluarga menengah ekonomi ke atas yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi modern, baik di dalam negeri maupun luar negeri, suatu kondisi yang berbeda sama sekali dengan warga NU yang pada umumnya berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah, kendati saat ini mulai terjadi pergeseran demografis.
Sebagai organisasi modern, Muhammadiyah menawarkan modernisasi dan rasionalisasi dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya dalam bidang manajemen organisasi, tetapi juga tentang hubungan antara agama dan negara. Sebagaimana NU, Muhammadiyah mempunyai pemahaman final bahwa NKRI dan ideologi Pancasila sudah final dalam konteks bernegara, sehingga pelbagai rongrongan yang datang, baik dari luar maupun dari dalam, baik dalam bentuk ideologi keagamaan maupun ideologi politik harus ditolak di Indonesia. Kendati “terkesan” kurang agresif di ruang publik dalam membela dan mempertahankan ideologi Pancasila dan NKRI dari serangan massif ideologi-ideologi lain, terutama ideologi yang berbau Islam, seperti Islamisme, Muhammadiyah tetap tidak diragukan komitmennya dalam membela ideologi dan NKRI, yakni dalam bentuk amal bakti sosial, ekonomi dan Pendidikan. Jika membaca tulisan-tulisan buya Syafi’i Ma’arif dan Haedar Nasyir, terlihat betul sikapnya terhadap finalitas NKRI dan ideologi Pancasila, karena kedua unsur bernegara yang merupakan perpaduan bentuk dan isi ini menjadi wadah formal yang tepat bagi bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini.
Di antara harapan penting dari muktamar Muhammadiyah kali ini adalah kritik-kritiknya, bukan hanya terhadap pemerintah yang memang sering disuarakan selama ini, tetapi juga terhadap masyarakat, terutama mereka yang terbiasa membawa agama ke dalam politik yang dikenal dengan istilah politik identitas yang kini ramai dibicarakan, yang dimulai sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta (2017), dan sekarang menjelang pesta demokrasi di tahun 2024. Kendati membawa identitas itu biasa dilakukan, untuk identitas agama sebaiknya dihindari, karena politik itu penuh dengan kepentingan untuk berkuasa yang tentu saja penuh dengan trik-trik manipulatif, sementara agama sebagai sesuatu yang suci yang membawa rahmat bagi semua. Politik identitas pasti melahirkan friksi, bukan hanya bagi bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini, tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, sesuai politik dan kekuasaannya. Muhammadiyah diharapkan menawarkan gagasan-gagasan keislaman dan keindonesiaan- yang menurut istilah Kuntowijoyo- objektif (Gus Dur menyebut Islam Kita), yang bisa diterima oleh semua orang Indonesia, bukan hanya orang Islam. Jadi, Muhammadiyah diharapkan melahirkan gagasan keislaman yang objektif atau menjadi Islam kita, bukan keislaman yang subjektif atau Islam Anda. [hw]