Dunia seketika berubah dengan kemunculan Covid-19 yang tiba-tiba. Dari Kota Wuhan, Tiongkok, menjalar ke seluruh penjuru dunia. Satu per satu orang terpapar; demam, batuk, kesulitan bernapas, nyeri otot, hingga tubuh yang gampang lelah. Kasusnya terus bertambah hingga menyebabkan kematian. Sampai dengan tulisan ini dibuat, korban jiwa di seluruh dunia sudah sebanyak 244.461 orang. Covid-19 tidak hanya membahayakan kesehatan, virus tersebut berhasil mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Wajah dunia yang sebelumnya diwarnai keramaian, hiruk-pikuk kebahagiaan, kini cenderung sepi diselimuti ketakutan.
Indonesia menjadi satu dari sekian banyak negara yang harus mengalami perubahan besar karena Covid-19. Berawal, ketika presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama pasien Covid-19 Sekitar awal bulan maret 2020 lalu. Pertambahan jumlah pasien positif terus bertambah secara signifikan dari hari ke hari. Rasa cemas dan ketakutan pun mulai mewabah di hampir seluruh daerah di Indonesia. Tagar stay at home menjadi trending di dunia maya yang dimaknai saatnya kita kerja, belajar, serta beribadah di rumah. Namun, tidak hanya kegiatan perekonomian dan pembelajaran yang mengalami imbas dari Covid-19. Bahkan, kegiatan keagamaan di Indonesia pun ikut berubah sebagai bentuk adaptasi di tengah pandemi Covid-19. Berawal, ketika para pemuka agama di Indonesia sepakat untuk melakukan ibadah dari rumah. Lihatlah saat ini, bagaimana rumah-rumah ibadah seperti Masjid, kuil, ataupun gereja tidak seramai dulu dan cenderung sepi.
Melihat fenomena ini, menarik untuk membahas lebih lanjut bagaimana adaptasi keagamaan di Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Tidak hanya itu, adaptasi keagamaan yang dilakukan pun tak berjalan mulus. Justru, menimbulkan pro kontra. Mulai dari penolakan imbauan beribadah di rumah, hingga kembali menguaknya diskursus mengenai agama vs sains yang menganggap bahwa adaptasi keagamaan yang dilakukan, seakan menunjukkan bahwa agama tunduk terhadap sains. Tulisan akan mencoba memaparkan berbagai persoalan tersebut, sekaligus menawarkan pendekatan konfirmasi dari John F. Haught sebagai alternatif solusi dalam menjembatani pertentangan agama dan sains.
Adaptasi Keagamaan di tengah Pandemi Covid-19 di Indonesia
Imbauan untuk menghindari keramaian berdampak langsung pada kegiatan keagamaan yang dikenal selalu menghadirkan banyak orang. Salah satu bentuk adaptasi keagamaan yang dilakukan di Indonesia adalah ajakan untuk melakukan ritual keagamaan seperti beribadah dan berdoa dari rumah. Agama islam misalnya yang sementara waktu harus meniadakan salat jumat dan diganti dengan salat zuhur di rumah. Bahkan, kegiatan keagamaan di bulan ramadhan pun berubah. Salah satunya adalah meniadakan salat tarawih berjamaah di masjid.
Selain itu, adaptasi keagamaan juga diikuti oleh agama lainnya. Di lansir dari Bisnis.com (2020) Sekretaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta Romo V. Adi Prasojo Pr. Pi mengimbau seluruh keuskupan di Indonesia untuk meniadakan misa peribadatan harian maupun mingguan serta melarang semua ritual peribadatan umat katolik yang melibatkan dan mendatangkan banyak orang, baik di tingkat paroki, lingkungan, wilayah. (Sukarno 2020). Adalagi, pernyataan yang dikeluarkan oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) DKI Jakarta Pendeta Liem yang mengimbau kepada umat Buddha di seluruh DKI Jakarta agar menunda kegiatan agama di rumah ibadah. (Kurniawati 2020) Selain itu, pernyataan lain juga dikeluarkan oleh Perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) DKI Jakarta, I Nengah Dharma, yang menghimbau kepada umat Hindu untuk melakukan ibadah dari rumah.
Agama vs Sains dalam Kasus Covid-19 di Indonesia
Di lansir dari CnnIndonesia (2020), terjadi perusakan rumah oleh sekelompok remaja. Peristiwa bermula ketika pemilik rumah yang bernama H Aselih melaporkan adanya kegiatan salat tarawih di Masjid Al Wastiyah, Kelurahan Jati, Kecamatan Pulogadung. Dengan menggunakan akun twitter anaknya, H Aselih melaporkan adanya kegiatan sholat tarawih tersebut. Laporan ditujukan ke akun twitter Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Selain itu, kegiatan keagamaan juga masih dilakukan oleh umat kritiani di Gereja Katedral, Jakarta. Meski menjadi tempat dengan jumlah kasus positif terbanyak, kegiatan ibadah masih tetap dilakukan. (Putra 2020). Dalam melihat fenomena tersebut, kelompok itu mengacu pada pemahaman agama yang bersifat fatalistik. Pemahaman yang meyakini bahwa tuhan akan selalu melindungi mereka, sebab kekuatan terbesar adalah tuhan. (Arifudin 2016) Keyakinan ini seakan menjadi dogma bagi kelompok tersebut.
Diskursus antara agama dan sains kembali menjadi bahan perbincangan. Setidaknya, ketika sains mengatakan bahwa keramaian dapat menjadi salah satu penyebab penyebaran Covid-19. Hal yang mengharuskan agama beradaptasi dengan mengeluarkan imbauan untuk melakukan kegiatan keagamaan dari rumah. Pertentangan antara agama dan sains biasanya disebabkan karena perbedaan perspektif yang digunakan untuk memahami realitas sebagai sumber pengetahuan. Perspektif sains mendekati persoalan eksistensi melalui observasi dan ekperimen, sedangkan agama membangun landasan epistemologinya dengan berdasarkan wahyu. (Hidayat 2014).
Namun, satu hal yang mungkin perlu digarisbawahi adalah adaptasi yang dilakukan keagamaan tidak bisa dipandang sebagai bentuk tunduknya agama terhadap sains. Dalam agama islam misalnya terdapat hadis yang menganjurkan kita untuk menjauhi wabah penyakit. Seperti hadis yang berbunyi “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Hadis tersebut, dapat menjadi salah satu acuan bagaimana kita harus bersikap ketika terjadi pandemi virus. Terlebih, keputusan yang telah disepakati pemuka agama di Indonesia menandakan bahwasanya keputusan itu didasarkan pada kajian yang mendalam demi kebaikan seluruh masyarakat di Indonesia.
Menjembatani Agama Dan Sains Dalam Kasus Covid-19
John F. Haught memahami posisi hubungan sains dan agama menjadi 4 tipe pendekatan, yaitu : pendekatan konflik, yang memandang agama dan sains secara intrinsik berlawanan; pendekatan kontras, yang memberikan ruang bagi kedua wilayah untuk saling menghargai integritas masing-masing; pendekatan kontak, yang menyarankan agama dan sains untuk saling bertukar pandang guna memperkaya perspektif tentang kenyataan; dan pendekatan konfirmasi, sebagai kesatuan fundamental sains dan agama yang menyarankan mereka agar dapat saling mengukuhkan karena sama-sama bermaksud mencari kebenaran yang ada pada inti terdalam eksistensi .
Dalam melihat pertentangan antara agama dan sains di tengah pandemi Covid-19, Pendekatan konfirmasi dari John F. Haught sekiranya dapat menjembatani pertentangan tersebut. Di mana, sudah sepatutnya agama dan sains saling memberikan implikasi, agar apa yang dihasilkan dapat berfungsi untuk kesejahteraan manusia baik dunia dan akhirat. Dalam kitab suci agama mengisahkan tentang alam semesta. Namun terkadang belum mendetail. Di sinilah, sains hadir mengungkapkan misteri alam. Dan memberikan penjelasan yang detail dengan beragam metode ilmiahnya. Agama telah memberikan implikasi bagi lahirnya pencarian yang lebih mendalam mengenai alam semesta ini. Begitu juga sebaliknya, sains berimplikasi dengan memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai realitas yang belum tergambar jelas di kita suci agama. [HW]
[…] Agama dan Sains saat Pandemi […]