Saya bersama istri kebetulan sama-sama menempuh kuliah doctoral di Universitas Leiden. Saya meneliti tentang sistem peradilan pidana sedangkan istri saya Ruly Wiliandri melakukan studi terkait isu manajemen layanan terhadap orang tua. Tentu bukan tanpa alasan saya memilih Universitas Leiden sebagai tempat studi doktoral hukum saya. Sebagai universitas tertua di Belanda yang sudah berusia 445 tahun, Universitas Leiden dikenal melahirkan banyak cendekiawan dan ahli hukum terkemuka di dunia. Salah satunya di Indonesia, kita mengenal Prof. Soepomo, salah satu tokoh perancang UUD 1945 dan Menteri Kehakiman pertama Indonesia.  Nama Leiden juga tidak asing di kalangan para penstudi sejarah dan studi Keislaman. Universitas Leiden dikenal memiliki koleksi arsip dan buku tentang Indonesia terlengkap di dunia. Banyak para peneliti sejarah, bahkan penstudi Islam Indonesia datang ke Leiden untuk meneliti naskah dan manuskrip kuno yang ada di perpustakaan Universitas Leiden. Saya bahkan mendengar beberapa tahun lalu rombongan pemerintah Malang sempat datang ke Leiden untuk mencari data blue print saluran air Kota Malang

Tinggal di negara dengan penduduk minoritas muslim seperti Belanda memang cukup menantang. Apalagi saat bulan puasa sekarang ini Belanda sedang mengalami musim panas. Selain durasi puasa lebih Panjang, hawa terik juga menjadi cobaan tersendiri saat akan beraktifitas di luar rumah. Untungnya di masa pandemi Covid-19 ini, puasa terasa lebih ringan daripada tahun sebelumnya, karena mayoritas kegiatan dilakukan di rumah via daring. Namun pengalaman tinggal dan berpuasa di negeri orang, apalagi di “negoro Londo” yang punya sejarah panjang dengan Indonesia pasti akan selalu menarik untuk diceritakan.

Mungkin banyak yang tidak menyadari fakta bahwa Belanda dulunya merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sebelum 17 Agustus 1945, Indonesia yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda merupakan bagian dari kekuasaan Belanda. Wajar jika setelah Indonesia merdeka, jumlah penduduk muslim yang diperintah oleh Belanda menyusut secara drastis.

Baca Juga:  Ketua Umum PBNU Tegaskan R20 Bukan Sekadar Agenda, melainkan Gerakan Global

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Belanda dulu, saya sempat terheran-heran, bagaimana bisa negara yang hanya sedikit lebih luas daripada provinsi Jawa Timur ini bisa menjajah bangsa kita begitu lama. Jawaban atas keheranan saya ini sebenarnya sudah tercatat di buku-buku sejarah yang diajarkan sejak sekolah dasar, namun melihat sendiri fakta ini tetap membuat sesak di dada. Apalagi jika kita belajar sejarah perang Dunia kedua, Belanda dapat dikatakan negara yang cukup lemah dibandingkan negara lain di Eropa. Hanya butuh empat hari saja Jerman dapat menguasai Belanda pada tahun 1940. Baru pada 5 Mei 1945, Belanda dapat merdeka dari Jerman. Peristiwa yang hingga saat ini dirayakan sebagai hari kemerdekaan Belanda.

Namun yang lebih membuat saya menyesal, saya menemukan sejumlah Arca yang berasal dari dalam candi singosari terpajang gagah di Museum Volkenkunde Leiden. Belasan lalu saat saya mengunjungi candi Singosari, saya selalu bertanya-tanya dimana arca yang seharusnya mengisi bagian dalam candi yang ternyata baru saya temukan di sini. Konon arca-arca ini dibawa pada saat masa penjajahan Belanda dulu. Hingga saat ini saya belum mendengar usaha pemerintah Kabupaten Malang atau pemerintah pusat untuk memulangkan arca-arca itu ke tempatnya semula. Mungkin karena biaya perawatan dan pelestarian cagar budaya tidak murah serta memastikan bahwa benda cagar budaya ini tidak dijual oleh oknum pegawai membutuhkan sistem keamanan yang ketat.

Namun harus diakui, pemerintah Belanda sangat menghargai sejarah. Meskipun mereka membangun banyak sekali bangunan modern, tapi bangunan berusia ratusan tahun tetap mereka pertahankan. Bahkan termasuk tata kota yang mereka jarang sekali utak-atik. Ini saya lihat ketika tiba di Kota Leiden, saya dibuat takjub dengan banyaknya bangunan tua dan tata kota Leiden yang tidak banyak berubah sejak ratusan tahun lalu.

Baca Juga:  Memotret Dampak Peristiwa '65 Melalui Sudut Pandang Sastrawi

Kota  yang ternyata tidak lebih luas dari Kecamatan Kedungkandang di Kota Malang ini dikelilingi dan dibelah oleh banyak kanal yang di aliri sungai yang jernih. Ini  mengingatkan saya akan cerita almarhum abah saya H Abdul Syukur yang semasa kecilnya di habiskan di Kuto Bedah Malang. Beliau sering bercerita tentang sungai Brantas di seputaran Kuto Bedah Malang yang jernih dan menjadi tempat bermain anak-anak yang menyenangkan di tahun 50-an.

Di Leiden kita juga bisa dengan mudah menemukan penjual masakan dan daging halal yang kebanyakan orang keturunan Maroko. Terdapat dua masjid di Leiden yang bahkan dikelola oleh komunitas Maroko.  Ada cerita menarik yang saya dengar terkait banyaknya orang Maroko di Belanda, termasuk di Leiden. Pasca porak-poranda akibat perang dunia kedua, Belanda yang akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia sempat meminta Pemerintah Indonesia untuk mengirimkan tenaga kerja untuk membantu mereka memulihkan beberapa tempat yang hancur akibat perang. Namun Presiden Soekarno saat itu menolak permintaan ini karena tidak mau bangsa Indonesia sekali lagi menjadi “baboe londo”. Akibatnya, Belanda terpaksa meminta bantuan negara lain termasuk Maroko untuk mengirimkan tenaga kerja mereka. Sejak saat itu gelombang migrasi masyarakat Maroko di Belanda cukup besar. Mereka kemudian beranak-pinak dan menetap di Belanda. Beberapa aktif menjadi wakil rakyat dan bahkan tercatat Ahmed Aboutaleb, menjadi muslim keturunan maroko pertama yang menjadi Walikota Rotterdam tahun 2009 lalu. [HW]

Fachrizal Afandi
Dosen Departemen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Ph.D Researcher di Leiden University. Salah satu pendiri NU Belanda dan Ketua Tanfidziyah PCI NU Belanda 2014-2017. Saat ini tercatat sebagai anggota ISNU Komisariat Universitas Brawijaya Malang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini