Pada suatu hari, Bahlul datang ke majelis Raja Harun Ar-Rasyid. Ia masuk dengan tenang, lalu duduk di barisan paling belakang, jauh dari pusat perhatian.
Raja Harun Ar-Rasyid melihatnya dan berkata, “Bangunlah, Bahlul. Duduklah di depan.”
Namun Bahlul hanya tersenyum dan menjawab, “Majelisku akan sirna. Di manakah barisan depan itu?”
Kemudian, dengan suara yang tenang namun dalam maknanya, Bahlul melantunkan syair:
كن رجلا وارض بصف النعال
لا يطلب الصدر بغير الكمال
فان تصدرت بلا الة
جعلت ذاك الصدر صف النعال
Jadilah lelaki sejati yang ridha berada di barisan sandal—barisan paling belakang.
Jangan pernah mendambakan posisi terdepan tanpa memiliki kesempurnaan dan kelayakan.
Sebab jika engkau duduk di depan tanpa alat (tanpa kemampuan dan integritas),
maka barisan depan itu tak lebih dari barisan sandal yang tak bermakna.
Bahlul menatap sang raja sejenak, lalu menunduk rendah. “Wahai Amirul Mukminin,” katanya, “jika seseorang memimpin tanpa kualitas dan integritas, maka sejatinya ia hanya membawa orang-orang yang dipimpinnya ke belakang, tertinggal bersama barisan sandal.”
Majelis pun hening. Hanya gema kata-kata Bahlul yang tinggal, mengendap dalam hati siapa saja yang hadir hari itu. []