Pagi ini, sebagaimana tahun berlalu. Saya mencoba mengkhusyukkan diri di tengah lapangan kecamatan. Ini Idul Adha ke empat yang saya ikuti sebagai jamaah murni. Setelah terjebak belasan tahun, dalam belenggu beban tugas kantor yang tega merampas kebahagiaan di setiap hari raya.
Di antara jamaah yang menyemut, kubuka hatiku untuk meresapi bacaan imam. Sampai pada suatu bacaan"Iyāāaka na'budu, wa iyāāka nasta'īīīn." Lho....lho...lho…. Konsentrasiku buyar seketika. Rasa khusyuk yang sudah dibangun seketika ambyar berkeping tiada bekasnya.
Pikiranku berputar, mundur ke beberapa menit lalu teringat saat panitia melantangkan pengumuman bahwa sang imam hari ini bergelar haji, doktor, master, dan sarjana agama dan dosen universitas terkemuka. Tetapi kok baca Al-Fatihahnya kurang fasih!? Duh, ingin rasanya mengelus dada. Tteapi tidak jadi, khawatir batal sholatnya.
Ternyata tidak berhenti di beberapa bagian bacaan Al-Fatihah saja. Bacaan surahnya juga terdengar tidak fasih di beberapa bagian. Beberapa makhraj dan tajwidnya tidak tepat. Bagaimana ini panitianya? Apakah tidak diseleksi dulu? Atau jangan-jangan panitianya sendiri tidak paham bagaimana cara seleksi.
Mengingat hal itu, kenanganku melayang kembali ke masa kecil ketika di kampungku, tepatnya di pelosok kaki gunung Ungaran. Di sana, setiap calon imam kampung akan dites bacaan Al-Fatihahnya. Makhraj dan tajwidnya tidak boleh terlewat. Tidak berhenti sampai di situ, calon imam juga harus hafal syarat, rukun, dan segala ilmu fikih yang berhubungan dengan ibadah sholat. On the spot, dites di depan rekan calon lainnya.
Itulah adat kebiasaan kaum Rifaiyah, jamaah tanbihun santri irengan. Tempat saya tumbuh dalam tempaan ilmu fikih yang sangat ketat. Dengan adanya seleksi standar bacaan tersebut, kualitas imam tak dapat diragukan lagi. Minimal sesuai standar hukum fikih yang telah banyak ulama sepakati.
Apakah standar seperti ini bisa diterapkan lebih luas di negeri ini? Kita punya Kementrian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan organisasi umat lain yang bisa menyusun regulasi dan bekerjasama dengan lembaga penyelenggara metode baca Al-Qur'an yang tersebar di seluruh negeri. Diantaranya adalah iqro, qiroati, ummi, yanbu'a, dan masih banyak lagi.
Apabila dirasa sulit untuk penyeragaman. Bisa memakai solusi lain semacam ada lembaga yang bisa mengeluarkan sertifikat seperti halnya TOEFL. Memang tidak wajib, tapi pemegang sertifikat TOEFL akan masuk prioritas dalam proses seleksi.
Pertanyaannya adalah mungkinkah? Semoga ada yang bisa memulai. Seperti pesantren-pesantren untuk bekal para alumni dari kalangan NU dan Muhammadiyah untuk pegangan para da'i. Atau lembaga lain yang berwenang mengeluarkan standar kompetensi. Dalam hal ini yang penting adalah sesuai standar metode baca Al Qur'an yang telah disepakati, bukan ngarang sendiri.
Kalaupun kedepannya ada semacam sertifikasi imam sebaiknya sertifikat ini ditampung dalam sebuah database besar supaya tidak ruwet ketika hilang.