Press ESC to close

Tarawih di Sydney: Seruan Bilal dan Satu Juz Lebih dalam Dua Puluh Raka’at

Bulan Ramadan sudah di penghujung akhir, namun ada satu hal yang belum kesampaian bagi saya, yaitu safari tarawih. Sesungguhnya saya semula punya rencana ingin mengikuti shalat tarawih ke beberapa tempat di seputaran Sydney. Tapi ada hal yang membuat rencana itu tak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga tarawih saya hanya tercatat di beberapa tempat saja.

Penyebabnya adalah ‘dihantui’ tagihan progress tulisan dari supervisor saya di kampus, guna menyiapkan Confirmation of Candidature (CoC). Mau berada berkegiatan di luar rumah lama-lama rasanya tidak tenang, takut makan waktu banyak di jalan. Rasanya pengin banyak di kamar, di depan laptop untuk membaca dan menulis. Padahal sesungguhnya, di depan laptop pun kerap pikirannya ngadat, tidak mendapat tambahan tulisan apa-apa juga. Tapi ya begitulah.

Ditambah lagi, ada kabar baru yang saya dapat di tengah bulan Ramadan ini, mengenai batas waktu untuk penuntasan CoC. Dalam satu workshop di jurusan saya, School of Humanities and Communication Arts, diumumkan adanya aturan baru bahwa CoC harus dituntaskan dalam enam bulan semenjak studi dimulai. Padahalnya sebelumnya, yang saya tahu waktunya adalah dalam satu tahun. Kata mahasiswa dari angkatan begitu, kata teman-teman saya yang sekampus dan satu angkatan masuk tapi beda jurusan juga begitu.

Sesungguhnya pada satu waktu sebelum Ramadan, supervisor saya di kampus pernah bilang soal aturan baru yang enam bulan itu. Apa yang dia sampaikan itu waktu itu hanya saya iyakan saja, karena saya kira salah. Saya masih berpegang kepada angkatan sebelumnya dan teman seangkatan. Tapi ternyata yang dia sampaikan itu benar adanya. Maka kabar ini membuat suasana makin resah dan gelisah, bikin tidak tenang untuk begini dan begitu. 

Maka tarawih saya seringnya di tempat yang dekat-dekat saja. Tercatat hanya di Seputar Punchbowl dan Lakemba, sempat ke Padstow, paling jauh ke Glandenning. Di Punchbowl yang area tempat tinggal sendiri, paling dekat tentu saja tarawih di rumah. Selebihnya di Punchbowl Community Center (PCC) dan Masjid Punchbowl. Di Lakemba hanya di Masjid Ali bin Abi Thalib dan di Masjid Darul Ulum. Di Padstow tarawihnya dengan jamaah pengajian komunitas Indonesia, begitu pula di Glandenning yang jaraknya sekitar 40 kilometeran dari pusat kota itu.

Dari semua tempat itu, yang tarawih 20 raka’at hanya di Masjid Darul Ulum, selebihnya 8 raka’at, termasuk di pengajian Kaifa Nahdlatul Ulama New South Wales (NU NSW). Meski umumnya kaum NU di tanah air shalat tarawih 20 raka’at, tapi berdarkan ‘market demand’ . maka di pengajian itu jumlah raka’at pun disesuaikan. Itu bukan masalah, karena semakin dewasa dalam beragama, orang makin bisa menerima perbedaan pilihan selagi itu sama-sama benar. Jadi karena maghrib datang jam tujuh lebih, maka isya juga jam setengah sembilan lebih. Orang-orang harus cepat pulang untuk beristirahat guna kegiatan esok, maka jumlah 8 dengan bacaan pelan lebih dipilih dibanding jumlah 20 tetapi ngebut.

Sang Bilal dan Syaikh Bilal

Tarawih saya di bulan Ramadan ini paling sering di Punchbowl Community Centre (PCC) yang jaraknya sekitar 150 meter dari rumah. Tempat ini lebih dekat dari Masjid Punchbowl, yang jaraknya dari rumah sekitar 350 meter. PCC adalah semacam gedung serba guna milik pemerintah yang bisa disewa oleh masyarakat umum untuk beragam kegiatan. Di samping dan depannya ada parkiran mobil yang cukup luas. Sebelumnya saya sudah tahu kalau PCC digunakan untuk shalat Jumat, tapi tidak tahu kalau digunakan untuk tarawih juga.

Awal mula tahunya adalah suatu ketika saat bubaran tarawih di Masjid Punchbowl, saya pulang melewati lewat area dekat PCC seperti biasa. Saya perhatikan dalam beberapa malam, suasana kok selalu ramai juga di waktu-waktu bubaran tarawih. Suatu kali saya mendekat karena penasaran, dengan dugaan jangan-jangan ada shalat tarawih juga di situ. Lalu saya dekati beberapa orang yang baru keluar dari PCC dan mau naik mobil, sambil bertanya “apakah ada shalat tarawih d sini?” Jawabannya “iya.” Saya tanya lagi, “apakah tarawihnya setiap malam?” Jawabannya ternyata membenarkan pertanyaan.

Maka besoknya saya ikut tarawih di tempat itu. Penyelenggaranya ternyata sama dengan yang mengadakan shalat Jumat di situ yaitu satu komunitas Muslim Lebanon. Jumatan di sini bisa dikatakan untuk segmen yang ingin beribadah lebih ringkas. ‘Working class’ yang ingin segera kembali bekerja, anak-anak muda yang tidak mau berlama-lama, orang-orang tua yang harus menjaga badan. Shalat jumat di sini lebih cepat dibanding di Masjid Punchbowl, kostum ibadah jamaah juga nampak tidak seresmi di masjid itu. Begitu puntarawih di sini, lebih singkat dibanding di Masjid Punchbowl. Akhirnya saya keseringan shalat tarawih di situ.

Yang saya nikmati benar dari tarawih di sini adalah lantunan sang sang bilal. Di kampung kelahiran saya, istilah bilall merujuk kepada orang yang melantunkan suara ajakan shalat tarawih maupun witir, shalawat, pujian kepada khulafa’ rasyidun, serta dzikir. Suara bilal terdengar saat setiap mau memulai shalat tarawih, memulai shalat witir, serta jeda antara salam menuju takbiratul ihram berikutnya. Bahkan ‘mbilali’ sudah menjadi kata kerja, artinya melakukan tugas sebagai bilal.

Sebelumnya di Masjid Punchbowl dan Masjid Ali bin Abi Thalib Lakemba, yang juga berbasis komunitas Muslim Lebanon, saya mendengar suara bilal, tapi tidak selantang dan sepanjang lantunan suara bilal di PCC. Maka keberadaan bilal ini sungguh bikin ingat suasana kampung kelahiran saya, meskipun jumlah ra’at tarawihnya berbeda. Jika di kampung saya lantunan sang bilal menyertakan penyebutan nama-nama Khulafa’ Rasyidun yang empat, maka di PCC tidak seperti itu.

Di PCC, saat akan memulai tarawih, sang bilal membaca doa yang sayangnya saya dengarkan berkali-kali tidak kunjung bisa saya hafal. Setelah doa, sang bilal menyerukan “ ṣalātut-tarāwīḥi aṡābakumullāh .” Seteiap selesai salam, yang bibaca bersama jamaah adalah “subḥānallāh wal-ḥamdu lillāh wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāhil-‘aliyyil-‘aẓīm. Astaghfirullāh."

Sebelum raka’at ketiga tarawih yang dibaca allahumma "ṣallū ‘alā sayyidinā Muḥammad", sebelum raka’at  kelima yang dibaca "allāhumma arḍa ‘an aṣḥābi sayyidinā Muḥammad",  sebelum ra’at ketuju yang dibaca "khātamal-anbiyā’i wal-mursalīna ṣallū ‘alayh." Lalu menuju shalat witir ada doa yang juga saya dengarkan berkali-kali tapi tidak kunjung saya hafal juga. Untuk mengajak menuju shalat witir sendiri, sang bilal menyerukan “ṣalātul-witri aṡābakumullāh.”  

Semua seruan sang bilal tadi dijawab oleh para jamaah dengan suara rendah, tidak sekeras suara jamaah tarawih di masjid kampung kelahiran saya. Kemudian di sini salat witir dilaksanakan tiga raka’at langsung dengan tahiyyat awal dan doa qunut sebelum ruku’. Karena kebiasaan yang berbeda, saya masih sering keliru, setelah doa qunut selesai malah langsung posisi siap sujud. 

Saat pertama kali tahu ada sang bilal bersuara lantang, saya terkesan sekali dan setelah tarawih langsung mendekati sang syaikh yang menjadi imam. Dia adalah orang yang sama dengan khatib sekaligus imam shalat jumat rutin di PCC. Saya bilang ke syaikh ini, saya dari Indonesia dan di kampung saya saat shalat tarawih ada juga doa dan seruan-seruan di antara shalat seperti yang ada di situ. Dia bilang “maasya Allah.”

Lalu saya sebut nama saya sekaligus menanyakan namanya. Dia pun menjawab “Bilal”. Lah! Saya katakan, yang bertugas membawakan seruan-seruan seperti tadi kalau di kampung saya disebut bilal! Saya bilang kalau istilah ini disibatkan kepada nama Bilal bin Rabah, sang sahabat yang terkenal sebagai pelantun azan di masa Rasulullah SAW. Ini malah jadi momen membahas sosok bilal bersama Syaikh Bilal.

Dua Puluh Raka’at Satu Juz Lebih 

Rencana semula untuk safari saya adalah menyertakan beberapa tempat yang menyelenggarakan tarawih 20 raka’at. Untuk mudahnya, asal masjid komunitas Turki maupun Asia Selatan maka biasanya tarawih didakan dalam 20 raka’at. Beberapa masjid komunitas Arab ada juga yang begitu. Info detail mana tempat yang raka’at tarawihnya 8 mana yang 20 pun sebenarnya bisa dicari melalui secara online. Tapi akhirnya malah saya lebih banyak bertarawih di PCC sebagai mana cerita saya di atas.

Hingga suatu hari saya berpikir kenapa tidak saya ikut tarawih 20 raka’at barang sekali saja. Lalu saya terpikir tentang Masjid Gallipoli milik komunitas Muslim Turki di Auburn. Berdasarkan informasi yang masjid ini tarawih dibagi dua, di bagian utama dengan ‘kecepatan biasa’ di bagian basement  dengan bacaan satu juz. Tapi karena jarak yang tidak dekat, pilihan ini saya urungkan. Saya akhirnya lebih memilih ke Lakemba, di mana terdapat beberapa pilihan dari tempat tarawih komunitas Muslim Asia Selatan. Yang saya pilih akhirnya adalah masjid Darul Ulum yang dekat dengan lokasi keramaian Lakemba Night during Ramadan itu. Tempat ini saya pilih karena sepertinya paling besar dibanding pilihan-pilihan lain di area tersebut.  

Malam itu di Masjid Darul Ulum, sepertinya hanya saya orang Indonesia bahkan Asia Tenggara yang ikut bertarawih. Saya datang sebelum shalat isya dimulai, di mana di pintu masuk seorang bapak tiba-tiba mengajak ngobrol dengan Bahasa Melayu yang patah-patah. Mungkin karena saya pakai songkok hitam, maka dia langsung mencoba berbicara dengan saya melalui bahasa itu. Dia mengaku berasal dari Srilanka, buru-buru masuk masjid tanpa menjawab pertanyaan saya tentang di mana belajar Bahasa Melayu.

Bacaan dalam shalat isya malam itu sungguh nyaman didengarkan, mirip dengan bacaan imam di Haramain. Lalu tarawih dipimpin oleh imam yang sama, tanpa ada suara bilal sebelumnya, hanya seruan imam “ ṣalātut-tarāwīḥ”.  Sesungguhnya saya cuma tahu kalau tarawih di situ bakal sebanyak 20 raka’at, tapi tanpa tahu tentang bagaimana soal ‘kecepatannya’. Setelah Surah Alfatihah, sang imam pun membaca permulaan juz 29. Tunggu punya tunggu, kok imam tidak segera rukuk, malah halaman pertama juz 29 dilibas habis. “Wah! Ini,” dalam batin saya. Sadarlah saya kalau tarawih ini bakalan menyelesaikan bacaan 1 juz.

Sempat berpikir untuk mundur saja setelah 8 raka’at. Kebetulan juga suasana kurang nyaman, karena semua air conditioner dan kipas angin dinyalakan penuh, bikin badan makin menggigil di waktu-waktu menjelang musim dingin itu. Herannya orang-orang nampak santai saja ditiup angin seperti demikian. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, saya memutuskan untuk bertahan. Yah, namanya manusia biasa, shalatnya sambil mikir. Saya bertahan untuk terus melanjutkan menyimak bacaan imam yang fasih dan elok, meski saya tahu dia bukan orang Arab sekalipun.

Apalagi saya pikir memang saya membutuhkan siraman spiritual, terkait kondisi diri sendiri juga terkait kondisi tanah air yang nampak tidak baik-baik saja. Maka shalat tarawih meskipun harus dengan berdiri lama begitu, tetap saya ikuti dan nikmati. Untuk menghindari angin dingin, saya berpindah tempat sekiranya tidak begitu jadi titik serangan tiupan angin. Imam shalat tadi tidak sendiri, masih ada dua yang lain, semua bergantian dari mulai shalat isya sampai shalat witir. Dan ternyata, bacaan tarawih mereka malam itu tidak hanya selesai di juz 29 saja, tapi lanjut sampai masuk juz 30.

Selapas tarawih, saya sempat bertanya ke satu orang tentang komunitas yang jadi latar belakang masjid itu. Menurut orang ini, kebanyakan jamaah masjid adalah dari India dan dia sendiri pun berasal dari negara ini. Saat saya tanya dari India bagian mana, dia jawab dengan bangga “dari Hyderabad, tempat Nasi Briyani berasal.” Satu orang lain saya tanya lagi soal bacaan Quran dalam tarawih. Dia bilang besok malam adalah waktunya khataman, yang kemudian akan dilanjutkan dengan bacaan doa.

Malam itu saya mengikuti rangkaian shalat isya, tarawih sampai selesai witir dalam waktu sekitar dua jam. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas, saat saya menyusuri Haldon Street menuju ke halte bus. Saat itu bukan jadwalnya keramaian Lakemba Night During Ramadan yang terkenal itu digelar, karena adanya hanya malam Jumat sampai malam Senin. Tapi Haldon Street yang terkenal dengan komunitas Muslim ini nampak tetap semarak tanpa gelaran itu. Toko-toko tetap buka, orang-orang nampak ramai, seolah tak mau kalah untuk menghidupkan malam Ramadan, dengan cara mereka masing-masing.  

Penulis

Muhyidin Basroni*

* Dosen Fakultas Dirasah Islamiyah, UNU Yogyakarta. Pernah menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo dan aktif di PCINU Mesir. Saat ini menempuh studi di Western Sydney University, Australia sambil belajar di Pengajian Kaifa NU New South Wales.

 

 

Redaksi PSID

Official Akun Redaktur Pesantren ID.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram