Hari ini kita berada di hari ke-22 Ramadan 1441 H. Nanti malam ke-23, hari ganjil (witir) ke-2 hitungan sepuluh hari terakhir. Apakah Allah akan menurunkan malam Lailatul Qadar? Jawabannya Allah a’lam. Karena tidak ada yang mengetahui kapan persisnya, malam Lailatul Qadar itu akan turun. Di hari-hari kita semua mengharapkan akan mendapat keberkahan malam yang lebih mulia dari seribu bulan itu, Rasulullah saw menganjurkan untuk membaca doa “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbu l-‘afwa fa’fu ‘annii” artinya “Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah pemaaf, mencintai memberi maaf dan pengampunan, maka maafkanlah dan ampunilah aku”.
Kisah tentang Rasulullah saw yang menyempatkan diri secara rutin untuk menyuapi lelaki buta Yahudi, yang selalu mengumpat dan menistakan beliau, sudah sangat terkenal. Hingga Abu Bakr Ash-Shiddiq saja, yang kemudian meniru dan tidak bisa selembut beliau, akhirnya setelah beliau wafat, baru membuka mata hati si buta kasar itu, hatinya “runtuh” dan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pada masa-masa awal perjuangan Rasulullah saw, kekejaman musuh-musuh Islam yang luar biasa, tidak menjadikan beliau mendendam. Dalam buku The Great Story of Muhammad (2012:159) disebutkan, “suatu hari Rasulullah saw sedang mendirikan salat fajar bersama kaum Muslimin di Hudaibiyah. Tiba-tiba datang 70-80 orang kafir dari wilayah Tan’im, yang hendak menyerang Beliau. Mereka tertangkap, dan Rasulullah pun membebaskan mereka tanpa tebusan. Pimpinan mereka, bernama Ghawrats bin Harits yang sudah mencoba membunuh Beliau, diberi pengampunan. Tampaknya, Beliau memiliki feeling yang sangat kuat, bahwa mereka itu, akan mendatangkan manfaat dan keberkahan. Ghawrats pun Kembali ke tengah-tengah kaumnya dan berseru: “Aku Kembali mendatangi kalian dari tempat sebaik-baik manusia”.
Dalam kisah yang lain, “ada jenazah yang ditandu, melewati di hadapan Rasulullah saw. Beliau segera berdiri menghormatinya. Para Sahabat berseru “Wahai Rasulullah saw, itu adalah jenazah seorang Yahudi”. Beliau menjawab: “Bukankah ia juga manusia” (Riwayat Muslim).
Rasulullah saw mengajarkan kelembutan, memaafkan, dan memohonkan ampunan, dan bermusyawarah, sebagaimana QS. Ali ‘Imran (3): 159 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
Ada riwayat yang sangat dramatis. Kondisi kaum Muslim kian memprihatinkan bahkan sangat menderita. Embargo ekonomi telah berlangsung tiga tahun, terutama di perkampungan Abu Thalib. Kegiatan dakwah sangat terpengaruh. Selama itu pula Rasulullah saw bersama Khadijah berusaha keras melindungi mereka. Seluruh harta benda Khadijah habis digunakan untuk membantu kaum Muslim yang kelaparan. Keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib tetap membela Rasulullah saw. Ini terjadi pada tahun ke-7 kenabian.
Sejahat-jahat manusia, ada juga yang masih menyisakan empatinya pada kaum Muslimin. Adalah ‘Umar al-Amiry yang meletakkan makanan di atas unta, dan menyuruh unta itu agar membawa makanan ke Bani Hasyim. Namun tak berlangsung lama, karena “upayanya” itu ketahuan oleh pembesar Quraisy (Ibid, h. 162). Yang aneh lagi, para kafir Quraisy mengizinkan Rasulullah saw dan kaum Muslim menunaikan ibadah haji. Alasannya, agar Tindakan “boikot” atau “embargo” yang mereka lakukan, tidak diketahui oleh suku-suku yang lain.
Abu Jahal adalah orang yang merancang piagam pemboikotan itu. Dan “piagam pemboikotan” itu digantung di Kakbah. Di antara tokoh kafir Quraisy sendiri sudah muncul banyak pertentangan. Di antaranya Hisyam bin ‘Amru dan penulisnya Zam’ah bin Al-Aswad. Mereka bersitegang tentang persoalan “Piagam Pemboikotan” itu. Saat ketegangan memuncak, Abu Thakib datang ke Masjidil Haram, karena ia telah diberi tahu Rasulullah saw, bahwa piagam tersebut telah robek dimakan rayap. “Paman, lembaran piagam itu telah musnah karena Allah telah mengirimkan rayap-rayap untuk memakannya, kecuali tulisan yang ada nama Allah”.
Abu Thalib memberitahukan kepada mereka: “Wahai pembesar Quraisy, kemenakanku mengatakan, piagam itu telah dimakan rayap. Mari kita buktikan kebenaran Muhammad. Jika memang kemenakanku berbohong, saya akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya. Sebaliknya, jika dia benar, kalian harus membatalkan embargo”. Mereka menjawab: “Jika itu yang engkau inginkan, kami setuju. Kalau begitu, engkau telah berlaku adil”. Setelah itu, Al-Muth’im bergegas menuju lembaran piagam itu untuk merobeknya. Ia terkejut bercampur gembira, karena ia melihat rayap-rayap telah memakan piagam kecuali tulisan BismikaLlah (dengan nama-Mu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya.
Akhirnya Nabi saw Bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat leluasa dan menghirup kebebasan. Meskipun mereka masih belum mau mengakui kebenaran Nabi saw dengan tanda-tanda kenabian seperti itu. Saya melihat, mengapa Rasulullah saw “memilih” naskah piagam yang digantung di Kakbah, dimakan rayap? Ini dapat difahami, bahwa beliau ingin tidak mempermalukan siapapun dari kalangan mereka. Pilihan “politik” yang sangat luar biasa cerdas, sekaligus menghargai mereka. Maka wajar, jika setelah mengalami perjalanan hijrah, dan perjuangan selama di Madinah, akhirnya seluruh semenanjung Arabia, berbondong-bondong masuk Islam.
Semoga kita semua, sambil mempersiapkan diri untuk menjemput keberkahan malam Lailatul Qadar, kita bisa mengambil pelajaran berharga, untuk menjadi hamba Allah yang pemaaf dan menjaga “harga diri” orang lain – meskipun itu pesaing kita, untuk tidak “mempermalukannya”. Allah a’lam bi sh-shawab. [HW]