Dalam dunia Islam, diantara sumber-sumber hukumnya adalah Al-Quran dan Sunnah. Keduanya menggunakan Bahasa Arab. Maka diperlukan penguasaan bahasa Arab terlebih dahulu sebelum seseorang berwenang menggali suatu hukum tertentu dari keduanya.
Di era sekarang, terjemahan Al-Quran dan hadis memang melimpah. Namun ketergantungan terhadap terjemahan tentu menjadi bukti tersendiri yang menunjukkan bahwa orang tadi tidak memiliki kapasitas untuk menggali hukum secara mandiri.
Orang yang memakai terjemahan layaknya hakim yang hanya berpijak pada “katanya” dalam mengadili suatu perkara. Tanpa memiliki saksi yang jelas dan bukti yang kuat.
Oleh karenanya penguasaan bahasa Arab penting dalam masalah penggalian hukum Islam. Pun masyarakat sebagai konsumen dari produk hukum itu sendiri jadi lebih yakin dan mantap jika suatu fatwa dikeluarkan oleh orang yang memang berkompeten.
Dalam usaha menguasai bahasa Arab, seseorang setidaknya perlu memiliki penguasaan dalam empat hal; kosakata, kaidah berbahasa (morfologi & gramatikal), fonologi, dan semantik. Keempatnya biasa disebut oleh Abdurrahman bin Ibrahim Fauzan dalam kitabnya Idha’at sebagai ‘Anasirul lughah atau unsur-unsur bahasa.
Dari keempat unsur bahasa tersebut, gramatikal merupakan hal yang jarang diperhatikan, padahal penting. Terbukti dari beberapa orang yang belajar bahasa Arab, namun tidak semua menguasai I’rob dengan baik.
Tidak heran lalu KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul Risalatu Ahli Sunnah, berpendapat bahwa mempelajari nahwu berhukum bid’ah waajibah. Karena beliau menganggap bahwa memang ilmu ini tidak ada di zaman Rasulullah, namun semua orang ketika itu memiliki gramatikal yang baik dan benar saat berbahasa.
Lalu, dari sekian banyak kitab nahwu, alfiyah-lah yang paling tersohor sebagai kitab yang perlu dipelajari seseorang sebelum digelari ahli dalam morfologi bahasa Arab. Kitab karangan Al-alamah Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin ibnu Malik at- Thai, dari Andalusia ini, merupakan ringkasan dari kitab al-Kafiyah asy-Syafiyah, kitab ini banyak dipuji oleh banyak cendikiawan, serta melahirkan banyak kitab syarah dan karya komentar yang tak terhitung jumlahnya.
Alfiyah dan Pesantren
Memang ada beberapa jurusan yang mempelajari nahwu, namun belum ada kampus di Indonesia yang menjadikan kitab Alfiyah sebagai materi ajar wajib dalam pelajaran Nahwu. Berbeda dengan kampus, di beberapa pondok pesantren kitab Alfiyah ini diajarkan. Jadi tidak terlalu membesar-besarkan bila membahas kitab Alfiyah, akan membuat kita ingat pesantren.
Kitab Alfiyah bagi sebagian santri merupakan indikator sederhana, berbobot atau tidaknya sebuah pesantren. Terdengar gegabah memang, namun nyatanya pondok-pondok “sepuh” memang tidak luput dari kajian kitab ini, seperti pondok pesantren Lirboyo, Tambakberas, Kajen dan lain sebagainya.
Tingkat keberhasilan dalam mempelajari kitab ini pun beda pondok beda pula indikatornya. Karena memang beda tujuannya. Ada yang bertujuan anak didiknya hafal saja, ada yang paham saja tanpa perlu menghafalkannya, ada yang paham isinya namun juga dibarengi dengan hafal bait-bait sebagai bagian dari penguat argumentasi ketika memahami kitab.
Saking tersohornya kengerian kitab ini, sampai-sampai ada mitos yang muncul di beberapa pesantren. Seseorang akan mendapatkan cobaan ketika akan menghafalkan keseluruhan bait kitab ini. Boleh percaya, dan boleh sekali untuk memilih tidak ikut mempercayainya.
Dikutip dari http://lirboyo.net, kitab alfiyah di Lirboyo baru diajarkan pada tingkat Aliyah, setelah Jurumiyah dan Imriti yang diajarkan pada tingkat sebelumnya. Dari situ dapat disimpulkan bahwa memang kitab ini, adalah kitab tingkat lanjut dalam memahami morfologi bahasa Arab. Orang yang menguasainya pun sudah bisa dikatakan mumpuni dalam bidang Nahwu.
Alfiyah dan Mbah Kholil Bangkalan
Kiai Kholil Bangkalan adalah seorang ulama sezaman dengan Syekh Nawani Banten, Kiai Abdul Karim, dan Kiai Mahfudh, yang mana ketiganya pernah belajar di Makkah sekitar tahun 1860-an. Dalam buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyari Dhofier menyebutkan beberapa Ulama yang memiliki sanad keilmuan kepada Kiai Kholil. Di antaranya adalah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, kiai Manaf Abdul Karim Lirboyo, Kiai Muhammad Shiddiq Jember, Kiai Munawir Krapyak, Kiai Maksum Lasem, Kiai Abdul Mubarak Suralaya, Kiai Wahab Hasbullah Tambakberas.
Bisa dibilang hampir semua ulama besar seangkatan dengan Kiai Hasyim Asy’ari belajar dibawah bimbingan beliau. Tidak heran, selain dikenal sebagai seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai seorang Waliyullah.
Dengan demikian Kiai Kholil bisa dijadikan model bagi sosok ulama Indonesia masa kini. Setidaknya ulama masa kini memiliki kemahiran pada bidang yang sama.
Menurut Abdurrahman Mas’ud, dalam buku “dari Haramain ke Nusantara” Kiai kholil punya hubungan istimewa dengan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Beliau mampu menghafal 1002 baitnya ketika usianya masih sangat muda.
Bahkan, saking hafalnya beliau mampu menghafal bait-bait Alfiyah secara terbalik, dari akhir ke depan. Bahasa jawanya beliau mampu menghafal dengan nyungsang. Menghafal secara normal saja, santri masa kini masih sering keliru, apa lagi kalau disuruh nyungsang.
Lebih lanjut, menurut Abdurrahman keahlian Kiai Kholil dalam bidang tata bahasa Arab menarik para santri lain yang antusias untuk menguasai ilmu tersebut pada masanya. Konon, Kiai kholil sendiri lah yang mempopulerkan kitab ini di Nusantara. [HW]
[…] kecil yang biasa dikaji di pesantren, seperti Jurumiyyah, kemudian Taqrib, Tahrir, Aqidatul Awam, Alfiyah, dan […]
[…] dan merasa perlu mencari tantangan baru. Atau memang mereka atau walinya merasa bahwa hatam kitab Alfiyah adalah titik cukup mempelajari kitab kuning di […]