Agama di Mata William James: Sebuah Konsepsi Agama Perspektif Psikologi

Menyelami kajian tentang agama, bak menyusuri sumur tanpa dasar. Kajian agama menjadi satu hal yang terus mengalir-berkembang. Hal ini bisa dilihat betapa banyak disiplin ilmu yang  turut mengambil bagian dalam merumuskan sudut pandang dalam memahami agama, misalnya teologis, psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, agama menjadi objek kajian yang  tak lekang oleh masa.

Satu hal yang ingin kita tarik dan telisik lebih lanjut adalah melihat agama dari kacamata psikologi. Agama dari sisi psikologi, menjadi kajian yang cukup menarik untuk direntangkan lebih jauh. Hal ini diamini oleh para Psikolog yang telah banyak menyumbangkan gagasan tentang agama yang cukup bervariatif. Sebut saja Freud (1856-1939)—ia mengatakan bahwa agama adalah khayalan, Carl Gustaf Jung (1875-1961) mengatakan bahwa agama menjadikan kehidupan seseorang dipenuhi dengan ketakutan dan frustasi. Selain daripada tokoh tersebut—hal yang sama juga telah dilakukan oleh para Psikolog lainnya. Dengan demikian, psikologi menjadi disiplin ilmu yang berhasil menyuguhkan konsepsi agama menggunakan sudut pandangnya.

Namun, masih dalam persoalan yang sama,  hadir salah seorang Psikolog yang berasal dari negeri ‘Paman Sam’ memiliki pandangan lain dalam memahami agama. Ia menyanggah gagasan yang telah ditawarkan oleh kedua tokoh yang telah disebut di atas dan mengatakan bahwa agama dari sisi psikologi tidak selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berangkat dari kondisi psikologi manusia saja. Psikolog yang dimaksud bernama William James.

Sketsa Biografi William James

Siapakah Wiliam James? Agar pembahasan lebih intens, mari kita mengenal James lebih dekat melalui potret singkat ini. James lahir pada 1842 di New York. Ia lahir dari keluarga yang berintelektual tinggi serta mapan; ia tumbuh dari keluarga yang gemar berdiskusi dan melakukan pengembaraan intelektual; ia berada dalam lingkungan yang berekonomi tinggi; kehidupannya terjamin sebab ayahnya telah mewarisi kekayaan dari sang Kakek dalam dunia property. Ayahnya bernama Henry James dan ibunya bernama Alice Walsh. James merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Baca Juga:  Ijtihad Umar ibn Khattāb yang Disalahpahami

Sebagai seorang tokoh yang berasal dari Amerika Serikat, James expert dalam banyak bidang. Hal ini nampak dari banyaknya  julukan yang tersemat dan mengiringi nama James.  Misalnya saja, Ia kerap disapa sebagai seorang psikolog, Filosof, tokoh agama, bapak pragmatisme, bapak empirisme radikal, dan pembaca ulung.

Selanjutnya James juga  dikenal sebagai seorang penulis  yang produktif. Hal ini bisa dilihat apabila kita ‘mau’ meminjam istilah dari salah seorang penulis biografi James yang mengatakan bahwa bila dibentangkan karya-karya James—maka akan mencapai jumlah yang cukup fantastis! Ia menyebut ada sekitar 50 halaman hanya untuk menulis judulnya saja. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, James merupakan cendekiawan yang telah mewarisi keluasan ilmu.

Agama di Mata William James

William James sebagai bapak Pragmatisme dari Amerika menyumbangkan buah pikirannya dalam sebuah penelitian agama. Ia mencoba memahami agama dengan memberikan definisi agama yang telah terabadikan dalam bukunya berjudul “The Varieties of Religius Experience”—yang diterbitkan pada 1902—yang merekam fakta tentang keragaman pengalaman keagamaan.

Dalam bukunya tersebut, ia mendefiniskan agama sebagai “The feelings, acts, and experiences of individual on their solitude—so far as they apprehend themselves to stand in relation to whatever they may concider divine” (agama adalah perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia dalam kesendiriannya—sejauh mereka memahami diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan apa yang mereka anggap sebagai Ilahi)

Dari definisi tersebut, tersirat dengan jelas, bahwa James berusaha melihat agama melalui fakta yang ditemukan dari individu dalam wujud perasaan, tidakan, pengalaman, atau hal apapun dari diri individu—sejauh mereka menyadari ‘memiliki’ keterikatan dengan yang mereka anggap sebagai yang Ilahi. Hal ini tentu berbeda dengan tokoh lain yang juga telah mendefinisikan agama seperti Durkheim yang justru tertarik melihat agama dari fakta sosial.

Baca Juga:  Maqashid al-'Ibadat: Menuju Kesempurnaan Memahami Agama

Sebagai seorang Psikolog, James lebih tertarik membidik agama melalui fakta individu. James beranggapan bahwa dalam diri individu akan ditemukan hal yang hakiki; dalam artian—sejauh individu menyatakan agama dalam urutan ter-marginal-kan dalam kehidupan—hakikatnya dalam jangkauan hati yang terdalam, agama adalah sesuatu yang sangat penting dan nomor satu. Sementara jika dilihat dari fakta sosial hanya akan menjadikan agama berada pada nomor urut yang lain. Serupa itu, maka demikianlah agama di mata William James.

Gagasan lain yang juga ditawarkan James dalam bukunya adalah Pengalaman Mistisme. Mistisme menghadirkan situasi yang sulit untuk dijelaskan meskipun pengalaman yang dirasakan oleh individu berdasar pada fenomena empirik. Menurut James—hanya diri individu yang mampu secara nyata merasakan pengalaman kehadiran yang ilahi. Seseorang yang menjadi transfer kisah pengalaman, mungkin mampu untuk menyimpulkan yang dirasakan oleh individu lain—namun hakikat yang dimaksud belum tentu demikian. Fenomena mistisisme inilah yang kemudian dapat dikenali melalui tanda-tanda yang telah James jelaskan dalam bukunya. Di antaranya ineffability (tak terlukiskan), noetic quality (bermuatan intelektual), transiency (kefanaan), dan passifity (kepasifan).

Dengan demikian, memahami agama memang tidak cukup berhenti dengan melihat dari satu disiplin ilmu, atau satau perpektif saja. Bila meminjam istilah dari Pak Fahhruddin Faiz dalam jelangan ngaji filsafat, ia mengatakan—dengan banyak perpektif yang kita pelajari dalam memahami agama—maka wawasan kita akan semakin terbuka—sehingga ketika berbicara soal agama, kita faham maksud dari konteks pembicaraan tersebut.

Sekian wallahu a’lam. []

Tri Faizah
Penulis adalah Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini