menjadi dirimu sendiri

Sekitar tahun 2006, tahun ajaran madrasah berjalan setengah. Instruksi untuk memulai mengerjakan tugas akhir sekolah mulai diedarkan. Kami, para siswa kelas akhir harus memulai mengerjakan karya tulis arab yang menjadi syarat kelulusan.

Langkah awal sebelum memulai mengerjakan tugas akhir ini adalah menentukan judul. Saya yang masih merasa bersalah kepada orang tua, karena dianggap melakukan pelanggaran berat dipondok beberapa bulan sebelumnya, berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang mungkin bisa membanggakan. Terutama membanggakan bapak. Maka, saya memilih untuk menulis tentang sesuatu yang sejak lama jadi rumus sukses bapak. Yaitu: tiga hal yang akan mewariskan kesuksesan dan kebahagiaan. Yaitu istiqomah, khidmah, dan sholat jamaah.

Setelah yakin dengan pilihan ini, saya memutuskan untuk pulang kerumah sesaat. Berangkat hari kamis siang setelah pulang sekolah. Dan berencana kembali ke pondok lagi jumat sore. Biar tidak ketinggalan sekolah hari sabtunya.

Butuh waktu delapan jam perjalanan, dan berpindah bis tiga kali, akhirnya saya sampai dirumah sekitar isya’. Berharap langsung mendapat sambutan hangat keluarga, namun ternyata malah disambut dengan wajah garang bapak. Dan langsung ditanya:”lapo kok muleh?(kenapa kok pulang?)”. Dengan sedikit takut melihat rona wajah bapak, saya menjawab:” ajenge nyuwon pangestu, lan nyuwon dukungan. Kulo ajenge milai nggarap karya tulis arab kang dados syarat kelulusan, membahas tentang maqolah kang biasane njenengan dadosaken prinsip sukses niko(saya pulang untuk meminta restu dan dukungan bapak, karena saya baru mau memulai mengerjakan tugas membuat karya tulis arab yang menjadi syarat kelulusan dan membahas tentang maqolah yang biasanya anda jadikan prinsip sukses itu)”.

Dengan menjawab ini, saya berharap bapak lalu luluh dan memaafkan kepulangan saya yang diluar jadwal liburan ini. Dan kemudian membantu tugas saya. Atau minimal mengarahkan lah.

Namun ternyata saya salah, dengan nada meninggi bapak justru ngendikan:” ora wayahe libur gak usah muleh. Lek arep garap opo-opo ojo ngandalne wong tuwo. Kudu iso ngadek dewe( kalau tidak waktunya libur, jangan pulang kerumah. Dan juga kalau mau mengerjakan tugas apapun, jangan mengandalkan orang tua. Harus bisa mandiri)”.

Saya semakin menciut dan takut. Bapak juga tidak berhenti sampai segitu, bapak melanjutkannya dengan ngendikan:” sesok isuk langsung balik pondok(besok pagi harus langsung kembali kepondok)”.

Jumat pagi saya langsung balik kepondok dengan kecewa, dan sedikit marah. Saya hanya ingin meminta sedikit bantuan, dan juga sedikit refreshing kerumah, malah dimarahi habis-habisan.

Tak hanya sekali itu, dilain waktu saya pernah dilapori khodam sawah tentang lahan persawahan bapak yang nganggur tidak tergarap. Sang khodam menawarkan saya untuk memodalinya dan ditanami jagung. Nanti bisa buat tambah-tambah sangu lah. Saya tertarik dan mengamini ide tersebut.

Dengan dada terbusung karena bangga, saya haturkan permintaan izin kepada bapak untuk menggarap lahan nganggur tersebut. Saya yakin, bapak pasti akan bangga karena anaknya sudah mulai berinisiatif mencari uang sendiri.

Namun ternyata itu kebanggaan semu, bapak justru langsung berwajah galak, dan ngendikan dengan nada sedikit meninggi:” lek ancen pengen nggarap sawahku, yo kudu nyewo koyok dene wong-wong ndeso iku(kalau memang kamu ingin menggarap lahan sawah saya, ya harus menyewa dengan harga seperti yang berlaku di masyarakat itu)”. Harapan saya hancur, dan kembali harus menahan kekecewaan.

Saya berusaha memahami dengan keras waktu itu, namun tetap saja belum mampu memahami dan memaklumi seutuhnya. Saya tidak berani marah namun saya juga tidak menerima dengan lapang dada.

Semua didikan keras bapak ini justru bisa saya fahami beberapa tahun kemudian. Setelah pulang dari pondok, dan sering mendengar ngaji bapak dirumah, dan dibeberapa kesempatan pengajian, saya mulai sedikit demi sedikit bisa memahami. Bahwa memang bapak ingin saya menjadi seorang lelaki yang tidak mengandalkan bapak, tapi mengandalkan diri sendiri.

Bapak ingin saya menjadi anak yang sesuai dengan maqolah: ali’timadu alan nafsi, asasun najah(bersandar pada diri sendiri adalah dasar kesuksesan). Meskipun didikan keras bapak ini masih menyisakan sedikit kejengkelan, namun saya sadar bahwa semua didikan itulah yang menempa karakter saya sekarang. Meskipun belum menjadi seseorang, namun saya merasa bangga dan bahagia dengan saya sekarang.

Menjadi mandiri secara pribadi dan lembaga adalah sesuatu yang sangat susah, namun sejauh ini saya merasa ada ketenangan dan kehormatan yang terjaga didalamnya. Sebuah pendidikan yang mahal.

Saya jadi mengamini apa yang diucapkan oleh para penulis: memang butuh penempaan yang panjang dan menyakitkan bagi sebuah baja, untuk menjadikannya senjata yang istimewa.

Semoga kita bisa menjalani proses dengan sabar, dan kemudian menjadikannya dasar bagi proses pembentukan generasi selanjutnya. (IZ)

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Istri Shalihah (1)
    Opini

    Istri Shalihah (1)

    Istri shalihah telah lama menjadi kosa kata yang populer dalam masyarakat Indonesia. Pada ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini