Mengkaji Taqdir dalam al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang merupakan kumpulan-kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara tujuan utama diturunkan al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupannya agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, dan prinsip, baik yang bersifat global maupun yang terinci, yang eksplisit maupun implisit, dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.

Agama Islam yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. dan umatnya, memiliki ajaran-ajaran sebagai pedoman hidup di dunia ini bagi umat manusia. Ajaran-ajarannya itu dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: pertama, bagian yang berada di bidang aqidah (keyakinan), dan kedua, bagian yang berada di bidang amal (perbuatan). Ajaran yang berada dalam bidang aqidah dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia mengembangkan diri menuju kesempurnaan pandangan (teoritis), yakni kesempurnaan pengetahuan, pemahaman, akidah, atau îmân. Sedang ajaran yang berada dalam bidang amal (perbuatan) dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia demi mengembangkan amal-amal sehingga tercapai kesempurnaan amali (praktis).

Dengan demikian, Islam dengan kedua bagian ajarannya itu menginginkan kesempurnaan manusia dalam kedua bidang ini, yakni kesempurnaan dalam pandangan terhadap realitas (Tuhan, alam dan manusia), dan kesempurnaan dalam aktivitas atau tingkah lakunya sebagai manusia. Pada kedua kesempurnaan itulah terletak kelebihan atau kemuliaan manusia dari makhluk lainnya di muka bumi, dan juga pada kedua kesempurnaan itu terletak kebahagiaan manusia, baik di masa hidup mereka di dunia maupun di masa hidup akhirat.

Masalah takdir merupakan salah satu keyakinan atau itikad terpenting, yang banyak mendapatkan perhatian ulama, baik dulu maupun sekarang. Berbagai kesimpulan yang mereka tarik dari ajaran takdir diantaranya bahwa Islam itu mengajarkan falsafah “fatalisme”, artinya menyerah kepada apa yang menimpa manusia, menyerah kepada keadaan yang dialami tanpa berusaha untuk mengelak dari bahaya dan keadaan, dan tidak dapat mengelak dari nasib buruk karena semua usaha dan ikhtiar tidak ada gunanya.

Baca Juga:  Melihat Metode Berdebat yang Ditempuh Al-Qur’an

Ada yang menyimpulkan bahwa ajaran takdir itu membuat orang jadi malas bekerja, karena setelah mendalami ajaran takdir orang menjadi bersifat “menanti keuntungan” saja menunggu angin baik, yang paling berbahaya adalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Setelah falsafah takdir dan ikhtiar dipahami secara salah, akibatnya mereka mempunyai perbuatan yang semakin menuruti hawa nafsunya, berbuat dosa dan maksiat, karena berpendirian bahwa perbuatan mereka itu itu sudah ditakdirkan Tuhan.

Dalam hal ini, makna “Qadha dan Qadar yang akrab diartikan takdir itu bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasalnya, karena dalam faham takdir semuanya diketahui, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalnya api membakar itu, menurut Jabariyah adalah kehendak Tuhan, sedangkan dalam iptek yang membakar api itu sendiri, maka kalau kehendak Tuhan yang dipegang berarti tidak ada peraturan.”

Memang ilmu pengetahuan manusia telah dapat dibanggakan, kemajuan ilmu kedokteran, fisika, teknik dan ilmu-ilmu lainnya yang pada akhir-akhir ini memang benar[1]benar mengagumkan. Tetapi di samping itu, terdengar pula keluh kesah dan jeritan dari berbagai sudut dunia yang menandakan hati yang tidak puas dengan keadaan yang ada sekarang ini. Usaha tokoh-tokoh dunia untuk mendamaikan negara-negara yang saling bertentangan pun tidak berhasil, bahkan dirinya sendiri terlibat di dalamnya.

Dengan keadaan demikian, seharusnya manusia insaf bahwa manusia adalah lemah, dan manusia harus mampu menyadari bahwa ada kekuasaan lebih dari luar dirinya. Kalau manusia memang mengatakan dirinya “berkuasa” atas segalanya, semua bisa beres berkat iptek yang ada sekarang dan semuanya bisa diselesaikan oleh manusia. Sebagian orang menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya, mereka melemparkan kesalahan kepada takdir dan pelanggaran mereka terhadap syariat agama.

Baca Juga:  Perbedaan Kata رحمة dan رحمت dalam Al-Qur'an, dan beberapa Variannya (Keunikan Simbol dalam Al-Qur'an)

Tentu saja dari sini ada yang menolak takdir sehingga mengatakan la qadr (tidak ada takdir)[1].  Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu, dan bukankah Allah sendiri menegaskan dalam al-Qur’an, “Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi/18:29). Masing-masing bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, atau apakah Allah telah menciptakan apa yang kita lakukan “Dan kamu tidak menghendaki kecuali bila dikehendaki Allah” (QS. Al-Insan/76: 30).

Demikian banyak perdebatan yang tidak kunjung habis di antara para Mutakallimin (teolog), masing-masing menjadikan al-Qur’an sebagai pegangannya. Corak pemikiran masing-masing aliran bersifat reaktif, sehingga dapat melahirkan kesimpulan pemikiran teologis yang dinamis dan rasional sekalipun tetap konsisten pada arahan dan bimbingan nilai-nilai Qur’ani yang menjadi objek kajian. Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang. (QS. Al-Hadid/57: 23). Artinya manusia itu lemah (tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu al-Qur’an dan hadis untuk ditaati.

Baca Juga:  Mengintip Tawaran Kyai Masdar Soal Waktu Ibadah Haji

[1]Pemikiran Mu’tazilah tentang hubungan antar manusia dan kekuasaan Tuhan berpegang pada prinsip paham Qadariyah yaitu suatu paham yang membatasi kekuasaan mutlak Tuhan dalam perbuatan manusia karena itu doktrin umum yang dimajukan oleh Mu`tazilah adalah “kehendak bebas berbuat dan memilih” (free will) terdapat dalam diri manusia atas dasar kemampuan nalar akal atau rasionya dan potensi lain yang dianugerahkan oleh Allah. Sedangkan doktrin umum Ahlusunnah adalah: “Tuhan menciptakan perbuatan manusia dan manusia memperolehnya”, atau “Pencipta adalah Tuhan dan Kasb adalah manusia”, Doktrin ini tercermin dalam ungkapan yang sering terdengar di masyarakat seperti “ini adalah takdir Tuhan, manusia hanya dapat berusaha”. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka