Berikut ini adalah sebuah surat berisi pertanyaan meminta fatwa (istiftâ) yang ditulis dan dikirimkan oleh sosok bernama Muhammad Syathibi, seorang pengajar di institusi pendidikan Islam tradisional di kawasan Sumedang Kaum, Sumedang, Jawa Barat.

Surat “istiftâ” tersebut termuat dalam majalah “al-Imtisal” edisi nomor II, tahun II (1 Syawwal 1345/4 April 1927). Dalam surat tersebut, Muhammad Syathibi mengajukan dua buah pertanyaan, yaitu seputar hukum bilangan tujuh kali dalam proses mensucikan najis berat (mughallazhah), serta hukum “olab” (gumuh). Menariknya, surat “istiftâ” tersebut ditulis dalam bahasa Arab. Tertulis di sana:

Soemedang, 22 Rabioel-awal ‘45

الى حضرة المكرمين المحترمين مؤلفي الامتثال

حفظكم الله تعالى من الآفات في الدارين آمين

 

السلام عليكم الخ

وبعد. فلما كان الامتثال مهيأ للسؤال والجواب. أسألكم في المسئلتين: الأولى طالعنا في الامتثال العاشر صحيفة 3 باب النجاسة. فوجدتُ في ذلك أن غسل المغلظة تطهر بسبع غسلات مع ازالة عينها. والذي وجدنا في الكتب التي في أيدينا أن ذلك بسع غسلات بعد ازالة عينها. أي وانما تعتبر السبع بعد ازالة عينها فمريلها (؟) وان تعدد واحدة. كما في المنهاج. فبذلك نسألكم من أي كتاب تجد وتنقل كما كتبتم.

 

والثانية انكم قلتم حسبت في الامتثال التاسع أن الأولب من النجاسات. هل فيه منطوق بلفظه في الكتب؟ أو هو من أفراد جنس القيئ أو مقيس عليه. فإن كان مقيسا عليه فكيف طريق انتاجه؟ فنحن لسنا مطالعين بلفظ عربه لقصوري وجهلي. والذي وجدت اللعاب ما يسيل من الفم كما في المختار. وذلك عوم عندنا. فالمطلوب والمرجو من جنابكم أن تجاوبوا بدر الجواب. وأن تدخلوه في الرابع عشر. وأولا قلت جزاكم الله خيرا كثيرا.

 

Baca Juga:  Menemukan Harta Karun Warisan Ulama Sunda yang Lama Hilang: Kitab “Futuh al-Ilahiyyah” Karya Syaikh Siraj Garut Makkah Bertahun 1925

من الذي أثنى ربه ذي الجلال. وحمده بنشور الامتثال

ونسئله أن يحييه الى يوم لا ينفع فيه مال

محمد شاطبي المدرس للأطفال

بمدرسة قئوم سمدڠ

 

(Sumedang, 22 Rabiul Awal 1345 Hijri)

Kepada para Tuan yang mulia para pengarang Majalah al-Imtitsal

Semoga Allah senantiasa menjaga kalian dari marabahaya di dunia dan akhirat. Amin.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Wa ba’da. Ketika majalah al-Imtitsal terbuka untuk Tanya jawab, maka aku hendak menanyakan dua buah soal. Pertama, pada al-Imtisal edisi ke-10, halaman 3, Bab Najis, aku menemukan di sana bahwa cara mensucikan najis mughalladzah (najis anjing dan babi) itu dengan dibasuh tujuh kali bersamaan dengan menghilangkan ‘ain (bentuk materil) najis tersebut. Tapi, yang aku temukan dalam kitab-kitab yang ada padaku, bahwa cara mensucikan najis mughaladzah adalah dengan dibasuh air sebanyak tujuh kali setelah terlebih dahulu dihilangkan ‘ain (bentuk materil) najisnya. Maksudnya, tujuh kali basuhan itu setelah terlebih dahulu hilang ‘ain najisnya. Jika ‘ain najisnya belum hilang dan dibasuh sebanyak tujuh kali bahkan lebih, maka tetap saja basuhan itu dihitung satu kali, karena ‘ain najisnya belum hilang. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam kitab “al-Minhâj” [Minhâj al-Thâlibîn karya al-Imâm al-Nawawî]. Karena itu, aku bertanya kepada kalian, dari kitab manakah kalian menukil pendapat itu?

Pertanyaan kedua, kalian mengatakan dalam majalah al-Imtitsal edisi ke-9, bahwa “olab” [الاولب, gumuh] termasuk dari najis. Apakah hal tersebut tertulis dalam kitab-kitab fikih? Atau olab terhitung sebagai jenis najis muntah, atau diqiyaskan atasnya? Jika olab diqiyaskan hukum kenajisannya dengan muntah, maka bagaimana cara pengambilan qiyas ini? Aku tidak mengetahui apa bahasa Arab dari kata ‘olab’ ini karena keterbatasanku dan kebodohanku. Yang aku temukan adalah kata ‘al-li’ab’ [اللعاب, iler], yaitu sesuatu yang keluar mengalir dari mulut, sebagaimana tersebut dalam qaul mukhtar [pendapat terpilih pada madzhab Syafi’i]. Yang aku minta dan aku harapkan dari Tuan-Tuan sekalian adalah kiranya dapat berkenan menjawab pertanyaanku ini secepatnya, lalu dimuat dalam edisi ke-14 majalah al-Imtitsal. Tak lupa aku menghaturkan juga ‘jaza’.

Baca Juga:  Warisan Intelektual Ulama Sunda: Kitab “al-Sirâj al-Munîr” Karya KH. Utsman Dhomiri Cimahi Bertahun 1344 Hijri (1926 Masehi)

Terkirim surat ini dari orang yang memuji Tuhannya yang Maha Agung, dan berucap syukur kepadaNya atas terbitnya majalah al-Imtisal, serta berdo’a kepadaNya agar menjaga dan menghidupkan majalah ini sampai hari kelak.

Muhammad Syathibi, seorang pengajar santri di Madrasah Kaum Sumedang)

* * * * *

“al-Imtisal” adalah salah satu majalah yang terkemuka di Tatar Sunda dan diterbitkan di Tasikmalaya oleh PGNT (Perkumpulan Guru Ngaji Tasik Malaya). Majalah ini mulai terbit pada tahun 1925 dan berakhir pada tahun1940 dengan regulasi terbit 3 kali dalam sebulan.

Secara ideologis, corak pemikiran Islam yang diusung oleh majalah “al-Imtisal” adalah tradisionalis (Aswaja). Redakturnya terdiri dari para ulama Priangan Timur, di antaranya adalah R.H.M. Saleh Memed (Kijai Babakan Soemedang, Tasikmalaja), H.M. Pachroerodji (Soekalaja, Tasikmalaja), H.M. Soedja’i (Koedang, Tasikmalaja), H.M. Zarkasie (Djajaway, Tasikmalaja), dan lain-lain.

Menariknya, majalah ini dipromotori oleh bupati Tasikmalaya sendiri, yaitu R.A.A. Wiratanoeningrat. Pemimpin redaksi dari majalah ini adalah R.H.M. Saleh (Memed) yang dikenal sebagai Kiai Babakan Sumedang. Rumah beliau yang terdapat di Stationweg 41A, Tasikmalaya sekaligus menjadi kantor redaksi dan administrasi majalah. Sekitar tahun 1940-an, kepemimpinan redaksi majalah Al-Imtisal dipegang oleh H.M. Zarkasie, yang beralamat di Jajaway (dikenal juga dengan Kiai Djadjaway).

Ajip Rosidi dalam “Masa Depan Budaya Daerah: Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda” (2004: 172) mengatakan bahwa majalah “al-Imtitsal” di Tasikmalaya peredarannya luas hampir di seluruh Tatar Sunda, terutama di pesantren-pesantren, tetapi dibaca juga oleh para menak (bangsawan lokal Sunda). Majalah “al-Imtitsal” bisa dibandingkan dengan majalah berbahasa Sunda lainnya, yaitu “Parahiangan”, yang terbit dalam skala besar setiap minggu (terbit sejak 1929) dan menjadi bacaan wajib kaum intelektual Sunda pada masa itu.

Baca Juga:  Warisan Intelektual Ulama Sunda: Manuskrip Kitab "al-Asfar"

Dalam setiap nomornya “al-Imtisal” memuat rubrik yang cukup lengkap. Mulai tulisan yang membahas fiqih, tafsir al-Qur’an, ruang untuk menjawab pertanyaan pembaca seputar agama Islam, ruang untuk bacaan anak-anak, dan lain-lain. Dalam Ensiklopedi Sunda disebutkan, bahwa sejak nomor pertama dimuat juga feuilleton (dongeng) Malik Sep bin Diyazin yang baru tamat setelah 406 kali muat (1925-1938). Setelah dongeng tersebut tamat, diganti dengan cerita Futuhusysyaam. Dalam setiap cerita yang dimuat banyak petikan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dalam huruf Arab disertai salinannya dalam Bahasa Sunda.

Selain “al-Imtisal”, surat kabar keislaman lainnya yang terbit di Tasikmalaya pada kurun masa yang bersamaan adalah “al-Mawa’idz: Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasik”. Sesuai dengan sub-namanya yang tertera di sana, majalah “al-Mawa’idz” merupakan corong informasi dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tasikmalaya. Majalah ini terbit secara berkala setiap minggu mulai dari tahun 1933 hingga 1935. Di antara ulama Tasikmalaya yang menggawangi penerbitan majalah “al-Mawa’idz” ini adalah H.M. Fadhli (Cikotok), H. Sjabandi (Cilenga), H. Dahlan (Cicarulang), H. Ruhiat (Cipasung), H. Jahja (Madiapada), H. Sjamsoedin (Gegernoong), H.O. Qoljoubi (Madewangi), serta Kijai Koentet dari Garage.

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Alumnus Mahasiswa Al Azhar, Dosen UNUSIA Jakarta, dan Peneliti Ulama Islam Nusantara.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini