Berikut ini adalah manuskrip kitab “Taqrîrât ‘alâ Natîjah al-Âdâb” (تقريرات على منظومة نتيجة الآداب) yang ditulis oleh seorang ulama Tatar Sunda asal Cibatu (Cisaat, Sukabumi) yaitu Kiyai Izzuddin. Kitab ini mengulas satu bidang kajian ilmu yang terbilang langka dan jarang ditulis oleh para ulama Nusantara, yaitu ilmu dialektika atau ilmu berdebat dan berargumentasi (‘ilm al-munâzharah/‘ilm âdâb al-bahts).

Kiyai Izzuddin Cibatu menulis kitab ini dalam bahasa Arab sebagai bentuk penjelasan (taqrîrât) atas teks puisi (manzhûmah) “Natîjah al-Âdâb” karya seorang ulama Makkah yaitu Syaikh ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-Wahhâb al-Fattanî al-Makkî (w. 1332 H/1913 M). Selain taqrîrât, Kiyai Izzuddin Cibatu juga menuliskan terjemah interlinear (terjemah antar baris, makna gantung) berbahasa Jawa Pegon.

Menariknya, karya hebat ini ditulis ketika Kiyai Izzuddin masih menjadi santri yang sedang belajar di Pesantren Gentur (Cianjur, Jawa Barat) asuhan Kiyai Ahmad Syathibi (Mama Gentur, w. 1947). Mama Gentur adalah salah satu ulama terbesar Tatar Sunda pada paruh pertama abad ke-20 yang banyak melahirkan ulama-ulama besar Jawa Barat generasi berikutnya. Pun, Pesantren Gentur yang diasuhnya tercatat sebagai salah satu pusat terpenting bagi perkembangan tradisi intelektual dan pendidikan Islam tradisional di Jawa Barat pada masanya. Hal menarik lainnya lagi adalah, meski berada di jantung Tatar Sunda di Priangan, yaitu di Cianjur, tetapi Pesantren Gentur tampaknya menggunakan bahasa Jawa dalam menerjemahkan dan memaknai teks-teks kitab keilmuan Islam yang dipelajari di sana. Barulah kemudian bahasa Sunda digunakan untuk menjelaskan maksud dari kandungan teks Arab yang diterjemahkan oleh bahasa Jawa tersebut.

Syaikh ‘Abd al-Malik b. ‘Abd al-Wahhâb al-Fattanî al-Makkî sendiri sebenarnya memiliki karya syarah atas teks puisi “Natîjah al-Âdâb” yang dikarangnya ini. Syarah tersebut berjudul “Kamâl al-Muhâdharah fî Âdâb al-Bahts wa al-Munâzharah” (كمال المحاضرة في آداب البحث والمناظرة). Kitab ini dicetak oleh al-Mathba’ah al-Khairiyyah di Kairo (Mesir) pada tahun 1306 Hijri (1889 Masehi).

Baca Juga:  Risalah Rihlah Jaringan Murid Syaikhona Kholil Madura di Tatar Sunda (1) : Pesantren Sukamiskin Bandung

Tampaknya, kitab “taqrîrât” Kiyai Izzuddin ini merupakan rangkuman catatan dari apa yang disampaikan oleh Kiyai Syathibi Gentur saat mengajar teks “Natîjah al-Âdâb”. Dalam beberapa penjelasan yang ditulisnya, Kiyai Izzuddin juga tampak merujuk pada kitab “Kamâl al-Muhâdharah” karya al-Fattanî al-Makkî di atas.

Kiyai Syathibi Gentur memang terhitung sebagai ulama yang memiliki kepakaran dalam bidang ilmu dialektika. Beliau menulis sejumlah karya dalam bidang ilmu ini, di antaranya adalah “Manzhûmah al-Maqûlât al-‘Asyrah” (منظومة المقولات العشرة), yang ditulisnya dalam bentuk nazhaman (puisi) berbahasa Arab.

Dalam kitab “al-Risâlah al-Qanthûriyyah” yang memuat biografi Kiyai Syathibi Gentur, disebutkan bahwa salah satu murid beliau yang paling cerdas adalah Kiyai Izzuddin Cibatu. Keduanya pernah berkolaborasi menulis satu buah karya bersama, yaitu “Nazham Sullam al-Taufîq”. Tertulis dalam risalah tersebut:

سرڠ كتاب نظم سلم التوفيق. ايت مه انو ڠانظمكن ننا كو دوائن ڽاايت انجن سرڠ مريدنا ڽاايت أجڠن عز الدين چي سئت چي بتو سوكابومي

(Sareng kitab “Nazham Sullam al-Taufîq”, eta mah anu nganadomkeunana ku duaan, nyaeta anjeuna sareng muridna nyaeta Ajengan Izzuddin Cisaat Cibatu Sukabumi [Dia antara kitab-kitab karangan Kiyai Syathibi Gentur adalah “Nazham Sullam al-Taufîq”. Kitab ini ditulis berdua, yaitu oleh beliau bersama muridnya, yaitu Ajengan Izzuddin Cisaat Cibatu Sukabumi])

Meski terbilang sebagai ulama yang hebat dan menjadi salah satu murid Kiyai Syathibi tercerdas, namun biografi Kiyai Izzuddin Cibatu belum banyak diketahui jejaknya.

* * * * *
Kondisi fisik manuskrip kitab “taqrîrât” Kiyai Izzuddin Cibatu ini terbilang masih sangat bagus dan terjilid dengan baik. Bisa dikatakan hampir tidak ada cacat atau pun kerusakan di dalamnya. Sayangnya, tidak ada penomoran halaman dalam naskah ini. Diperkirakan, jumlah keseluruhan halaman adalah 150 halamanan. Kertas yang digunakan sebagai media tulis adalah kertas Eropa. Bahasa teks pada naskah adalah bahasa Arab dan Jawa Pegon. Kiyai Izzuddin menulis taqrîrât-nya dalam bahasa Arab, juga menulis terjemah interlinear dalam bahasa Jawa Pegon.

Baca Juga:  Risalah Rihlah Jaringan Murid Syaikhona Kholil Madura di Tatar Sunda (1) : Pesantren Sukamiskin Bandung

Tertulis pada halaman akhir sekaligus menjadi kolofon naskah:
فوندوك ݢدى قنطور ليلة الاثنين 14 رمضان سنة 1341 من هجرة من على صاحبها أفضل الصلاة والسلام

(Pondok gede Gentur, malam Senin 14 Ramadhan tahun 1341 Hijrah Nabi. Semoga shalawat dan salam terbaik senantiasa tercurah untuknya)

Tarikh hijri di atas bertepatan dengan 1 Mei 1923 Masehi. Jika dihitung dengan hitungan tahun Hijri (1341), maka usia manuskrip kitab ini telah berusia seratus tahun pada saat ini (1441 Hijri).

Sementara itu, identitas Kiyai Izzuddin Cibatu tertulis pada halaman tengah:
الفقير محمد عز الدين الجشواري العبرفي السوكابومي
غفر الله له ولأصوله بجاه نبيه محمد صلى الله عليه وسلم

(al-Faqir ‘Izzuddîn al-Jasywârî al-‘Abrafî [?] al-Sûkâbûmî. Semoga Allah mengampuninya, juga leluhurnya, dengan kebesaran Nabi Muhammad SAW)

Manuskrip kitab ini kemudian diberikan oleh Kiyai Izzuddin kepada Kiyai Abdullah Sanusi b. Shiddiq. Peralihan kepemilikan naskah ini sebagaimana tercatat dalam keterangan berikut:

ثم انتقل الى الحقير الحج عبد الله سنوسي سكامنتري

(Lalu [kepemilikan manuskrip ini] beralih kepada seorang yang hina, Haji Abdullah Sanusi Sukamantri)

Kiyai Abdullah Sanusi b. Shiddiq (1910–1983) adalah junior Kiyai Izzuddin di Pesantren Gentur. Dua-duanya adalah murid langsung dari Kiyai Syathibi Gentur. Kiyai Abdullah Sanusi adalah putra dari Kiyai Muhammad Shiddiq b. Abdurrahman (1873–1943), pendiri Pesantren al-Falah Sukamantri, Cisaat, Sukabumi (didirikan pada 1908). Kiyai Muhammad Shiddiq, ayah dari Kiyai Abdullah Sanusi, tercatat sebagai kawan satu angkatan dengan Kiyai Syathibi Gentur dan Kiyai Tubagus Bakri Sempur (Purwakarta, w. 1975). Kiyai Muhammad Shiddiq juga tercatat sebagai guru dari Kiyai Ahmad Sanusi Gunungpuyuh (w. 1950) dan Kiyai Masthuro Tipar (w. 1968).

Baca Juga:  Risalah Rihlah Jaringan Murid Syaikhona Kholil Madura di Tatar Sunda (1) : Pesantren Sukamiskin Bandung

Saya sendiri menjumpai manuskrip ini ketika sowan ke KH. Mumu Muhyiddin (l. 1960), salah satu pengasuh pesantren al-Falah Sukamantri (Cisaat, Sukabumi) beberapa hari lalu bersama Ajengan Ahmad Muhyiddin dan Sufyan Tsauri. KH. Mumu Muhyiddin adalah putra dari Kiyai Abdullah Sanusi yang namanya tercantum dalam manuskrip.

* * * * *
Jejaring pesantren al-Falah Sukamantri terbilang cukup luas sekaligus rumit. Kiyai Abdullah Sanusi b. Shiddiq beristrikan Nyai Atiqah (1920–2010), putri bungsu dari Syaikh Kiyai Adzra’i dari Bojong (Garut), salah satu ulama sepuh Garut yang sangat penting. Syaikh Adzra’i Garut adalah kawan junior dari Syaikh Shoheh Bunikasih Cianjur (w. 1886) juga Syaikh Nawawi Banten (w. 1897). Syaikh Adzra’i Garut juga adalah guru dari Kiyai Syathibi Gentur.

Di antara putra Syaikh Adzra’i Garut adalah Kiyai Umar Basri Fauzan, pendiri pesantren al-Fauzan Garut, murid dari Kiyai Syathibi Gentur. Syaikh Adzra’i juga memiliki menantu, yaitu Syaikh Muhammad Garut (Mama Jabal) yang bermukim di Makkah. Syaikh Muhammad Garut ini memiliki putra yaitu Syaikh Siraj Garut, ulama besar alhi qira’at di Makkah yang juga pelantun al-Qur’an di Masjidil Haram. Nyai Atiqah, putri bungsu Syaikh Adzra’i, ketika masa kecilnya pernah diasuh oleh Syaikh Siraj Garut di Makkah selama bertahun-tahun lamanya. Nyai Atiqah pulang ke tanah air setelah dipersunting oleh Kiyai Abdullah Sanusi b. Shiddiq Sukamantri.

Wallahu A’lam
Sukabumi, akhir Dzulhijjah 1441 Hijri/Agustus 2020
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

Ahmad Ginanjar Sya'ban
Alumnus Mahasiswa Al Azhar, Dosen UNUSIA Jakarta, dan Peneliti Ulama Islam Nusantara.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Manuskrip