Bagaimana Al-Qur’an Menyikapi Ilmu Matematika

Ilmu matematika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Diantara cabangannya adalah ilmu matematika keuangan, matematika murni dan matematika terapan.

Sebagaimana kita ketahui, ilmu matematika memakai patokan dasar yang tidak pernah berubah. Misal contoh, hasil penjumlahan satu tambah satu adalah dua dan sampai hari kiamat kurang dua hari pun hasil ini tidak akan pernah berubah.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat memperhatikan ilmu matematika. Kita dapat melihat ayat al-Qur’an menjelaskan istilah sepertiga, dua pertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, dan setengah dalam menghitung bagian harta warisan keluarga.

Ketika kita meneropong kembali ke masa turunnya al-Qur’an, tentu kita akan semakin kagum. Hal ini dikarenakan bangsa arab ketika itu adalah bangsa yang masih tergolong awam dalam ilmu baca tulis dan ilmu hitungan.

Lantas, al-Qur’an datang dengan membawa semangat keilmuan. Al-Qur’an mengajak untuk mengentaskan buta huruf. Al-Qur’an juga memperkenalkan ilmu matematika sebagai alat menjalankan perintah membagi hak warisan. Selain itu, Al-Qur’an juga menjadikan ilmu astronomi sebagai alat untuk menentukan waktu sholat dan puasa ramadan.

Dalam masalah jihad, para ulama menggunakan patokan ilmu matematika sebagai patokan batasan mundur dari peperangan. Terbukti para ulama tidak memperbolehkan pasukan umat islam mundur dari medan perang selama jumlah pasukan musuh tidak lebih dari dua kali lipat dari jumlah pasukan umat islam.

Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an “…Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika diantara kamu ada seribu (orang yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu (orang musuh) dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (Qs. At-Taubah : 66)

Baca Juga:  Fazlur Rahman: Teori Hermeneutika dalam Interpretasi Ayat Al-Qur’an

Dalam masalah hitungan bulan dalam satu tahun, Al-Qur’an juga menerapkan hitungan matematika. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…” (Qs. At-Taubah : 36)

Dalam menyikapi pergerakan bulan dan matahari, Al-Qur’an telah menegaskan bahwa keduanya berjalan di garis edarnya dengan hitungan yang pasti sehingga dapat dihitung secara ilmu falak yang tentunya memakai dasar-dasar ilmu matematika.

Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua” (Qs. Yasin : 38-39)

Kemudian, ada sebuah Hadits Nabi yang justru dianggap oleh orientalis barat sebagai bukti bahwa islam mengajarkan kemunduran bagi umatnya karena islam dituduh agama yang buta tulis menulis serta buta ilmu matematika. Hadits tersebut adalah

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب

Rasulullah Saw bersabda “Sungguh kami adalah umat yang ummi, kami tidak menulis juga tidak menghitung” (HR. Bukhari Muslim)

Tentu, disini kita akan mentolak sentimen negatif tersebut. Pada dasarnya, Hadits ini menjelaskan keadaan di masa tersebut yang masih maraknya buta tulis menulis serta ilmu matematika.

Bukan berarti, agama kita melarang umatnya untuk belajar tulis menulis dan ilmu matematika. Justru adanya perintah membaca di awal turunnya ayat Al-Qur’an serta diwajibkannya hukum warits menjadi bukti bahwa islam mengajak umatnya bangkit dengan perintah untuk mempelajari baca tulis dan ilmu matematika.

Baca Juga:  Istri Shalihah (2)

Dibalik Hadits ini, para ulama mengambil hikmah yang sangat penting. Melihat Hadits ini dicantumkan dalam bab puasa dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Tentunya Hadits ini berhubungan dengan hukum awal dan akhir puasa ramadhan yang berdasarkan rukyah hilal (melihat hilal) sebagai patokannya bukan memakai hisab (hitungan tanggal).

Al-Hafidz Ibnu Rajab (W. 795 H) berpendapat “Justru Hadits adalah penegasan bahwa agama kita tidak membutuhkan ilmu perhitungan (matematika) ataupun tulis menulis sebagaimana pemeluk agama lain dalam menentukan ibadah mereka yang berpatokan dengan garis peredaran matahari dan hitungan tanggal.

Karena pada dasarnya, agama kita menggunakan rukyah hilal (melihat hilal) sebagai patokan menentukan ibadah puasa ramadan. Seandainya tertutup awan, maka kita sempurnakan hitungan hari di bulan tersebut”. (kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karya al-Hafidz Ibnu Rajab vol.3 hal.67 cetakan Maktabah Dar al-Haromain Kairo tahun 1996).

Walhasil, Hadits diatas adalah bentuk anugerah Allah kepada umat islam. Karena hikmah dibalik penetapan bulan ramadan memakai patokan rukyah hilal (melihat hilal) adalah sebagai keringanan bagi umat islam yang sejak awal tidak seluruhnya mengenal ilmu hisab (hitungan tanggal).

Sehingga, di daerah yang masih minim teknologi informasi misalnya umat islam tetap dapat menentukan bulan ramadan cukup dengan rukyah hilal (melihat hilal) yang tentunya dapat dilakukan oleh orang yang awam sekalipun. []

Muhammad Tholhah al Fayyadl
Mahasiswa Jurusan Ushuluddin Univ. Al-Azhar Kairo, dan Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jatim

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka