Kartini Menulis, Kartini Abadi

Kartini berpose bersama anak didiknya awal abad ke-20. Sepertinya hanya pose mengajar baca-tulis aksara yang dibawa penjajah ke Jepara. Dibaca lebih detail, foto legendaris ini rupanya oleh ahli disebut-sebut aksara latin yang dipakai untuk mengajar baca-tulis bahasa Perancis, itu bukti bahwa Kartini menguasai bahasa Perancis.

Tulisan di papan isinya cerita kuno dalam bahasa Perancis tentang anak kecil bertudung merah. Kartini belajar bhs Perancis dari guru les dan kakaknya. Anak-anak di sekitar rumah dinasnya di Jepara mendapat pelajaran khusus bahasa Perancis tahun 1900-an. Tentu sebuah kemewahan bagi anak-anak pada zaman kolonial itu. Bandingkan, misalnya, zaman itu anak-anak kecil, buyut-buyut saya dari Jepara, mungkin masih bercocok tanam di sawah atau berjualan di pasar.

“Oalah le, apa itu bahasa Perancis le, apakah seperti horok-horok yang bisa dimakan dengan bumbu kacang atau kuah sayur bayem?” Tentu itu kutipan dari saya membayangkan buyut-buyut saya kala itu begitu asing, buram, rabun terhadap peradaban modern di lingkaran elite Kartini. Bahkan tidak peduli ada sekelompok anak les bahasa Perancis. Para warga Jepara seperti umumnya sibuk bertahan hidup. Bisa makan horok-horok saja sudah bersyukur. (Horok-horok adalah penganan khas Jepara terbuat dari tepung).

Kartini tentu saja punya privilege sebagai anak ningrat. Mudah mendapat akses les bahasa asing. Ayahnya bisa panggil dan bayar guru les. Punya kakak lelaki seorang polyglot. Pergaulan Kartini dengan bangsa asing juga memudahkan belajar kepada penutur asli. Tetapi yang tidak dimiliki anak ningrat lain di zaman Kartini adalah keberpihakan terhadap kawula alit, terutama kaum perempuan. Pada saat itu, bicara emansipasi seperti bicara ideologi terlarang yang bisa dicap makar. Sebab, birokrat dan bangsawan kala itu menolak konsep emansipasi. Perempuan adalah subordinat dalam sistem feodal. Maka bicara emansipasi seolah-olah hendak mengganti sistem negara yang sudah final.

Baca Juga:  Arti Kebahagiaan Hakiki Menurut Raden Sosrokartono

Bukan Kartini kalau tidak melawan. Meski kita tahu Kartini takluk dalam sistem feodal dan jadi istri keempat Bupati Rembang. Tetapi Kartini berusaha meraih satu-dua kemenangan kecil lewat negosiasi dengan ‘iblis’ bernama feodalisme.

Mula-mula Kartini dapat izin dan dukungan dari suaminya untuk mendirikan sekolah-sekolah wanita dan mengajar anak-anak di sekitar rumah dinas Bupati Rembang. Gerakan sekolah wanita Kartini meluas ampai Semarang, salah satu pusat pemerintahan kolonial di Jawa Tengah, berkat dukungan kolega bangsawan. Kemenangan kecil itu kini telah jadi kemenangan besar bagi sebuah bangsa. Orang merayakan tanggal 21 April seperti merayakan kelahiran juru selamat. Kartini dirayakan sebagai pelopor pendidikan bagi perempuan. Namanya harum, mewangi. Seorang perempuan dari kalangan ningrat sekaligus berpihak kepada rakyat jelata, kepada perempuan, kaumnya sendiri.

Kenapa Kartini dirayakan demikian? Singkatnya ia menulis dan tulisan itu lagi-lagi berkat klik bangsawan bisa tersebar luas sampai meja para penentu kebijakan kolonial. Sederhananya ada andil kebijakan politik balas budi.

Itu mengapa, Pramoedya Ananta Toer, mau tidak mau menyebut nama ini, karena berkat dia Hari Kartini diromantisasi. Dengan apa? Dengan menulis. Begini kutipan dari Pram yang saya comot dari Goodreads:

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)
Pramoedya Ananta Toer, Child of All Nations (Buru Quartet, #2)

Akhirnya selamat hari Kartini. Meski tulisan ini diunggah setelah hari kelahirannya, siapa tahu bisa berguna. Sebab hari ini merayakan kelahiran ibu kita Kartini, hari esok gantian merayakan ibu kita besanan. Siapa tahu???. []

Zakki Amali
Jurnalis Tirto.id dan Pegiat Dunia Santri Community

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah