Hakikat Mencintai Rasulullah, Mampukah Dijangkau Logika?

Sampai detik ini, gema shalawat masih terdengar di mana-mana. Baik di pesantren maupun di luar pesantren, tak hanya di masjid-masjid besar, bahkan surau-surau kecil juga turut dipadati anak-anak dengan berbagai ekspresi kegirangan melantunkan dan mendengar lantunan shalawat atas baginda nabi. Ini artinya, dahaga kerinduan semesta dengan segenap isinya, masih belum tersegarkan hanya dengan dua belas hari di bulan Rabiul awal.

Semesta masih sangat rindu dengan baginda nabi, sang manusia sempurna nan mulia. Rindu dengan kondisi hati mereka yang sayu rayu dalam kerinduan. Satu kerinduan yang aneh tapi nyata. Bagaimana mungkin kita dapat merindu tanpa pernah bertemu dan mencinta tanpa pernah menatap rupa. Dalam hal ini, mari kita simak bagaimana Rasulullah Saw menyampaikan deru rindunya melalui untaian Hadis riwayat dari imam Anas bin Malik ra beliau bersabda;

متى ألقي أحدا من إخواني، قالوا: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ألسنا إخوانك؟ قال: بل أنتم أصحابي وإخواني الذين آمنوا بي ولم يروني

‘Kapan kiranya, aku bisa temui seorang saja dari saudara-saudaraku’. Ungkap Rasulullah. Para sehabat pun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bukankah kami saudara engkau?’ Rasulullah menjawab, ‘Bukan, kalian adalah sahabatku. Saudaraku itu adalah orang-orang yang senantiasa beriman kepadaku namun sekalipun tak pernah melihatku’. (HR. Abu Ya’la al-Mushily dan Ahmad bin Hambal).

Jadi, kemampuan kita merindu dan mancinta tanpa perlu bertemu dan menatap rupa itu, semata karena getaran kerinduan baginda Rasulullah Saw yang sejak dahulu merintih dan menyentuh semesta. Jadi tak ayal jika kita mampu merindu hari ini. Mengingat beliau sang welas asih nan penyayang (raūfun rahīmun) telah lama mengirimkan risalah rindunya kepada kita.

Baca Juga:  Lakukanlah Syariat, Tapi Jangan Abaikan Hakikat

Lalu, mampukah logika menyentuh urusan cinta mencinta terhadap Rasulullah Saw? Kalau memang bisa, bagaimana?

Sebelum membahas ini, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa mencinta dan merindu adalah hal yang menyakitkan. Tanpa perlu pembuktian ilmiah, semua orang telah merasakannya. Entah rindu kepada orang tua, suami, istri, anak, sahabat yang lama tak bersua dan lainnya. Apalagi kerinduan terhadap Rasulullah Saw, tentu sangat menyesakkan bukan?. Sebagai contoh, saat membaca habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi, misalnya, kita akan temukan bagaimana beliau menangis tersedu-sedu ketika menulis kitab Simthu ad-Durar. Kitab tentang sejarah singkat perjalanan Rasulullah Saw sejak lahir hingga wafat.

Nah, untuk menjawab persoalan di atas, kita perlu pahami hakikat mencintai Rasulullah Saw. Dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 31, Allah SWT berfirman;

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian’. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31).

Dari ayat ini, tampak bahwa mencintai, manut dan patuh kepada Rasulullah Saw adalah jalan meraih cinta Allah SWT. Jadi, hakikat mencintai Rasulullah Saw adalah meregup cinta Allah SWT.

Dalam logika mashlahah sebagaimana yang ditulis oleh syekh ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, dijelaskan sebagai berikut;

وربما كانت أسباب المصالح مفاسد فيؤمر بها أو تباح لا لكونها مفاسد بل لكونها مؤدية إلى المصالح

Terkadang, untuk meraih kemaslahatan dan kenyamanan haruslah dengan menjalani rintihan-rintihan rasa sakit. Sehingga hal itu harus diperintah untuk dilakukan atau sekurang-kurang diperbolehkan. Bukan lagi soal perintah  melakukan hal yang menyakitkan, tapi karena hal menyakitkan itu dapat mengantarkan kepada kemaslahatan dan kenyamanan yang sebenarnya.

Oleh karenanya, demi meraih cinta luhung Allah SWT, seluruh hamba harus diperintahkan untuk mencintai dan mengikuti Rasulullah Saw. Walaupun dengan mencintai dan mengikuti beliau, membuat seluruh umat, terutama para ulama kita, merintih sakit menahan perih rindu kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Baca Juga:  Tabaqat Ibnu Saad; Sejarah Nasab Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Jadi, kalau pertanyaannya, apakah hakikat mencintai baginda Nabi Muhammad Saw?, berdasarkan logika di atas, jawabannya adalah meregup cinta dan rida Allah SWT. Berbeda, bila pertanyaannya, mengapa mencintai Rasulullah Saw?, Tentu tak ada jawabannya. Sebab, cinta yang tulus tak pernah butuh alasan apapun.

Semoga kita semua dapat memahami dengan benar hakikat cinta kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sehingga mampu meraih cinta Allah SWT. Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ãlihi wa Shahbih.  []

Ahmad Dirgahayu Hidayat
Alumni Ma'had Aly Situbondo dan Mahasiswa Universitas Ibrahimy Situbondo Jawa Timur

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini