Mahatma Gandhi dan Ahimsa

Zaman saya mahasiswa dulu, banyak kawan yang merasa wajib baca buku-buku Syahrir, Hatta, Tan Malaka, dll untuk menimba inspirasi dan semangat. Salah satu tokoh luar negeri yang sangat menarik adalah Mahatma Gandhi. Selain baca biografinya meski tidak selesai, saya nonton fimnya dua kali. Sekarang pun rasanya saya masih ingin nonton.

Gandhi adalah tokoh yang sangat menonjol dalam mengorganisir gerakan kemerdekaan India karena dia menggerakkan perjuangan dengan beberapa prinsip, satya graha, swadesi dan Ahimsa. Hal yang ingin saya sorot adalah Ahimsa, emoh kekerasaan.

Masih kuat dalam ingatan saya, Gandhi ketika memutuskan masuk dunia pergerakan, dia mengambil inspirasi ajaran perdamaian dari berbagai kitab suci. Sebagai orang yang tumbuh dalam tradisi Hindu ia tidak hanya membaca Weda, juga membaca Bible dan al-Qur’an. Setelah berhadapan langsung dengan realitas masyarakatnya yang sangat tertindas, dia mentransformasi diri, hidup dalam kebersahajaan. Sebagai seorang yang berpendidikan hukum, dia lepas status sosialnya yang cukup mentereng, bahkan baju-baju keren yang dia pakai pun dilucuti sebagai perlawanan pertamanya pada kapitalisme dalam penjajahan, dan hanya membungkus tubuhnya dengan selembar kain layaknya biksu, atau orang berihrom dengan kain sangat sederhana. Kita tahu, ada sistem kasta di India, yang artinya dia melakukan lompatan untuk turun kelas juga sebagai bentuk perlawanan pada pihak yang sok berkuasa.

Sesi paling dramatik dari film itu menurut saya adalah ketika ia menggerakkan demo dengan prinsip ahimsa itu. Para perempuan dilibatkan menjadi tenaga medis. Aparat saat itu represif, maklum zaman penjajahan. Demonstran yang dipukuli aparat dilarikan ke belakang untuk diobati tapi sama sekali tidak ada batu yang terlempar dari arah demonstran. Mereka dipukuli dan tidak melawan dengan hal yang sama. Gandhi dan demostran melawan dengan emoh melakukan kekerasan meski mereka dibuat berdarah-darah.

Baca Juga:  Sikap PBNU terhadap Pengesahan UU Ciptaker

Peristiwa itu terekam oleh para jurnalis asal Inggris, negara penjajah India kala itu. Sikap tidak melawan dengan emoh kekerasan ini justru yang membuat warga inggris ini tidak tahan dan menelpon dengan emosional ke kantor perdana menteri Inggris untuk menghentikan semua bentuk represif dan mengakhiri penjajahan.

Prinsip Ahimsa, prinsip emoh kekerasan ini yang membuat segala bentuk kejahatan penjajah menjadi terlihat nyata di depan pihak penjajah. Prinsip emoh kekerasan inilah yang menusuk hati nurani: alangkah tidak pantasnya, alangkah rendahnya kelakuan bangsa yang menyebut diri penguasa 7 samudera yang digambar dalam bendera union jacknya.

Singkat cerita akhirnya Inggris melepas India. India merdeka. Mahatma Gandhi di undang Ratu Inggris ke istana sebagai tokoh dunia yang mengajarkan perdamaian.

Satu lagi. Di awal kemerdekaan, India mengalami tantangan perpecahan. Warga Hindu selalu mengatakan ‘India adalah Hindu’ sementara perjuangan kemerdekaan India juga dilakukan oleh warga muslim, dengan tokoh antara lain Ali Jinnah. Warga muslim menolak sebutan itu, terjadilah konflik bersaudara yang sangat keras. Gandhi memilih tirakat puasa mogok makan sebagai cara meminta kelompok mayoritas Hindu untuk membangun bangsa bersama dengan kelompok muslim. Dialog antar tokoh merayu Gandhi untuk berhenti mogok makan dan diupayakan perdamaian antar kelompok Hindu dan muslim. Sayang ada ekstrimis Hindu yang menuduh Gandhi terlalu membela muslim, lelaki sepuh itu ditembaknya.

Untuk adik-adik mahasiswa, Gandhi ini tokoh yang wawasannya lintas zaman. Sangat menarik, coba baca. Meski tentu tidak ada manusia yang sempurna.

Mungkin dengan inspirasi yang didapat, ketika demo, kalian tidak hanya mewaspadai provokator, anda juga akan ikut bantu keamanan, menghalau para perusak, bantu polisi tangkap para pelaku kekerasan yang mau memanfaatkan perjuangan kalian.

Baca Juga:  Demonstrasi dan Kemaslahatan

Terkait demo kali ini, mungkin kalian tidak peduli dengan orang-orang yang bilang kalian belum baca naskah Undang-Undang OL (Omnibuslaw), mungkin kalian juga tidak peduli dikatakan tidak paham, disebut bodoh. Saya adalah orang yang sangat percaya dengan anak-anak muda, percaya juga dengan kecerdasan kalian.

Tapi masa iya, kalian tidak peduli dengan pandemi? apalagi membiarkan ada orang merusak fasilitas umum atau melakukan kekerasan apa pun. Akan lebih damai ramai-ramai mengajukan JR saja ke MK, seperti saran para orang tua.

Omni bus law, mengintegrasikan banyak sekali Undang-undang. Buat satu undang-undang satu bidang saja biasanya pakai lama, apalagi yang mengatur lintas bidang, mengkonstruksi ulang menjadi Undang-Undang yang terintegrasi, artinya amat sangat banyak pemangku kepentingan yang perlu dipertemukan, agar tidak ada pihak yang kepentingannya terabaikan. Katanya kedaulatan di tangan rakyat, toh, ya DPR dan pemerintah harus mau mendengar pemilik kedaulatan.

Mengapa proses konstruksi dan pembahasan disamakan dengan UU yang hanya mengatur satu bidang?

Ya OL pasti butuh waktu jauh lebih lama..mengapa terburu-buru apa yang lagi di kejar di tengah semua orang sedang menghadapi pandemi dengan jumlah kematian masih tinggi?. [HW]

Listia Suprobo
Pendidik, Alumnus UGM & UIN Suka Yogyakarta Pegiat Pendidikan, Perkumpulan Pappirus

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini