Konsolidasi Jejaring Pak Harto di Militer

Di berbagai negara, tentara nasionalnya banyak dibentuk oleh penjajah secara resmi. Buku “Tentara Gemblengan Jepang” karya Joyce C. Lebra, di antaranya, mengurai peranan serdadu Jepang di era 1941-1945 dalam membentuk ketentaraan nasional di berbagai negara Asia atas nama solidaritas Asia–meski kenyataannya omong kosong belaka. Di Irak dan Afganistan, hari ini, kita melihat jika serdadu nasional di negara ini juga dilatih dan dipersenjatai oleh penjajahnya, AS, meski kemampuannya masih payah dalam menertibkan keamanan (di Irak, 4 tahun lalu, Tikrit ditinggal tentara nasional Irak yang ketakutan dengan serbuan ISIS. Akhir September 2015, 7000 tentara nasional Afganistan gagal mempertahankan Provinsi Kunduz yang jatuh ke tangan sekira 1000 orang milisi Taliban). Parah banget kan?

Di Indonesia, TNI adalah jenis tentara yang menciptakan dirinya sendiri, ini ungkapan–kalau nggak salah–dari Jenderal (Purn.) Sajidiman Surjohadiprodjo dalam acara “Mata Najwa” yang mengangkat kajian soal Jenderal Sudirman, Oktober 2015 silam. Okelah, bisa diperdebatkan ungkapan di atas. Silahkan. Sampai saat inipun, kata Aiko Kurasawa, dalam “Kuasa Jepang di Jawa”, banyak tentara Jepang veteran Perang Dunia II yang menganggap dirinya berjasa dalam pembentukan dan minimal pengukuhan dasar-dasar kemiliteran TNI.

Bicara soal TNI kita, pada dasarnya memang tak bisa dilepaskan dari unsur eks PETA dan eks KNIL. Dua unsur ini yang diam-diam saling bertarung memperebutkan posisi elit ketentaraan, usai kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi dicanangkan Kabinet Hatta tahun 1948, yang secara tidak langsung dianggap menyingkirkan milisi lokal: laskar kiri (Pesindo) dan laskar muslim (Hizbullah dan Sabilillah), hingga milisi kedaerahan. Belum lagi perkara warlord di lapangan yang mengalami disorientasi kemiliteran karena wibawa dan kharisma mereka dipaksa berdasarkan pangkat resmi dari pemerintah, di mana mereka banyak yang turun satu-dua pangkat.

Tentara eks PETA mulai kehilangan pelindung manakala Jenderal Sudirman berpulang pada 1950. Friksi antara eks PETA dan eks KNIL diam-diam meruncing sejak Hatta menempatkan Nasution, dari Div. Siliwangi, sebagai wakil panglima TNI, usai RERA sebagai pengimbangan kekuatan di tubuh militer.

Tahun 1950-an, TB. Simatupang dan KSAD Kolonel AH. Nasution mulai menggeret tentara ke jalur politik. Konflik terbuka militer vs sipil semakin tampak saat Nasution dan para serdadu mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka, 17 Oktober 1952, sambil menuntut dibubarkannya parlemen. Dominasi AD juga semakin kuat di tubuh angkatan perang.

Pertengahan 1950-an, terjadi friksi di tubuh militer daerah melalui pembentukan Dewan Gajah, Dewan Banteng dan Dewan Garuda di Sumatera serta Dewan Manguni di Sulawesi yang berujung pemberontakan PRRI/Permesta. Bung Karno menerjunkan pasukan dari Jawa. Selesai.

Tahun 1960-an, Bung Karno semakin berusaha mengontrol kekuatan tiga matra. AL dan AU sudah di tangan BK, kekuatan keduanya juga banyak dilibatkan dalam Operasi Djajawidjaja dan Trikora di Irian Barat. Hanya Nasution yang belum terpegang sempurna. Oleh karena itu, BK melakukan rotasi dengan mengangkat Jenderal Ahmad Yani menggantikan Jenderal AH. Nasution sebagai KSAD. Adapun Nasution diangkat sebagai kepala staf ABRI. Karier Nasution beku karena di posisi ini dia hanya mengurus soal administratif dan tak punya kontrol atas pasukan.

1965, peristiwa G-30-S/PKI pecah. Beberapa jenderal AD menjadi korban. Panglima Kostrad, Brigjend Suharto, menggandeng Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dengan RPKAD-nya menumpas PKI. Pak Harto menggandeng Sarwo yang dipenuhi amarah—karena mentornya, Jend. A Yani jadi korban– untuk menyikat habis kelompok komunis. Pak Harto memanfaatkan serigala yang marah untuk memburu serigala lain. Belum cukup, di sisi lain, ia menyeret tiga perwira loyalis Bung Karno: M. Yusuf, Basuki Rahmat dan Amir Machmud, ke pihaknya. Berhasil. Langkah berikutnya menyingkirkan Menpangad, Jend. Pranoto Reksosamudro, pengganti A. Yani. Padahal, Jenderal Pranoto ini kawan akrab Suharto saat di PETA.

Konsolidasi internal dijalankan Pak Harto dengan cara melakukan pembersihan Sukarnois di angkatan perang. Ibrahim Adjie dan Hario Kecik termasuk korbannya. Nama baik AU dicoreng dengan dugaan keterlibatan Marsekal Omar Dhani, anak emas Bung Karno, dalam peristiwa G-30-S/PKI. Loyalis Bung Karno di AL seperti panglima KKO (marinir) Jenderal Hartono disingkirkan dengan perlahan. Kemal Idris, pengganti Pak Harto di Kostrad disingkirkan. Sarwo Edhie Wibowo tak luput aksi pembersihan ini dengan mengirimnya sebagai Pangdam Bukit Barisan lalu ke Cenderawasih kemudian di dutabesarkan. Jenderal HR. Dharsono di Siliwangi giliran berikutnya. Duta Besar adalah jabatan buangan di zaman ini.

Seera dengan itu, Pak Harto menggerakkan jaringan teman-temannya sesama bekas PETA menjadi pejabat di pilar Orde Baru, yaitu ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Bahkan, Bardosono, tukang semir sepatu Pak Harto saat di PETA ia tempatkan sebagai ketua PSSI pertengahan 1970-an. Tak heran jika kata David Jenkins dalam “Suharto di Bawah Militerisme Jepang”, Pak Harto lebih mempercayai efektifitas jaringan relasional daripada kemampuan seseorang.

Usai mengkonsolidasikan AD, Pak Harto melakukan pembersihan politik, 1973, dengan fusi parpol. Golkar berjaya sejak itu. Dalam sejarah Orba, Pak Harto menganakemaskan AD, Kostrad, Kodam V Brawijaya, Kodam Jaya dan Kodam Diponegoro. Semua KSAD dan Panglima ABRI lewat jalur empuk itu. Dalam sejarah Orba, hanya dua orang non AD yang bisa masuk ke lingkaran elit Pak Harto. Dari AL ada Laksamana (Purn) Sudomo yang menjadi Pangkopkamtib (lembaga teror Orba), sedangkan dari AU diwakili Marsekal Madya (purn.) Ginandjar Kartasasmita yang awet jadi menteri berbagai kabinet.

Ketika Pak Harto berkuasa, AL dan AU dibiarkan merana. Terjadi banyak kanibalisme alutsista di dua angkatan ini. Kesejahteraan prajurit juga mengenaskan. Kita bersyukur, di era reformasi anggaran militer naik meski kenaikannya selambat bekicot dan masih kalah dibandingkan anggaran militer negara lain di asia tenggara.

Dirgahayu TNI
—-
WAllahu A’lam Bisshawab. [HW]
—-
Mohon koreksian bila ada kesalahan. Foto bersama salah satu anggota pasukan khusus terbaik di dunia, dalam Pameran Alutsista Desember 2013 di Kodam V Brawijaya.

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini