Memotret Dampak Peristiwa '65 Melalui Sudut Pandang Sastrawi

Cara pandang orang NU terhadap tanah airnya dan konflik yang mengiringi pertumbuhan sebuah bangsa, saya kira bisa dibaca melalui alam pikiran sastrawan Ahmad Tohari melalui berbagai karyanya: “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menyoroti aspek manusiawi para pelaku dan korban Peristiwa 1965 dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, “Kubah” yang membahas psikologi sosial masyarakat dalam menerima eks tahanan politik Pulau Buru dan cara unik seorang kiai kampung dalam mendorong rekonsiliasi antarwarga, hingga “Lingkar Tanah Lingkar Air”, karya yang berlatarbelakang pemberontakan DI/TII dan problem manusiawi mereka yang terlibat di dalamnya.

Mengapa saya sebut cara pandang “orang NU”? Sebab, Ahmad Tohari sendiri adalah seorang kiai di kampungnya, salah satu desa di Banyumas. Dia juga pernah mendapatkan penghargaan kesenian dari PP Lesbumi, salah satu lembaga kesenian di bawah naungan NU.

Kerja sastra yang dia lakoni bukan sastra Islami slapstik yang penuh taburan istilah-istilah agamis dalam percakapan lakon-lakon di dalamnya, atau jejalan dalil di sekujur novelnya. Tidak, beliau tidak melakukan itu. Islam yang beliau masukkan ke dalam berbagai karyanya adalah Islam sebagai bumbu yang telah digerus lembut lalu meresap sebagai nilai, sebagai citarasa, bukan Islam sebagai bahan baku mentah, utuh, yang belum digerus sempurna lalu ditaburkan apa adanya dalam sajian novelnya. Ahmad Tohari tak hendak menyajikan novelnya seperti buku panduan akhlak maupun tuturan fikih secara ekstravagan. Dia juga tidak hendak menciptakan tokoh mahasempurna seperti karya-karya Habiburrahman el-Shirazy alias Kang Abik, misalnya. Dia hanya menyajikan manusia beserta polapikirnya dan cara mengatasi masalahnya. Tidak muluk-muluk, tapi mengena. Sederhana dan apa adanya. Manusiawi.

Karena bangga sebagai orang desa, maka Ahmad Tohari lebih banyak mengangkat sosok-sosok orang desa yang sederhana tapi punya cara pandang unik menyikapi kehidupan. Dalam trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, dia mengangkat Srintil, bocah lugu yang berprofesi ronggeng lalu menjadi tahanan politik dan dicap PKI gara-gara dia pernah manggung di acara yang diselenggarakan oleh PKI.

Baca Juga:  Pesantren, NU, dan Islam Nusantara (1)

Nah, ini yang diangkat oleh Ahmad Tohari. Di era 1965 dan beberapa tahun setelahnya, betapa mudah bagi seseorang ditangkap dan distigma Pe-Ka-I gara-gara dia pernah diundang makan-makan di rumah pengurus PKI, atau dia pernah nyangkruk ngopi bareng bersama sekretaris Pemuda Rakyat, atau hanya sekadar ke pasar berboncengan dengan anggota Gerwani. Mesin Orde Baru dengan skrining Litsusnya memang mengerikan. Dan saking horornya, satu kampung bisa memusuhi seseorang gara-gara tak lolos skrining dengan alasan budenya menjadi anggota Gerwani. Dia tak akan bisa menjadi PNS, tentara maupun anggota Golkar.

Oke, kembali ke bahasan awal. Saya menyukai cara Ahmad Tohari melakukan pemetaan aspek manusiawi dalam peristiwa (pasca) ’65, meskipun Gus Dur pernah mengkritik bahwa novel “Kubah”-nya Ahmad Tohari terlampau simplistik dan kurang greget dalam mengakhiri tarik-menarik sisi emosional manusia dengan masa lalunya.

Pada akhirnya, setiap kubu yang berada dalam pusaran peristiwa ’65 punya jalan masing-masing menyikapinya. Tentara punya cara, eks PKI dan yang tertuduh PKI juga punya, NU dan eksponen lain juga memiliki cara pandang masing-masing.

Pergulatan emosional ini juga tampak dalam salah satu kisah yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Arroisy, “30 Kisah Teladan”. Saya lupa judulnya, tapi konflik keluarga antara seorang kakak yang menjadi kiai kampung dengan adiknya yang merupakan anggota Pemuda Rakyat. Pertentangan yang diakhiri detik-detik eksekusi di ladang tebu. Tak ada khutbah dari sang kakak kepada adiknya, yang bakal mengakhiri hidupnya. Suasana hening menggambarkan suasana batin dua bersaudara yang lahir dari rahim yang sama namun kemudian bersinggungan ideologi dan watak. Namun, di akhir, si adik memilih melepaskan sang kakak, dan dia sendiri memilih mengakhiri hidupnya. Tragis.

Baca Juga:  Kiai As’ad: Karomahnya yang bisa memecah badan hingga mengetahui turunnya hujan

Di harian Kompas, entah berapa tahun yang lalu, ada sebuah cerpen. Pada malam hari, seorang pemuda pulang menuju desa melewati perkebunan. Dia dicegat seorang laki-laki tua yang berpakaian lusuh dengan wajah kepayahan. Pemuda itu menawarkan tumpangan, namun pria sepuh itu menolak. Dia hanya menitip pesan ke anaknya yang tinggal sedesa dengan pemuda tersebut. Pesannya singkat, kenapa lama tidak mengiriminya makanan? Ketika pesan disampaikan, si anak dengan ekspresi kaget akhirnya mengisahkan apabila bapaknya sudah meninggal puluhan tahun silam, saat konflik ’65 terjadi, dan lokasi perkebunan itulah yang menjadu kuburan massal korban eksekusi. Soal makanan sebagaimana dipesankan ruh bapaknya tadi, itu adalah lambang dari doa yang senantiasa dimunajatkan untuk mendoakan ruh ayahnya.

####

Peristiwa ’65 adalah salah satu episode gelap bangsa ini. Dan, pendekatan sastrawi saya kira lebih manusiawi untuk meneropong pengaruh peristiwa tersebut pada pola pikir anak bangsa ini. Sebagaimana saat kita merampungkan novel “Amba”-nya Laksmi Pamuntjak dan “Pulang”-nya Leila S. Chudori.

Wallahu A’lam Bisshaaab. [HW]

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini