Sumber daya pancasila

Apakah Anda sudah ngopi? Baik, dari pekatnya kopi, kita bisa bertanya mengenai gerangan apa ciri utama dari kehidupan? Apa membeda paling sederhana antara hidup dengan mati? Jika kita amati diri sendiri dalam relasinya dengan kehidupan yang terus menua, aus, keropos dan kian ringkih, sadarlah kita bahwa kematian selalu mengintai setiap saat. Hidup memberi pesan akan datangnya kematian, dan mati menyadarkan manusia akan fase kehidupan yang lebih panjang. Namun, adakah di antara kita yang tak ingin hidup abadi? menjadi Bangsa dan Negara yang juga abadi?

Maka, ciri utama kehidupan adalah (justru) kompleksitasnya, kerumitannya. Dan, karena kekacauan itu sangat fleksibel, manusia dapat mendekatinya dengan berbagai pola dan cara. Kompleksitas hidup adalah kesederhanaannya, pun sebaliknya kesederhanaan hidup adalah justru kompleksitasnya. Jika demikian, hubungan manusia dengan kehidupannya adalah hubungan perspektif, relasi sudut pandang. Rumit atau gampang adalah berpulang kepada masing-masing orang.

Adalah keliru kalau manusia beranggapan hidup itu mudah, sama kelirunya jika menilai hidup itu sulit dan membebani. Tidak ada hitam yang tidak berkemungkinan putih, sebaliknya tidak ada putih yang tidak berkemungkinan hitam. Selalu, warna hidup ini candramawa. Inilah relasi, inilah kompleksitas, inilah sumber daya!

Sumber daya adalah nilai dan potensi yang dimiliki atau terdapat pada unsur tertentu dalam kehidupan. Ia terinstall sedemikian rupa, mengada, meruang dan mewaktu bersama manusia. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible).

Sumber daya dapat berubah, entah semakin membesar maupun menyusut dan lalu menghilang, ada pula sumber daya yang kekal. Secara teknis, biasanya dikenal dengan istilah sumber daya yang terbarukan (renewable resources) dan tak terbarukan (non-renewable resources).

Nah, jika hubungan manusia dengan obyek-obyek di luar dirinya adalah hubungan perspektif, maka manusia selalu butuh “jarak” untuk melihat dan menilai secara utuh. Bahkan, sang jarak itu sendiri adalah sumber daya. Tuhan, misalnya, karena Dia terlalu dekat, malah tak terlihat; karena Dia memperkenalkan diri melalui teks, maka manusia butuh konteks.

Jadi, penting mengambil jarak bagi lahirnya perspektif. Lebih-lebih membentuk dan membangun perspektif tentang sumber daya.

Salah satu kekayaan kita yang melimpah adalah bukan semata Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), akan tetapi Nusantara kita ini juga memiliki Sumber Daya Ideologi (SDI), yakni Pancasila. Inilah yang bangsa-bangsa asing sangat cemburu kepada Indonesia. Kerukunan umat beragama, perbedaan suku, etnik, bahasa dan budaya dapat direkat sedemikian elok oleh Pancasila.

Baca Juga:  Pancasila dan Maqashid Syariah

Malah, agama sekalipun tak mampu merawat dan merekat segala perbedaan dan heterogenitas Indonesia yang terdiri dari 17.504 pulau, meskipun dari jumlah itu hanya 5.707 pulau saja yang telah memiliki nama dan berpenghuni. Indonesia mempunyai lebih dari 300 kelompok etnik di Indonesia, tepatnya 1.340 suku bangsa dan terdapat 1211 bahasa (1158 bahasa daerah) menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010.

Pendek kata, Pancasila menjadikan semua perbedaan sebagai kohesi sosial dalam bingkai multikulturalisme nasional. Bukan hanya penjernih bagi polusi-polusi sosial, Pancasila juga perekat bagi heterogenitas nasional.

Pancasila adalah ideologi dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama ini diadaptasi dari dua kata Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

Sumber daya ideologi inilah yang abadi, tidak akan pernah habis, namun demikian ia harus tetap diperbaharui agar tidak aus dan lapuk, agar tidak kering di dada kita masing-masing. Adalah tugas setiap generasi untuk terus menggali, menghayati, dan menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Sama halnya dengan pikiran-pikiran yang terus berkecamuk dalam benak, yang manusia tidak tahu asalnya dari mana, apa kegunaannya, mula-mula, manusia juga tidak tahu sumber daya itu apa dan bagaimana, sampai ia mengalami dan menginsyafi adanya dan relasi dirinya dengan sesama manusia, dengan agam dan negaranya. Tak cukup pada tataran konsep memang, tetapi “perspektif” dan “jarak” tetap kita perlukan untuk memahami sumber daya.

Nah, manusia akan sampai pada anggapan dan simpulan bahwa menyederhanakan hidup dimulai dengan menyederhanakan pikiran, merubah dunia diawali dengan merubah sudut pandang tentang dunia. Caranya?

Ngopi dulu, setelah itu, manusia perlu mengambil “jarak” dari hidup yang serba membelenggu dan mengekang ini, terutama teknologi-teknologi modern yang justru menjauhkan manusia dari dirinya sendiri, dari kemanusiaannya sendiri. Inilah sumber daya yang juga kerap luput disadari oleh manusia. Eksesnya, sulit bagi kebanyakan orang untuk membedakan mana sikap plin-plan mana yang kaya akan perspektif. Meraka yang kaya akan sudut pandang adalah meraka yang kaya akan sumber daya. Indonesia memiliki segala prasyarat untuk mengarah ke sana.

Baca Juga:  HAM dalam Pancasila

Lantas, apa relevansinya dengan hidup kita, cara kita beragama dan berpolitik misalnya? Inilah setengah bagian yang baru akan kita diskusikan. Inilah tali-temali antara Indonesia sebagai entitas negara-bangsa (nation state), Indonesia sebagai entitas manusia yang beradab, serta Indonesia sebagai ideologi sebagaimana termaktub dalam Pancasila.
Kabar baiknya adalah, Nusantara ini telah berpancasila (berbhinneka dalam etnik, bahasa, agama budaya) bahkan sejak 400 M ketika kerajaan Kutai Kartanegara berdiri, 171 tahun sebelum Nabi Mubammad Saw lahir atau 201 tahun sebelum Islam disebarkan pertama kali. Dengan demikian, sdh lebih dari 16 abad kita berpancasila. Kita, sebagai bangsa dan pribadi, bukan muallaf Pancasila sebagaimana diviralkan belakangan ini.

Pertanyaan yang agak menggangu kemudian: apakah Pancasila semacam “kontrak ideologis” dengan siapapun yang lahir dan hidup di bumi Indonesia?

Du Contrat Social ou Principes du droit Politique (1762) adalah buku yang ditulis oleh filsuf Jean-Jacques Rousseau dengan tujuan untuk menentukan apakah kekuasaan politik yang resmi-formal itu bisa (di)ada(kan) atau tidak. Demi menggapai lebih banyak hal dan meninggalkan keadaan alami yang karena gesekan akan terus kacau, manusia harus masuk ke dalam “kontrak sosial” dengan orang lain, dengan agama, dengan undang-undang, dengan sistem moral, norma dan nilai. Dalam kontrak tersebut, semuanya bebas karena mereka melepaskan kebebasan yang setara dengan kewajiban yang dikenakan kepada semuanya.

Paman Rousseau menyatakan bahwa tidaklah masuk akal apabila manusia menyerahkan kebebasannya untuk perbudakan, terutama perbudakan budaya dan perbudakan modern yang sangat canggih dan halus. Tetapi persoalannya, pada masyarakat primitif (meskipun ia hidup di zaman modern, namun pola pikirnya jumud), selalu agama “mengalahkan” Negara. Bagaimana pertanyaan ini bisa diuji kebenaran dan kontekstualisasinya?

Mari kita jawab dengan pertanyaan: Setiap Anda berpakaian, bersosialisasi, belajar, dan bekerja, apakah itu semua Anda lakukan atas perintah agama atau Negara? Apabila Anda menikah, itu semata perintah agama atau Negara? Bahkan, kalau Anda berjuang demi kemanusiaan, demi bangsa dan Negara, itupun masih perintah agama, bukan? Sehingga, oleh karena Negara tidak mampu memberi Anda surga yang ideal, Andapun mencari keadilan dari agama, mencari kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan dengan dan melalui agama.

Baca Juga:  Mengapa Saya Pancasila?

Secara gampang, Negara harus tunduk pada agama. Sebab, setiap kali Negara dikonfrontasikan dengan agama, selalu agamalah yang menang. Implikasinya, agama hanga jadi komoditas (barang dagangan) dan Negara menjadi alat pemuas: pemuas berbagai kepentingan. Bagaimana mengatasi kesenjangan dan ketegangan antara kita sebagai warga negara dan kita sebagai penganut agama?

Rousseau menyatakan bahwa pemerintahan apapun, dalam bentuk apapun, harus dipisah menjadi dua. “Penguasa” (yang dalam pandangan Rousseau harus meliputi seluruh penduduk) yang mewakili “kehendak umum” harus ada dan merupakan kekuatan legislatif di Negara. Pembagian kedua adalah pemerintahan yang terpisah dari penguasa.

Demarkasi ini bukan disparitas, ia justru harus dilakukan karena penguasa tidak bisa mengurus urusan tertentu (yang membuatnya bertindak untuk kehendak tertentu dan bukan kehendak umum), penegakan hukum (law enforcement) misalnya. Maka, pemerintahan harus terpisah dari tubuh penguasa itu sendiri. Lagi-lagi, Rousseau tidak bisa menghindari sebilah tanya perihal, bisakah manusia—yang apabila berbuat sesuatu—bertindak atas nama agama dan sekaligus Negara?

Dalam buku Du Contrat Social, pada bab III pasal yang ke-8, Negara dan agama diposisikan secara setara sebagaimana adanya, sementara masing-masing umat manusia punya kepentingan pada keduanya. Maka, diperlukan adanya narahubung antara keduanya, sebab, masing-masing, baik agama maupun Negara bisa saling mencabik dan menyobek: kalah jadi abu menang jadi arang.

Rousseau mencita-citakan adanya “agama sipil” atau agama madani (la religion civile) yang dapat mengakomodir seluruh agama konvensional dalam entitas bernama Negara. Nah, agama madani itu bagi kita bangsa Indonesia adalah Pancasila, sumber daya ideologi kita. Sehingga, mengelola sumber daya alam, tidak boleh menyalahi Pancasila di satu sisi dan mencederai kemanusiaan di sisi lain. Pada saat yang sama, membangun sumber daya manusia, tidak boleh mengabaikan dan apalagi mengeksploitasi sumber daya alam, serta menyalahi amanat konstitusi, amanat Pancasila.

Pada akhirnya, menyebar-luaskan, menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila harus dengan cara alami dan manusiawi. Inilah yang seharusnya menjadi “sumber daya” bagi seluruh elemen bangsa yang telak dicabik hingga koyak-moyak dan boyak oleh para oligark politik, predator bisnis, buzzer-buzzer isu PKI, makelar agama dan politk SARA, pengasong khilafah serta tempurung jahat lainnya. Semoga.

Nah, kopi masih ada?. [HW]

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini