Mutiara-Mutiara Sabda Penghulu Umat

Tidak diragukan lagi ‘kesakralan’ sebuah sunah atau hadis yang benar-benar berasal dari Kanjeng Nabi. Bagaimana tidak, beliau lah satu-satunya makhluk di muka bumi yang berpredikat laa yanthiqu ‘anil hawaa, terbebas dari hawa nafsu. Seakan-akan segala tindak tanduk serta ucapan Beliau adalah wahyu. Berasal dari Tuhan.

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Ibrahim bin Musthofa bin Muhammad Nafi’. Nasab beliau bersambung hingga Hasyim. Itulah kenapa terdapat tambahan kata Al-Hasyimi pada namanya. Kemudian gelar Sayyid beliau terima lantaran nasab beliau yang masih bersambung hingga Zainal Abidin bin Husein bin Ali Ra. Yang mana Ali Ra adalah suami putri semata wayang Rasulullah Saw; Fatimah Ra. Atau dalam kata lain Ali Ra lah satu-satunya menantu Nabi Muhammad Saw. Sayid Ahmad dilahirkan di Ziyad, salah satu wilayah di Kairo, Mesir pada tahun 1295 H/1878 M.

Masa hidup Sayid Ahmad cukup banyak dihabiskan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Diawali dengan menghafal alquran, mempelajari sebagian besar cabang-cabang ilmu agama, sampai menimba ilmu-ilmu naql (terkait dalil dalam alquran dan hadis) dan aql (terkait dalil yang bersumber dari akal manusia) kepada beberapa guru senior Universitas Al-Azhar, seperti Syekh Al-Islam Al-Anbabiy, Al-Asymuniy, Jamaluddin Al-Afghaniy, Ar-Rafi’iy, Al-Bahrawiy, Asy-Syarbiniy, Al-Busyiriy, Syekh Muhammad Abduh dan lainnya. Selanjutnya beliau menjadi dosen di universitas yang sama, kemudian menjadi konsultan di sekolah Victoria Inggris selama 25 tahun, dan sempat menjadi pimpinan pada sekolah-sekolah asosiasi islam. Kurang lebih 9 buku berbahasa arab bersifat pengajaran atau pendidikan pernah beliau karang termasuk Kitab Mukhtar Al-Ahadis ini.

Atas dasar cinta yang amat mendalam, tulis pengarang dalam kata pengantarnya, Sayid Ahmad Al-Hasyimi Al-Misri memilih sekaligus mengambil hadis-hadis dari 6 kitab hadis mu’tabarah (Sahih Bukhari, Muslim, Sunan Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Abu Dawud). Beliau juga mengambil beberapa hadis dari Kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik bin Anas, Kitab Jami’ As-Shaghir wa Al-Kabir karangan Imam Suyuti, dan Kitab At-Targhib wa At-Tarhib Karangan Imam Mundziri. Dari 8 sumber ini terkumpul 1575 hadis dan dijadikan sebuah kitab individu bernama Mukhtar Al-Ahadis An-Nabawiyah wa Al-Hikam Al-Muhammadiyyah.

Dalam hadis yang dipilih oleh Sayid Ahmad, kebanyakan merupakan hadis yang berisi hukum, budi pekerti atau akhlak, etika, tata cara bersosialisasi, serta hal-hal terbaik lain yang tentu saja patut dijadikan panutan bagi kaum muslimin dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sistematika penyusunannya, beliau mengurutkan hadis-hadis berdasarkan 29 huruf hijaiyah (alif, ba, ta, sa, jim, dan seterusnya) ditambah 79 bab lainnya.

Baca Juga:  Strategi Dakwah Rasulullah Membentuk Masyarakat Baru

Semisal kita ingin mencari hadis tentang niat, yang mana kalimat awal dalam hadis ini adalah innamal a’malu bin niyat, maka langsung saja mencari pada bagian huruf alif. Contoh lain jika kita ingin mencari hadis tentang keutamaan bersiwak, yang mana kalimat awalnya dalam hadis ini adalah assiwaku mathharatun lilfammi, maka langsung saja mencari pada bagian huruf sin. Jadi, dalam menggunakan kitab ini untuk mencari lafadz lengkap dari suatu hadis, kita harus mengetahui kalimat awal dari hadis tersebut.

Selanjutnya, pengurutan sesuai bab. Semisal kita ingin mencari hadis-hadis tentang ilmu, maka langsung saja mencari pada bab keutamaan ilmu (addarsu fi fadhli thalabil ilmi). Contoh lain, jika kita ingin mencari hadis-hadis tentang ziarah kubur, maka langsung saja mencari pada bab tersebut (addarsu fi istihbabi ziaratil qubur). Selain hadis, dalam pengurutan sesuai bab ini, juga diawali dengan dalil-dalil yang diambil dari Alquran.

Karena tidak terlalu tebal (layaknya kutubus siitah dan beberapa nama kitab yang telah disebutkan), Kitab Mukhtar Al-Ahadis ini biasa dikaji di pesantren hingga khatam. Atau bagi yang berniat mengahapalkan hadis, kitab ini bisa dijadikan rujukan. Tidak menjadi masalah juga, jika kitab ini dikaji secara perorangan. Mengingat adanya penjelasan (syarah) yang memungkinkan pembaca untuk lebih memahami kandungan hadis yang dimaksud.

Adapun catatan kritis bagi kitab ini ialah, tidak disebutkannya status suatu hadis, apakah sahih, hasan, atau daif, tidak memberikan bandingan redaksi hadis lain yang memiliki kesamaan makna dan kandungan dari periwayat hadis (rowi) lain, dan tidak disebutkan sanad hadis, sehingga hadis tersebut tidak bisa diketahui dari kalangan sahabat, tabiin, ataukah tabiut tabiin.

Tidak terkecuali Kitab Mukhtar Al-Ahadis yang berisi kumpulan hadis, relevansi suatu hadis, seperti yang kita ketahui bahwa hidup kita terpaut sangat jauh dari masa hidup Rasulullah Saw. Ini menyebabkan perbedaan kondisi dan kebutuhan. Jadi sebaiknya bagi para pengkaji hadis untuk tidak menelan ‘mentah-mentah’ suatu hadis untuk menjadi rujukan utama penentuan hukum. Akan tetapi harus terlebih dahulu menelaah serta mengolah tiap-tiap hadis tersebut. Hanya orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu-ilmu agama disertai akal sehat serta hati yang jernih yang bisa menghasilkan penelaahan hadis yang akurat. Tentu dengan alasan semacam ini kita para pembelajar hadis harus selalu merujuk kepada para ulama melalui karya-karyanya yang biasanya bertajuk syarah (penjelas) ataupun hasyiyah (komentar). Semata-mata agar pemahaman dan pemaknaan kita pada suatu hadis tidak serampangan dan sembrono. Sebab Nabi SAW sendiri telah menyabdakan bahwa para ulama ialah pewaris para nabi. Oleh karenanya, untuk memahami permasalahan agama, kita harus  merujuk kepada mereka, para ulama. Sebab mereka tidak hanya saja memiliki piranti keilmuan yang mumpuni, melainkan juga memiliki keikhlasan dan hati yang tulus karenaNya. Untuk memahami permasalahan agama, kita tidak boleh memotong kompas atau “by pass” hanya langsung merujuk Al-Qur’an dan As-Sunnah karena begitu kompleksnya prasyarat untuk memahami dua sumber utama hukum umat Islam tersebut. Merujuk ulama yang otoritatif di bidangnya tentu sebuah keharusan bilamana kita hendak menggali khazanah keislaman.

Baca Juga:  Perbedaan Al-Khalil dan Al-Habib (Ibrahim Khalilullah, Muhammad Habibullah)

Pada akhirnya keberadaan suatu hadis di zaman modern seperti saat ini tentu sangat patut dijadikan sebagai motivasi berbuat baik, terutama pada hadis yang berisi keutamaan-keutamaan (fadhail), penambah wawasan keagamaan, dan sebagai wujud tresna kita pada Kanjeng Nabi Saw. Semoga dengan mempelajari hadis Nabi SAW, kita makin mengenal kepribadian Nabi dan mampu sedikit demi sedikit meniru jejak langkahnya meski hanya seujung jari. Lebih dari itu semoga kelak kita diakui umatnya dan mendapat saham syafaatnya. Amin. [HW]

Muhammad Zulfan Masandi
Siswa MAN 4 PK Jombang, Santri Asrama Hasbullah Sa'id PP. Mambaul Ma'arif Denanyar, dan Pergiat di Komunitas Pena PeKa Denanyar.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini