Membangun tempat ibadah adalah sebuah keniscayaan bagi setiap umat beragama. Umat Islam membangun masjid sebagai tempat ibadahnya, sebagaimana umat Kristen (Protestan) dan Katolik punya gereja sebagai rumah sembahyangnya. Uniknya, tak jarang dari mereka saling membantu dan gotong-royong dalam pembangunan tempat ibadah, walaupun berlainan agama. Mereka berkeyakinan bahwa ini bagian dari “Bhineka Tunggal Ika”.
Sayangnya, keindahan kerukunan ini sempat diusik oleh tafsir-tafsir agama yang justru mengancam persatuan dan kesatuan umat Tanah Air tencinta ini. Tak cukup di situ, mereka juga berani mempolitisasi teks-teks agama sebagai dalih fatwa-fatwanya. Antara lain dari fatwa-fatwa mereka adalah seorang muslim tidak boleh ikut serta dalam pembangunan rumah ibadah non-muslim.
Dalil yang sering mereka gunakan adalah penggalan kata Alquran dalam Surah Al-Maidah ayat 2, yakni
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
Penggalan ayat di atas dipahami sebagai dalil yang menunjukkan kepada larangan seorang muslim untuk ikut serta dalam pembangunan ibadah umat lainnya. Mereka beralasan, hal tersebut termasuk maksiat karena menolong orang ‘kafir’ dalam kemaksiatannya (kufur kepada Allah). Tidak hanya itu, pendapat mayoritas ulama pun mereka sebutkan sebagai argumen penguatnya. (Khulashah fi Ahkam Ahl al-Dzimmah, karya Ali bin Naif al-Syahud: II/212)
Secara lahiriah, memang benar penggalan ayat tersebut menunjukkan kepada keharaman keikutsertaan muslim dalam pembangunan tempat ibadah non muslim. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih mendalam, ternyata maksud hakiki dari ayat ini bukan seperti apa yang difikirkan oleh jumhur ulama di atas. Sejatinya, penggalan ayat ini tidak bisa dilepaskan dengan penggalan ayat sebelumnya, yakni (jika disatukan)
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”
Menurut Ibnu Kastir dalam kitab Tafsir al-Quran al-‘Adzim: II/12, ayat ini turun setelah peristiwa yang terjadi di Hudaibiyah. Di kala itu, Nabi Muhammad Saw berangkat dari Madinah ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah bersama para sahabat-Nya. Setelah sampai di daerah Hudaibiyah, kaum musyrik Mekah mencegah Nabi dan para rombongan-Nya. Alhasil, Nabi dan para rombongan-Nya gagal melaksanakan ibadah haji dan umrah di tahun itu.
Setelah peristiwa tersebut, kaum musyrik daerah timur Arab ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah umrah, yang kebetulan melewati daerah Madinah. Hal ini diketahui oleh para sahabat Rasulullah yang kebetulan mempunyai dendam kesumat kepada kaum musyrik Mekah atas peristiwa Hudaibiyah di kala itu.
Para sahabat sangat ingin mencegah kaum musyrik yang melewati daerah Madinah itu, sebagai balasan dari perbuatan kaum musyrik Mekah kepada kaum muslim di Hudaibiyah kala itu. Lantaran demikian, turunlah ayat di atas, yang melarang kaum muslim untuk bertindak lalim (balas dendam) atas apa yang telah terjadi di Hudaibiyah.
Sehingga, Rasulullah Saw melarang para sahabat-Nya untuk melakukan hal tersebut, serta memerintahkan umat muslim untuk bergotong royong pada hal ketakwaan saja, bukan untuk membalas dendam kepada kaum musyrik Mekah.
Maka dari itu, makna hakiki dari ayat di atas adalah larangan kepada orang muslim untuk berbuat balas dendam atas kezaliman non muslim kepadanya, sekaligus memerintah kaum muslim untuk bergotong royong dalam hal ketakwaan saja, bukan malah berkongsi untuk berbuat balas dendam. Hal ini juga sesuai dengan komentar Imam al-Thabari tentang makna dari ayat ini, dalam kitab Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Quran: IX/491.
Berdasarkan fakta ini, sejatinya menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk keharaman keikut-sertaan kaum muslim dalam pembangunan tempat ibadah non muslim adalah kurang tepat. Alasannya, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan larangan kaum muslim untuk menolong non muslim dalam hal apapun. Justru, ayat ini memerintah kaum muslim untuk menolong non muslim, walaupun dia zalim. Setidaknya, dengan cara tidak menuntut balas dendam kepada non muslim yang zalim.
Imam al-Bagawiy turut berkomentar tetang makna dari ayat ini, khususnya arti dari kata الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (Dosa dan kezaliman). Dalam menafsiri dua kata ini, beliau mendatangkan sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim (Ma’alim al-Tanzil: II/10),
عن النواس بن سمعان الأنصاري قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن البر والإثم، قال: “البر حسن الخلق، والإثم ما حاك في نفسك وكرهت أن يطلع عليه الناس” (متفق عليه)
“Diriwayatkan dari al-Nuwas bin Sam’an al-Anshariy, beliau berkata: Rasulullah Saw pernah ditanya tentang (hakikat) al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa). Beliau bersabda: Yang dimaksud dengan al-birr (kebaikan) adalah akhlak yang baik dan al-itsm (dosa) adalah sesuatu yang meresap dalam jiwamu (kebencian) dan engkau tidak suka jika orang lain mengetahuinya”. (H.R. Bukhori dan Muslim)
Merujuk pada Hadis ini, maka domain dari dosa adalah hati seorang muslim, bukan kegiatan bersifat fisik. Maka dari itu, sejatinya Allah Swt memotivasi umat muslim untuk tidak memiliki hati yang dengki, ingin menyakiti, dan merampas hak-hak non muslim, terutama yang tidak berbuat zalim.
Lantas, masihkah diharamkan bagi orang muslim untuk menolong saudaranya yang non muslim dan setanah air dalam pembangunan tempat peribadatannya hanya karena dalih menolong dalam kemaksiatan (kekufuran)? Bukankah orang muslim juga suka ketika dibantu oleh non muslim dalam segala hal keperluannya? Fastafti ‘Aqlak!!!. [HW]