imam Ja’far ash-Shodiq

Imam Ja’far ash-Shodiq menjadi masyayikh Naqsyabandiyah setelah Imam Al-Qosim bin Muhammad, juga masyayikh Qodiriyah-Naqsyabandiyah dan tarekat Syathariyah setelah Imam Muhammad al-Baqir. Setelah Imam Ja’far as-Shodiq diturunkan kepada Abu Yazid al-Busthomi, lalu kepada Muhamamd al-Maghribi, merupakan silsilah Syathariyah; dan setelah Imam Ja’far ash-Shodiq diturunkan kepada Imam Musa al-Kazhim menjadi silsilah Qodiriyah-Naqsyabandiyah. Baik tarekat Syathariyah ataupun Qodiriyah-Naqsyabandiyah adalah cabang tarekat Imam Ali dari jalan Imam Husein bin Ali.

Abul Hasan Ali al-Hujwiri, pengarang Kasyful Mahjub dan salah satu guru tarekat Junaidiyah dari jalan Abul Fadhal Muhammad bin Hasan al-Kuttali, menyebut Imam Ja’far ash-Shodiq sebagai “terkenal di antara syekh sufi, karena kedalaman ajarannya dan pengetahuannya akan kebenaran spiritual, dan beliau telah menuliskan buku terkenal yang menjelaskan sufisme.

Menurut al-Hujwiri, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Ja’far ash-Shodiq berkata: “Siapapun yang mengetahui Allah, maka dia berpaling dari semua yang selainnya.” Orang arif berpaling dari yang lain (kecuali Allah) dan terputus dari semua urusan duniawi, karena pengetahuannya (ma’rifat) adalah sesuatu yang nakirah, karena nakirah bagian dari pengetahuannya, dan pengetahuan menjadi bagian dari nakirah-nya. Dengan demikian orang arif terpisah dari manusia dan pikiran tentangnya, dan dia menyatu dengan ilahi. Yang lain tidak memiliki tempat di hatinya, sedikitpun tidak boleh mengalahkan perhatiannya, dan eksistensinya tidak memiliki arti apa-apa baginya, dan bahwa dia harus menghilangkan ingatan pikiran darinya.”

Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal menyebut nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Thalib. Dengan mengutip Abu Bakar al-Jabir dan al-Lalika’i menyebut beliau dilahirkan tahun 80 H. (697 M.). Beliau memiliki hubungan dengan keluarga Imam Ali dari jalur ayah, dan dari jalur ibu memiliki hubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq.

Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Nama Ummu Farwah itu adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Oleh karena itu, al-Munawi dalam al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajim Sadatish Shufiyah dan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal mengutip pernyataan Imam Ja’far ash-Shodiq berhubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq: “Abu Bakar telah melahirkan saya dua kali.” Dari sini dapat difahami bahwa Imam Ja’far ash-Shodiq adalah cucunya Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, dari jalur ibunya.

Baca Juga:  Masyayikh Tarekat (12): Khawaja `Azizan Ali ar-Ramitani (w. 721 H./1321 M.)

Imam Ja’far mengambil ilmu dari banyak para tabiin, di antaranya sebagaimana disebut al-Mizzi adalah kakeknya sendiri (dari pihak ibu) yaitu Al-Qasim bin Muhammad, ayahnya sendiri yang bernama Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Munkadar, Ubaidillah bin Abi Rafi’ (Katibnya Imam Ali), Muslim bin Abi Maryam, dan Naïf Maula Ibnu Umar. Menurut sumber lain, disebutkan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq sempat bertemu dengan beberapa sahabat yang berumur panjang, seperti Anas bin Malik dan Sahl bin Said.

Orang-orang dan tokoh yang mengambil ilmu dari Imam Ja’far ash-Shodiq, dan karenanya menjadi muridnya, banyak sekali, dan di antaranya: Aban bin Taghlab, Isma`il bin Ja’far, Hatim bin Isma`il, Al-Hasan bin Iyasy, Al-Hasan bin Shalih, Abu Bakar bin Iyasy, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin `Uyainah, Said bin Sufyan al-Aslami, Sulaiman bin Bilal, Syu’bah bin Hajjaj, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Musa bin Ja’far al-Kazim, Abu Hanifa an-Nu’man, Wuhaib bin Khalid, dan lain-lain.

Integeritas Imam Ja’far ash-Shodiq, diakui banyak pakar jarah-tadhil, sufi, dan para faqih. Musab bin Abdullah bin Zubair dari ad-Darwadi mengatakan: “Malik tidak meriwayatkan dari Imam Ja’far sampai munculnya Bani Abas.” Imam Syafi`i menyebut Ja’far ash-Shodiq sebagai tsiqatun. Yahya bin Ma`in menggelarinya tsiqatun. Riwayat-riwayat yang disandarkan dari perkataan Imam Ja’far, dan dikutip al-Mizzi menyebutkan, beliau mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dan berlepas diri dari orang yang tidak mengakuinya.

Selain memiliki murid-murid di bidang hadis dan fikih, Imam Ja’far memiliki murid-murid tarekat, yang terkenal dan bertahan periwayatan sanadnya hingga sekarang ada dua: Imam Musa al-Kazhim dan Abu Yazid al-Busthami, yang telah disebutkan di atas. Dari Abu Yazid menjadi Naqsyabandiyah dan Syathariyah; dan dari Imam Musa al-Kazim menjadi Qodiriyah-Naqsyabandiyah.

Baca Juga:  Masyayikh Tarekat (6): Abul Hasan al-Harqoni (w. 425 H./1033)

Di antara beberapa karamat Imam Ja’far ash-Shodiq, cukup banyak dan disebutkan dalam banyak kitab thobaqot sufi, dan di antaranya disebutkan al-Munawi dalam Al-Kawakibud Durriyah dan Abdul Wahab asy-Syaroni dalam Ath-Thobaqatul Kubra. Abdul Wahab asy-Sya’roni menyebutkan: “Setiap kali dia membutuhkan sesuatu dia mengatakan: “Duhai Tuhan, Duhai Tuhan, aku membutuhkan sesuatu.” Sebelum doanya selesai ditengadahkan, sesuatu yang diminta Ja’far itu sudah ada di sampingnya.”

Al-Munawi memperkuat cerita keramat Imam Ja’far ash-Shodiq, berdasarkan kesaksian dari Al-Laits bin Sa`ad yang bercerita: “Pada tahun 113 H., aku berhaji ke Mekkah. Pada suatu hari setelah sholat ashar, aku naik ke puncak Jabal Abu Qubais. Tiba-tiba aku melihat seseorang (Ja’far Shadiq) yang duduk bersimpuh sambil berdoa: “Ya Robb, ya Robb sampai (hampir) terputus nafasnya.” Kemudian berkata: “Ya Hayyu Ya Hayyu, sampai (hampir) terputus nafasnya.” Kemudian dia berkata “Ilahi aku ingin buah anggur segar, maka berilah aku makan yang engkau ciptakan.” Al-Laits kemudian berkata: “Tatkala perkataannya telah selesai, aku melihat wadah yang penuh anggur…” (KDTSS, I: 179)

Sedangkan beberapa perkataan Imam Ja’far ash-Shodiq dijadikan pegangan banyak ulama sufi, para pejalan di jalan Allah, dan para faqih, di antaranya disebutkan al-Munawi dan Abdul Wahab asy-Syarani:

“Tidak akan sempurna ma’rifat yang diketahui kecuali dengan tiga perkara: engkau mengecilkan dalam pandanganmu (amalanmu jangan dilihat terus menerus sebagai hal besar), engkau menyembunyikannya (dirimu dipendam dengan berbagai amal, wirid, dan tafakur), dan engkau menyegerakannya (selalu ingat untuk melakukan kebaikan)”

“Tidak ada musibah yang paling besar/paling agung daripada kebodohan.”

“Barangsiapa yang bersahabat dengan sahabat pelaku kekejian/keburukan, dia tidak akan selamat, barangsiapa yang masuk ke tempat keburukan, dia akan dituduh, barangsiapa yang tidak memiliki lisan (untuk terus berbicara), dia akan banyak melakukan penyesalan.”

Baca Juga:  Masyayikh Tarekat (17): Khawaja Ya’qub al-Jarkhi

“Saat dunia menghampiri seseorang, maka dunia akan memberinya kebaikan-kebaikan orang lain. Apabila dunia berpaling darinya dunia akan memotong/mencabut kebaikan-kebaikan dirinya.”

“Barangsiapa yang lambat rezekinya perbanyaklah istighfar.”

“Allah pernah berwahyu kepada dunia, agar melayani orang-orang yang melayani Allah, dan mempersulit orang-orang yang menjadi pelayan dunia.”

“Jika kamu melakukan dosa, maka perbanyaklah istighfar, karena kesalahan-kesalahan itu akan dikalungkan di leher seseorang sebelum diciptakan. Serusak-rusaknya suatu kerusakan adalah melanggengkan perbuatan dosa.”

Imam Ja’far ash-Shodiq wafat di Madinah pada tahun 148 H., dengan meninggalkan banyak murid yang tersebar di banyak wilayah, baik dalam periwayatan hadis, fikih dan tarekat. Dalam hal tarekat, Imam Ja’far ash-Shodiq selain dihubungkan dengan silsilah tarekat di atas (Naqsyabandiyah dan Syathariyah), yang dikenal memberikan tarekat kepada Abu Yazid al-Busthami; juga dikenal memberikan tarekat Imam Ali kepada anaknya, Musa al-Kazhim dan diturunkan kepada Ali ar-Ridha, dan diturunkan kepada Maruf al-Karkhi dan seterusnya, sebagaimana tradisi ini dipercayai dalam silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Imam Ja’far ash-Shodiq wafat tahun 148 H. (765 M.) Anak-anak beliau menurut kitab Syamsuzh Zhahirah ada 13 laki-laki dan 7 perempuan, dan di antara mereka, yang memiliki sambungan keturunan hingga saat ini, yaitu: Muhammad al-Al-Akbar diberi laqob ad-Dibajah (hidup pada masa Khalifah al-Ma’mun), Ishaq diberi laqob al-Mu’tamin, Musa al-Kazhim, dan Ali al-Uraidhi (yang terkecil umurnya dari anak-anaknya). Tarekatnya diteruskan oleh Abu Yazid dan Imam Musa al-Kazhim. [HW]

Nur Kholik Ridwan
Intletual Muda NU, Gusdurian Tinggal di Yogyakarta

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] duduk: “Abu Yazid ambilkan buku dalam jendela.” Abu Yazid menyahut: “Jendela yang mana?” Imam Ja’far ash-Shadiq berkata: “Selama ini engkau selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama