Al-Būtī dan Syarah al-Hikam Ibn Atāillah

Kitab “al-Hikam” Ibn Atāillah adalah salah satu khazanah klasik yang banyak dikaji di berbagai belahan dunia, termasuk di Nusantara. Karya yang ditulis Ibn Atāillah pada abad VII Hijriah ini pun mendapat banyak perhatian ulama-ulama sufi generasi berikutnya.

Tentang pentingnya kitab al-Hikam Ibn Atāillah ini, ada ungkapan begini: “Seandainya salat diperbolehkan membaca selain al-Qur’an, niscaya Hikam Ibn Atāillah ini layak dibaca dalam salat.” Oleh sebab itu, tidak heran, jika kemudian banyak ulama yang mengapresiasi karya langkah ini dengan memberikan komentar (syarah) atas kitab al-Hikam.

Al-Būtī dalam pengantar bukunya menyatakan begini:

“…Setahu saya, kitab al-Hikam ini merupakan kitab berukuran tipis yang tersebar paling luas di kalangan muslim di berbagai belahan dunia. Tidak ada karya yang menandingi kitab ini. Kitab tipis ini sungguh mampu mengaduk-aduk akal dan hati.”

Secara substantif, kitab al-Hikam Ibn Atāillah ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, membahas seputar tauhid sebagai benteng akidah. Kedua, membahas seputar akhlak dan penyucian jiwa. Ketiga, membahas seputar perjalanan ruhani (sulūk) dan ditutup dengan ungkapan-ungkapan munajat kepada Allah.

Perlu diketahui, bahwa Al-Būtī mulai memberikan pengajian kitab al-Hikam Ibn Atāillah ini sejak tahun 70-an. Pengajian al-Hikam pun diulang-ulang. Karena bagi al-Būtī, pengajian ini yang paling dapat memberikan dampak positif dan besar bagi masyarakat muslim dalam memahami nilai-nilai spiritual yang sangat dalam dan menyentuh jiwa.

Pertama kali al-Buti mengadakan pengajian al-Hikam Ibn Atāillah di Masjid al-Senjikdar pada tahun 1974. Kemudian pengajian al-Hikam berpindah ke Masjid Tenkiz dan terakhir di Masjid al-Imān di Damaskus.

Begitu pentingnya kitab al-Hikam ini, banyak dari murid-murid al-Būtī mengusulkan kepadanya untuk menuliskan sebuah kitab syarah agar mereka dapat memahami hikmah-hikmah Ibn Atāillah dengan mudah dan bisa diulang-ulang setiap saat.

Baca Juga:  Motivasi Menulis Karya menurut Syekh Ramadhan al-Buthi

Al-Būtī pun akhirnya memenuhi permintaan tersebut dan mulai menuliskan syarah atas kalam hikmah-hikmah Ibn Atāillah.

Ada kisah menarik dari proses penulisan syarah kitab “al-Hikam” ini. Dalam salah satu pengajian, al-Būtī bercerita bahwa dalam proses penulisannya pernah mengalami kebuntuan. Seakan-akan al-Buti mengalami kebekuan intelektual dalam upaya mengungkap makna terdalam dari hikmah dan petuah bijak dalam al-Hikam Ibn Atāillah.

Proses penulisan syarah al-Hikam pun menjadi tertunda. Karena al-Būtī benar-benar kehilangan inspirasi sehingga tidak mampu melanjutkan projeknya. Al-Būtī pun hampir putus asa. Di benaknya terbesit, “Mungkin hikmah ini terlalu tinggi kelasnya, sehingga dirinya tidak mampu memahaminya.”

Tidak lama kemudian, Al-Būtī mendapat undangan untuk menghadiri konferensi internasional ke Mesir. Dalam rihlah ilmiah inilah, al-Būtī menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Ibn Atāillah. Di hadapan Ibn Atāillah inilah al-Būtī bermunajat. Al-Būtī berdoa kepada Allah agar diberikan petunjuk dalam memahami maksud hikmah spiritual sesuai yang dikehendaki oleh penulisnya, yakni Ibn Atāillah al-Sakandarī.

Setelah membaca beberapa surah al-Qur’an di makan Ibn Atāillah, Al-Būtī pun berdoa begini:

اللهم الهمني المعنى الذي أراده ابن عطاء الله بهذه الحكمة واكرمني بعلم من علمه حتى أدرك معنى هذه الحكمة

Dan benar, ketika pulang dari Mesir, al-Būtī pun kembali melanjutkan penulisan syarah al-Hikam Ibn Atāillah yang sempat terhenti. Al-Būtī bercerita, bahwa beliau duduk menuliskan satu syarah petuah hikmah dalam kitab al-Hikam Ibn Atāillah dari pagi hingga sore sebanyak sepuluh halaman dengan lancar dan mudah.

Allah benar-benar seakan mengabulkan doa-doa al-Būtī. Karena Al-Būtī diberikan kemudahan untuk menyelesaikan penulisan syarah hikmah-hikmah sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Ibn Atāillah.

Oleh karena itu, al-Būtī selalu merendah saat dipuji atas karya monumentalnya “al-Hikam al-Atāiyyah: Syarah wa Tahlīl” tersebut. Karena menurut al-Būtī, apa yang dituangkan dalam kitabnya, benar-benar murni atas petunjuk dan pertolongan Allah. Al-Būtī merasa tak berdaya, tanpa berkah Ibn Atāillah dan petunjuk dari Allah swt.

Baca Juga:  Ujian Promosi Doktor dan Mimpi al-Būtī

Karya tipis Ibn Atāillah berhasil dikomentari (syarh) dan analisis (tahlīl) oleh al-Būtī dalam lima jilid tebal dan telah diterbitkan oleh penerbit Dār al-Fikr Damaskus. Wallaāhu a’lam. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    politisasi klepon
    Opini

    Politisasi Klepon

    Alhamdulillah. Sore ini bisa makan klepon. Biarin aja gak Islami. Yang penting kenyang. ...

    1 Comment

    1. […] sebab itu, mengklaim bahwa men-takhsīs teks yang bertentangan dengan maslahat menurut al-Būtī tidak mungkin dilakukan. Karena yang terjadi justru bukan takhsīs (mengkhususkan kandungan makna […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah