hafalan-metode-belajar-termudah-sekaligus-paling-dibenci

Berangkat dari sebuah kaidah  الفهم بعد الحفظ  “hafal dahulu sebelum memahami” menjadi sebuah tendensi penulis untuk mengamini bahwasanya hafalan lebih didahulukan sebelum memahami, tak hanya kaidah arab, ilmuwan baratpun juga sependapat  “ Menghafal adalah akses mudah untuk membuka kekuatan otak menuju tingkat selanjutnya. Ulangi  sampai anda mati atau berhenti belajar” begitu ucap Richard Feynman Fisikawan Amerika paling berpengaruh di abad dua puluh.

Penulis sendiri sempat merasakan bagaimana bencinya terhadap hafalan, apalagi ketika disuruh menghafal tasrif lughowi, pusingnya minta ampun, sampai-sampai penulis memilih berdiri atau menerima takziran lainnya daripada mesti menghafal berbait-bait mufrodat Bahasa Arab. Ketika waktunya hafalan Mood untuk belajar seolah langsung malas, tidak ada semangat sama sekali.

Berbekal adagium iso kerono kulino (Bisa Karena terbiasa) akhirnya penulis menikmati juga hafalan tersebut, karena semenjak Sekolah Persiapan hingga tamat aliyah mau tidak mau setiap tahunya harus berhadapan dengan hafalan. Kalau gagal dalam hafalan (baca : Muhafadzoh)  otomatis akademik lainnya akan berimbas, her, atau lebih parahnya tidak naik kelas.

Lalu kenapa hafalan itu begitu penting? Sampai-sampai hampir seluruh Pondok Pesantren menerapkan wajib hafal pada nazham tertentu, mulai dari nazham paling sedikit jumlahnya nazham alala (fan akhlak) hingga yang terbanyak yaitu nazham uqudul juman (fan Balaghoh). Di Pondok Pesantren pun santri akan dimaafkan jika tidak faham pelajaran, namun tak memberi ampun pada santri yang tidak hafal.

Alasannya adalah ternyata hafalan itu merupakan metode belajar paling mudah dibanding dengan metode pemahaman, kenapa bisa demikian? meskipun banyak pertentangan yang menyatakan pemahaman itu lebih  diutamakan sebelum hafalan, namun penulis lebih setuju dengan hafalan itu lebih diutamakan dan dilaksanakan dahulu sebelum hafalan, berdasarkan argumen berikut ini:

Baca Juga:  Kader Santri Pendobrak Negeri

Pertama, ditinjau dari waktu dan tempatnya, hafalan lebih efisien dilakukan dimanapun dan kapanpun berada, semisal kita lagi sibuk melakukan pekerjaan lain, kita ambil contoh sedang menunggu jamaah shalat, sembari menunggu iqamah, kita bisa membuka nazham yang hanya seukuran genggaman tangan. Hal yang sulit dilakukan untuk pemahaman, karena mesti membawa kitab atau buku yang begitu besarnya.

Apalagi ketika kita menemukan sebuah kemusykilan dalam pelajaran, kita memerlukan waktu untuk mencari seseorang yang telah mengetahui pelajaran tersebut, itupun kalau seseorang yang tahu itu ada waktu.

Kedua, Berdasarkan kapasitas kemampuan otak pelajar. Mau sepandai apapun si penghafal  atau sebodoh apapun si penghafal, pasti dia bisa menyelesaikan hafalanya, kuncinya dia mesti bersedia untuk mengulang-ulang atau istikamah melalar hafalanya. Karena keberhasilan menghafal itu ada pada diri si penghafal tersebut tanpa ada sangkut pautnya dengan orang lain, tanpa adanya seorang guru atau pembimbing pun kita bisa menyelesaikan hafalan, dengan kata lain intern inteligent disini sangat berpengaruh.

Bandingkan dengan pemahaman, mau sepandai apapun otak si pelajar, pasti tetap memerlukan bantuan pihak eksternal atau orang lain, terlebih guru. Katakanlah ketika kita mengalami sebuah kebuntuan  dalam memahami persoalan, ujung-ujungnya kita menanyakan pada orang lain yang sudah memahami sebuah pelajaran.

Dalam pemahaman kita memerlukan sebuah diskusi, musyawarah, dan tukar pikiran hingga persoalan tersebut dapat diselesaikan bersama, suatu hal yang tidak diperlukan dalam hafalan. Maka tak jarang demi mengurai sebuah pemahaman dibutuhkan forum tersendiri, maka lahirlah Musyawarah bahkan dibuat lembaga tersendiri untuk mengurai pemahaman ini, kalau di Pesantren kita ketahui dengan Lajnah Bahtsul ’il Masa’I (LBM).

Kenapa sampai segitunya? karena pemahaman antara satu orang dengan orang lainnya perspektifnya banyak perbedaan,  kemudian disuarakan dikhalayak umum dan memerlukan pihak yang menjadi perumus. Bahkan saking penting dan sulitnya pemahaman timbul sebuah kaidah ” مطارحة ساعة خير من تكرار شهر ” yang artinya “Diskusi satu jam lebih baik daripada belajar sendiri selama satu bulan”.

Baca Juga:  Gus Dur dan Islam Nusantara

Oke, Kembali ke pembahasan hafalan, argumen ketiga, ulama-ulama kita terdahulu telah mencontohkan, ketika beliau ingin memahami sebuah pelajaran yang disampaikan oleh sang guru, beliau-beliau mesti menghafal dahulu, menghafal kata demi kata yang keluar dari penyampaian guru, maka lahirlah penghafal ulung kaliber Imam Syafi’i, sampai-sampai dalam sebuah kisah diceritakan tidak ada sebuah kalimat yang masuk ketelinga Imam Syafi’, melainkan beliau menghafalnya.

Apalagi zaman dahulu hafalan itu dikatakan sebuah kemampuan yang mesti dimiliki oleh seorang pelajar, karena sulitnya menemukan media-media untuk  mencatat pelajaran dari sang guru, apalagi merekam suara keterangan Dosen layaknya yang dilakukan Mahasiswa masakini.

Nah melalui tiga argumen diataslah penulis berani berpendapat bahwa hafalan itu suatu metode belajar yang mudah, hingga pada akhirnya penulis menyadari serta menjadi semangat dalam menghafal. Karena tingkat awal sebelum paham pelajaran, harus hafal dahulu.

Maka dari situ jangan salahkan guru ketika menghukum berat kepada kita hanya gegara kita tidak hafal. Alasanya jelas, guru itu mentakzir kita lha wong tingkat belajar paling mudah saja kita tidak bisa melaluinya bagaimana mau menguasai sebuah pelajaran ke tingkat selanjutnya. Mulai dari sekarang seyogyanya lebih semangat dan giat lagi dalam menghafal, dan berhenti untuk membenci hafalan. Ingat! hafalan itu metode belajar paling mudah, langkah pertama yang harus kita lalui. [HW]

Ahmad Nahrowi
Santri Asal Sragen, Alumni Ponpes Lirboyo HM Al-Mahrusiyah, menyelesaiakan S1 di UIT Kediri, sekarang sedang melanjutkan Magister Hukum Bisnis di Universitas Nasional Jakarta Sembari Khidmah di Pesantren Aksara Pinggir Kota Bekasi, Redaktur Pers Elmahrusy, Author Almahrusiyahlirboyo.sch.id

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini