Belanja Sampai Miskin: Menyoal “Konsumerisme” di Indonesia

Saya sangat amat percaya dengan kalimat “hidup itu sebenarnya murah, yang mahal itu adalah gengsi”. Sebab katanya, menjalani kehidupan itu sebenarnya sangat mudah jika kita melakukannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Namun, banyak sekali orang yang mempersulit hidupnya karena berbagai alasan, salah satunya adalah karena gengsi. Sejalan dengan ini, sudahkah anda mengutamakan kebutuhan daripada keinginan atau anda justru larut dalam gemerlap kehidupan penuh gengsi? Lalu mengapa sampai saat ini masih banyak orang yang lebih mementingkan gengsi di kehidupannya ?

Konsumerisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai paham atau gaya hidup tidak hemat yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Jean Baudrillard dalam buku “Postmodernisme, Teori dan Metode”, menjelaskan bahwa yang terjadi pada masyarakat konsumerisme ialah seseorang tidak hanya mengonsumsi suatu objek/barang berdasarkan nilai guna, tetapi juga nilai tanda. Perilaku membeli yang berlebihan tidak lagi dipandang sebagai kegiatan atau usaha manusia untuk menggunakan uang demi mencukupi kebutuhannya. Kini, konsumsi justru dijadikan cara bagi seseorang untuk menandakan status sosialnya. Terlebih, kebahagiaan didapatkan ketika seseorang berhasil melakukan diferensiasi (perbedaan) dengan orang lain melalui barang yang dikenakannya. Fenomena semacam ini mungkin banyak ditemukan pada masyarakat kita saat ini, yakni rela menjadi miskin demi hasrat yang bukan hanya sekadar mengonsumsi, tapi menguasai. Bukan lagi sekadar membeli, tapi ingin menjadi trendy.

Hasil riset yang dirilis oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan tipe masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi dalam perilaku konsumtifnya. (Geotimes, 2018). Lebih lanjut, konsumerisme akut mulai dirasakan eksistensinya sebagai realitas sosial di negeri ini, ketika sejumlah pemberitaan viral di jagad media. Salah satunya adalah pemberitaan seputar barang mewah para artis di negeri ini. Bila dicermati lebih lanjut, harga tas dari seorang artis menyamai harga suatu mobil. Hal tersebut dapat dipahami sebagai kekeliruan yang terjadi pada masyarakat saat ini, di mana mereka tidak lagi menangkap nilai guna, tapi nilai tanda/merk dari suatu barang. Mereka seakan merasa bangga dan larut dalam kebahagiaan ketika mengenakan barang-barang yang memiliki harga yang fantastis.

Baca Juga:  Didominasi Doktor dan Praktisi Pendidikan LP. Ma'arif Tangsel Sambut Indonesia Emas 2045

Mencari Dalang di Balik “Fenomena Konsumerisme”

Selain disebabkan karena perilaku individu yang tidak bisa mengontrol keinginan untuk terus berbelanja, ternyata ada penyebab lain mengapa fenomena konsumerisme semakin ramai di negeri ini. Pertama, kemudahan dalam berbelanja, Perubahan transaksi penjualan yang semakin canggih menyebabkan berbelanja semakin mudah. Dengan bermodalkan ponsel dan internet, seseorang dapat menghabiskan gaji satu bulan kerja mereka, hanya dalam waktu kurang dari satu menit tanpa harus beranjak dari tempat tidur. Hal inilah yang ditawarkan melalui sistem berbelanja online. Belanja dengan sistem online memang lebih praktis, lebih murah sebab katanya kita tidak butuh biaya operasional. Saat ini, merebaknya toko-toko online seperti Shopee, Tokopedia, dan lain-lain, disertai dengan diskon-diskon menyebabkan percepatan terciptanya masyarakat konsumer. Hal ini secara tidak langsung membawa hasrat kita untuk terus berbelanja, bahkan untuk sesuatu yang tidak kita perlukan. Akibatnya, masyarakat sering kali dihadapkan pada tawaran-tawaran menarik yang mereka sendiri awalnya tak merasa benar-benar membutuhkannya.

Kedua,  peranan media, Jean Baudrillard memberi contoh peranan penting media dalam penyebaran realitas ini, media lebih banyak menampilkan dunia simulasi yang bercorak hiperrealitas. Hiperrealitas adalah suatu kenyataan yang dibangun media yang seolah-olah itu merupakan realitas, kemudian realitas semu tersebut diserap oleh konsumen media (masyarakat). Hal ini membuat masyarakat menganggap bahwa informasi tersebut sebagai suatu kebenaran, padahal informasi tersebut hanyalah sebuah realitas semu. Belakangan, gencarnya iklan-iklan di media khususnya telivisi menawarkan produk-produk ke masyarakat. Media seakan membentuk gaya hidup masyarakat untuk menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh iklan tersebut. Sadar atau tidak masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kubutuhan masyarakat yang begitu kompleks di manfaatkan media untuk mempengaruhi daya beli masyarakat sehingga muncullah budaya konsumerisme. Terlebih, media iklan yang berlebihan menampilkan iklannya dengan menggunakan  publik figur yang sedang booming dan menjadi idola di kalangan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat semakin tertarik berbelanja produk karena melihat artis idolanya, tanpa memikirkan barang itu mahal atau perlukah barang itu bagi mereka. Yang mereka lakukan adalah membeli barang ber-merk, sedang trend, yang dipakai oleh artis idolanya.

Baca Juga:  Ijtihad Kebangsaan: Titik Temu Nahdlatul Ulama dan Soekarno

Dampak dari Fenomena “Konsumerisme”

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Rhenald Kasali menuturkan bahwa salah satu permasalahan akut yang terjadi pada masyarakat kelas menengah di Indonesia adalah budaya konsumerisme. Yang menjadi permasalahan lainnya adalah kencangnya konsumsi masyarakat Indonesia yang tidak dibarengi dengan pembelajaran risiko yang ada, di mana ia melihat maraknya peminjaman dana online melalui perusahaan fintech. Celakanya mereka tidak mampu membayar pelunasan peminjaman mereka dengan tepat waktu (Tirto, 2018)

Melihat fenomena “konsumerisme” yang seakan menjadi budaya di Indonesia, menimbulkan kekhawatiran baru, yakni  dampak negatif yang disebabkan oleh konsumerime, khususnya bagi masyarakat golongan menengah kebawah. Adapun beberapa dampak negatif dari konsumerisme , antara lain :

(1) Terjadinya distingsi (pengelompokkan selera dan kelas), hal ini menimbulkan perspektif baru di masyarakat, di mana orang akan mengelompokkan kelas sosial seseorang berdasarkan brand apa yang dia kenakan. Secara tidak langsung, seseorang yang secara kelas sosial masih tergolong rendah dapat terdorong untuk ikut membeli brand mahal hanya untuk dianggap sebagai kelas atas.

(2) Meningkatkan potensi kemiskinan, Menurut laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masyarakat Indonesia semakin konsumtif dan mulai meninggalkan kebiasaan menabung. (Kompas, 2015). Hal ini jelas mengkhawatirkan, sebab dengan keadaan yang masih terkategori sebagai kelas menengah, mereka rentan sekali jatuh ke dalam kategori kelas miskin, jika tidak bisa menahan hawa nafsu untuk berbelanja. Seseorang yang memiliki perilaku konsumtif seringkali bertindak boros. Ketika berbelanja, seseorang sering kali lupa dengan kebutuhan berbelanja yang sifatnya primer. Dengan melihat benda-benda bagus yang ditawarkan. Orang yang berperilaku konsumtif akan tertarik untuk membelinya. Padahal ia sudah memilikinya dan barang tersebut tidak sangat diperlukan. Perilaku demikian ini disebut sebagai pemborosan.

Baca Juga:  Regulasi Agama dan Negara di Indonesia

(3) Menimbulkan kesenjangan sosial, Perilaku konsumtif yang dilakukan seseorang akan menampakkan kesenjangan sosial yang makin nyata pada masyarakat. Orang yang berperilaku konsumtif akan cenderung berkehidupan mewah-mewahan sehingga akan sangat menonjol di antara yang lainnya. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya kesenjangan sosial. [HW]

Ade Prasetia Cahyadi
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini