Menghadapi New Normal ala Matsnawi Ma’nawi Jalaluddin Rumi

Sejak kemunculan virus corona di muka bumi ini, banyak sekali dari kita yang akhirnya menjadi korban dari ganasnya virus corona. Beberapa dari kita akhirnya harus memilih duduk di rumah saja, dan bahkan beberapa yang lainnya ada yang harus merenggut nyawa setelah ia dikatakan positif terpapar virus corona.

Negara-negara di dunia dalam menghadapi virus corona pun tidak hanya duduk manis sambil memandang keadaan rakyatnya saja. Para petingginya selalu mengadakan rapat bersama guna mencari sebuah solusi untuk keberlangsungan kehidupan negara dan masyarakatnya. Negara Italia misalnya, para petingginya akhirnya memutuskan untuk melakukan lockdown secara total di negaranya.

Adapun negara kita, Indonesia, memilih sebuah sistem yang hampir mirip dengan sistem yang dipilih oleh negara Italia. Sistem tersebut adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar atau sering disebut dengan PSBB.

PSBB adalah istilah kekarantinaan kesehatan di Indonesia yang didefinisikan sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan terkontaminasi penyakit yang bertujuan agar mencegah kemungkinan penyebaran lebih luas penyakit tersebut ke wilayah lain.

Sudah hampir 3 bulan, Indonesia telah menerapkan peraturan PSBB ini. Dan karena banyaknya kebutuhan negara dan masyarakat yang terbengkalai atas keputusan ini, akhirnya membawa Presiden Joko Widodo untuk memutuskan sistem the new normal, dengan tujuan kebutuhan yang sempat terbengkalai tadi bisa diatasi bersama-sama lagi.

Namun dengan adanya keputusan the new normal ini yaitu hidup berdampingan bersama dengan Covid-19 dan berdamai dengan corona, masyarakat juga dituntut untuk sesegera mungkin beradaptasi dengan keputusan ini.

Mungkin kehidupan baru yang digalangkan Presiden Jokowi ini, bagi sebagian masyarakat kita masih terasa tabu. Bagaimana tidak, kebiasaan-kebiasaan hidup yang dulu telah dilakukan bersama-sama harus sesegera mungkin diadaptasikan dengan gaya kehidupan baru yang Presiden telah putuskan ini. Proses beradaptasi masyarakat pun sendiri berbeda-beda dalam realitanya. Ada yang dengan cepat dapat beradaptasi, ada juga yang lamban dalam menghadapi adaptasi kehidupan baru ini.

Baca Juga:  COVID-19 di Pesantren Terus Meluas, Negara Harus Hadir Secara Terpadu

Titik paling mengkhawatirkan dalam berdaptasi dengan kehidupan baru ini adalah mental diri kita sendiri. Mungkin badan dan stamina kita masih fresh dan kuat dalam menghadapi the new normal ini, namun bagaimanakah dengan mental diri?

Ketika sebagian dari kita tidak siap dalam menghadapi adaptasi the new normal ini, seperti misalnya menolak kondisi ini, maka yang terjadi adalah akan menurunnya imun tubuh dan kondisi mental diri kita, dan itu semua mengakibatkan timbulnya rasa stress yang luar biasa.

Di sini Jalaluddin Rumi memberikan suatu cara bagi kita agar dalam menghadapi the new normal ini kita tidak sampai pada titik stress yang luar biasa. Rumi mengatakan;

شاد باش ای عشق خوش سودای ما

ای طبيب جمله علت های ما

Artinya:

“Berbahagialah, dengan cinta kita dapat membeli segalanya

Dan cinta pula merupakan penawar bagi segala penyakit yang ada.”

(Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Jilid Pertama, Bait 23)

Dari bait di atas, kita bisa memahami bahwa kunci dari segalanya adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan dapat kita peroleh melalui cinta. Ketika suatu hari dalam diri kita mulai tumbuh rasa jenuh, lelah dan stress yang mengganggu, maka kita harus menengok kembali ke dalam diri kita, apakah rasa cinta pada sesuatu masih ada di dalamnya? Jika memang rasa cinta mulai memudar dan hilang, maka dengan segera kita tumbuhkan rasa cinta itu lagi di dalam diri kita.

Manusia tidak hanya sebuah bongkahan jasad saja, ia juga tersusun dari sesuatu yang lainnya. Ruh yang ada dalam diri manusia juga perlu sebuah makanan dan minuman, adapun makanan dan minuman yang ruh perlukan bukanlah seperti makanan dan minuman yang jasad butuhkan. Oleh karena itu, kita harus mencari asupan bagi ruh yang ada dalam diri kita ini, dan asupan bagi ruh kita adalah suatu kebahagiaan dan cinta.

Baca Juga:  Corona dan Hilangnya Tradisi Masyarakat

Sering kali seorang yang berpenyakit keras tidak disebabkan oleh faktor materi, tapi disebabkan karena jiwa dan ruh mereka tidak ada yang mengisi. Rasa bahagia, tenang dan cinta merupakan makanan pokok bagi jiwa agar tetap bugar dan sehat. Oleh karena itu, Jalaluddin Rumi berpesan kepada kita semua untuk terus menjaga cinta yang ada dalam diri kita, karena dengan adanya rasa cinta, segala penyakit yang ada dapat disembuhkan dengan segera.

Itu semua juga tidak berarti kita menafikan ikhtiar yang ada di luar jiwa kita. Selain kita menjaga kebersihan, mencuci tangan, makan makanan empat sehat lima sempurna, kita juga harus merawat cinta yang ada dalam diri kita, supaya jasad dan ruh dalam diri kita tetap sehat seperti sedia kala.

Mencintai juga memberikan semangat lebih bagi kita untuk menghadapi suatu kenyataan, dengan keterpenuhannya jiwa dengan rasa cinta maka kita akan legowo menerima kenyataan dan memandang positif kehidupan yang akan datang. Maka benarlah, jika cinta merupakan obat bagi segala penyakit yang ada, karena cinta dapat memberikan kepada diri pecinta sesuatu yang tak dapat diberikan yang lain untuknya.

هر که را جامه ز عشقی چاک شد

او ز حرص و عیب کلی پاک شد

Artinya:

“Setiap orang yang dirinya dipenuhi rasa cinta

Maka ia akan terhidar dari segala ketamakan dan kecacatan yang ada.”

(Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Jilid Pertama, Bait 22). Wallahu ‘alam. [HW]

Muhammad Hilal Zain
Mahasiswa Pasca Universitas Al Musthafa Isfahan, Alumni Perguruan Islam Matho'liul Falah Kajen Pati, Penikmat buku-buku Rumi

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini