Menghafal Versus Menalar

Ada adagium yang selalu dipegang begitu erat oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam konvensional. Yaitu:

الحافظ حجة على من لم يحفظ

Al-hâfizh hujjah alâ man lam yahfazh (orang yang hafal menjadi argumen terhadap orang yang tidak hafal). Dengan kata lain orang yang hafal teks-teks akan selalu dapat memenangkan perdebatan atau diskusi ketika berhadapan dengan orang-orang yang hanya mengandalkan logika, nalar atau akal semata. Ini karena tekstualisme dalam tradisi itu menjadi ukuran otoritatif atas suatu masalah. Maka pendidikan kemudian diarahkan agar anak-anak didik mampu menghafal sebanyak-banyaknya teks.

Dalam sistem pendidikan Islam di banyak pesantren, untuk tidak mengatakan semua pesantren, metode hafalan sangatlah ditekankan. Pada umumnya para santri diwajibkan menghafal ilmu-ilmu agama yang sudah diringkas dalam bentuk syair-syair yang mudah dinyanyikan dengan lagu-lagu yang beraneka ragam. Ilmu-ilmu yang sudah disyairkan tersebut, misalnya “Matn Zubad” untuk fikih mazhab Syafi’i, “Tuhfah al-Athfal” (ilmu Tajwid), “Al-Kharidah ak-Bahiyyah” (ilmu Tauhid), “Nazham Amrithî“, dan “Alfiyah Ibnu Mâlik” (nahwu, gramatika bahasa Arab), “Al-Sullam al-Munawaraq” (mantiq, logika), “Al-Jauhar al-Maknûn” (sastra Arab), “Nazham al-Baiquniyah” (ilmu hadis), “Nazham Waraqat” (ushûl fiqh), “Al-Faraid al-Bahiyyah” (kaidah-kaidah fikih) dan lain-lain. Di Mesir dan negara-negara Timur Tengah sebagian besar mahasiswa dan pelajar, bahkan menghafal kitab atau diktat/muqarrar yang masih dalam bentuk prosa atau narasi yang berpuluh halaman itu.

Tradisi menghafal tersebut terus berlangsung sampai saat ini, di banyak pusat-pusat pendidikan Islam, entah sampai kapan. Tradisi ini dipraktikkan mulai dari tingkat ibtidaiyah (dasar) sampai perguruan tinggi. Saat saya belajar di pesantren Lirboyo, Kediri, beberapa puluh tahun lalu, saya dan para santri kelas Tsanawiyah, tiap malam jumat “lalaran” (mengulang hafalan secara bersama-sama) nazham Alfiyah ibnu Malik. Saya pernah hafal 1000 bait ilmu nahwu itu dalam tempo 45-60 menit. Saya juga pernah menghafal “Jauhar al-Maknun” (ilmu sastra Arab) dan “Al-Sullam al-Munawraq” ( ilmu mantiq/logika Aristotelian). Sekarang saya sudah lupa semua hafalan itu.

Baca Juga:  Memotivasi Santri ke Luar Negeri, “Santri Mendunia” Silaturrahim di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok

Pada momentum khataman atau ujian akhir yang diselenggarakan pada akhir tahun ajaran, (haflah akhir al-sanah atau imtihânah), kemampuan menghafal syair-syair ilmu tersebut di atas biasanya ditampilkan oleh para santri di hadapan para guru, orang tua-wali dan khalayak/masyarakat. Para orang tua tersebut merasa sangat gembira dan bangga melihat anaknya hafal nazham Amrithi atau Alfiyah dan seterusnya itu. Mereka tidak terlalu menganggap penting apakah anak-anaknya memahami apa yang dihafalnya atau tidak. Atau mereka justru menganggap bahwa hafal itu mengindikasikan paham dan mengerti.

Metode menghafal untuk masyarakat tertentu mungkin saja baik, tetapi akan lebih baik jika ilmu-ilmu tersebut juga dipahami. Penggabungan dua sistem ini; memahami dan menghafal dalam diri seseorang tentu saja ideal.

Mengenai ini ada sebuah syair yang menyatakan:

wa jami al-fahma maa al-hifzhi yafi

“Gabungkan pemahaman dan hafalan, niscaya akan memadai/sempurna). [HW]

Bersambung

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] kalah kompleksnya. Salah satunya bisa kita lihat saat acara rutin tahunan, yaitu acara Haflatul Imtihan Akhirus sanah, sebagai tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar selama setahun. Atau juga […]

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah