Saatnya santri memimpin, mungkin ini adalah kata pembukan untuk tulisan kali ini. Akhir-akhir ini, banyak pengamat dan tokoh masyarakat mengatakan bahwa masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah krisis kepemimpinan. Sebab, para pemimpin bangsa ini bukan hanya tidak tegas dalam memberikan arah kepada bangsa, tetapi justru cenderung korup, suka berbohong, plin-plan, dan bahkan sering membantah ucapan sendiri (rendah etika).
Hal tersebut tentu menyebabkan kekecewaan berat masyarakat karena nilai-nilai luhur budaya bangsa terkait kejujuran, keadilan, amanah, dan kesetiakawanan yang lebih banyak dijadikan retorika politik, sedangkan implementasi nilai-nilai itu ditelantarkan dan bahkan dikhianati. Pemimpin yang berintegritas dan capable menjadi sangat sulit dicari. Bangsa yang besar ini menjadi sangat miskin akan sumberdaya manusia di dalamnya.
Dalam kondisi seperti ini, tiba saatnya para santri diharapkan dapat mengisi krisis kepemimpinan, di mana santri harus optimis menjadi pemimpin masa depan di negeri ini. Karena santri memiliki modal pendidikan moral dan pengetahuan agama yang tidak diberikan pada lembaga pendidikan sekolah biasa yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual saja. Padahal untuk membentuk individu yang siap menyongsong masa depan yang penuh tantangan, seseorang juga harus cerdas secara emosional, spiritual dan sosial.
Ketiga macam kecerdasan (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) ditambah lagi dengan kecerdasan sosial, belakangan ini dipandang penting dimiliki setiap orang khususnya pemimpin, sebab ketika ia terjun dalam kehidupan bermasyarakat, dalam berintegrasi pada semua bidang, yang dibutuhkan tidak hanya intelektualitas tapi juga kendali diri.
Adanya figur yang cocok menjadi teladan untuk mengentas krisis kepemimpinan ini adalah Ibu Nyai Hj. Mundjidah binti K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Beliau dilahirkan di Jombang, tepatnya tanggal 22 Mei 1948. Abahnya adalah seorang ulama besar, penggagas, pendiri, dan penggerak Nahdlatul Ulama (NU). Bu Nyai Mundjidah, sapaan akrabnya, lahir dan dibesarkan dalam tradisi dan kultur pesantren dengan nilai-nilai Islam yang humanis, inklusif, dan toleran telah menjadi spirit dan inspirasi gerak kiprahnya.
Melalui NU dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), aktualisasi inklusifisme dan humanisme Islam dilakukan secara konsisten dan berlangsung hingga saat ini. Konsistensi perjuangan inilah yang telah membentuk karakter pribadi yang kuat dan telah teruji dalam berbagai rezim politik, sekaligus sebagai pembeda dengan para politisi yang lain. Dalam hal keberagaman etnis, suku, budaya, agama, beliau selalu menegaskan bahwa hal itu merupakan karunia ilahi yang mesti dijaga eksistensinya. Sebaliknya, kalau kita memaksakan keseragaman kebangsaan Indonesia dalam segala dimensinya, sama halnya mengingkari eksistensi karunia Allah.
Hidup untuk Umat
Beliau sangat dikenal sebagai perempuan aktif di Jombang. Putra kesembilan dari pasangan Mbah Wahab dengan Nyai Hj. Rahma ini telah menjadi saksi perjalanan bangsa. Keteladanan Mbah Wahab dalam berjuang telah menitis dalam sanubarinya. Sehingga ketika masih muda telah banyak bergerak aktif di garda depan perjuangan.
Pada saat tragedi berdarah G30S/PKI, tepatnya tahun 1965, beliau memiliki sumbangsih yang tidak kecil dalam melawan kekejaman kaum sosialis atheis tersebut bersama elemen bangsa yang lain karena saat itu aktif sebagai bendahara KAPPI Cabang Jombang. Bagi Bu Mun, berjuang di NU bukan menjadi suatu yang baru karena sudah kenal Jam’iyyah ini sejak kecil.
Berawal dari IPPNU sejak dini dan akhirnya dipercaya menjadi ketua (1965-1968), berkhidmat di NU terus dijalani hingga kini. Selepas dari IPPNU langsung aktif dalam organisasi keputrian NU yaitu Fatayat (1969-1972). Awal bergabung dengan Fatayat, langsung dipercaya masuk dalam jajaran pengurus harian, tepatnya menjadi ketua III PC Fatayat NU Jombang.
Berbekal pengalaman memimpin IPPNU, selang enam tahun dipercaya menjadi ketua PC Fatayat NU Jombang selama satu periode. Di tengah khidmat itu, juga dipercaya untuk masuk dalam jajaran kepungurusan harian PC Muslimat NU Jombang sebagai sekretaris. Baru pada tahun 1984, Bu Nyai Mundjidah diberi mandat memimpin PC Muslimat NU Jombang untuk kali pertama.
Pengalaman berorganisasi di NU telah menjadikan Bu Mundjidah semakin memahami karakter warga NU. Kemampuan berorganisasi telah menghantarkannya duduk di kursi wakil rakyat sejak 1971 hingga 2012. Meskipun dipercaya umat menjadi khadimul umat, kegiatan pesantren tetap dilakukan. Mulai tahun 1997 hingga 2012 aktif di DPRD Jawa Timur dalam fraksi PPP. Sekarang hingga tahun 2023 menjadi Bupati Jombang. Kendati usia telah memasuki kepala enam, namun yang melekat dari diri beliau adalah tetap energik dalam beraktivitas.
Santri Harus Siap Berkiprah
Bu Nyai Hj. Mundjidah Wahab, mengungkapkan, pengetahuan dan keterampilan agama saja tidak cukup untuk santri zaman milenial. Harus juga ditambahi dengan kemampuan lain agar kelak bisa berkiprah di masyarakat. Semisal bahasa asing, organisasi, dan teknologi informasi.
Karena dalam pandangannya, tantangan yang akan dihadapi pada tahun-tahun mendatang juga sangat berat. Oleh sebab itu, para santri hendaknya memanfaatkan waktu selama mondok di pesantren untuk berburu banyak keahlian. Tepatnya santri sekarang harus serba bisa. Dengan tantangan yang demikian berat tersebut, maka membekali diri dengan keterampilan adalah sebagai solusi.
Selain sebagai birokrat di pemerintahan di Jombang, Mundjidah Wahab dikenal sebagai Pengasuh Pesantren Putri Lathifiyyah 2 dan Wahabiyyah 1 Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Bu Nyai Wahab seringkali memesankan kepada para alumni selain merawat anak, dan rumah tangga, alumni harus turut berjuang di masyarakat.
Pesan itu juga sejalan dengan apa yang pernah diwasiatkan oleh Ibunda Bu Nyai Wahab, Bu Nyai Hj. Rohmah. Maksud pesan tersebut ialah agar para alumni tidak semata berkutat di rumah saja. [RZ]
[…] regim pada kaum santri tidak bisa otomatis hilang setelah “kaum santri” kembali ke khittah perjuangan sebagai […]