keberanian dan Kebenaran

Keberanian atau saja’ah adalah sifat manusia yang dikaruniakan kepada  setiap insan-Nya. Keberanian itu anugrah Tuhan yang diberikan selaku manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Namun pada  masing-masing jiwa memiliki kadar keberanian yang berbeda. Dalam taraf manusia, jiwa pemberani dapat memiliki kedudukan tinggi. Sifat ini begitu disanjung, karena menimbulkan dampak yang positif dapat melindungi bagi yang lemah.

Islam menilai keberanian bukan seperti teori vitalisme, jiwa yang baik dinilai dari segi kekuatan dan kemampuan. Keberanian islam, terletak pada pribadi yang dapat melakukan perbuatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (perintah berbuat kebaikan dan menjauhi larangan ). Melawan nafsu yang sering disebut sebagai musuh terbesar.

Pada masa modern, zaman kecanggihan  tidak membuat sifat keberanian itu luntur dari umat Nabi. Hanya saja, sering kita jumpai keberanian yang tidak tepat dalam mempraktekkannya. Seperti dalam aksi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, kerab terjadi aksi suap-menyuap demi suatu kemenangan. Seolah-olah hal itu telah menjadi tradisi setiap pergantiannya. Seakan sogoan baik bentuk uang atau barang menjadi dasar pemenangnya.

Mengenali suatu kisah keberanian Sayyidina Ali bin Abi Tholib, kisah Sayyidina Ali sepupu Nabi yang diasuh oleh Nabi dari usia 6 tahun karena  merasa memiliki hutang budi. Di waktu kecilnya, Ali telah mengetahui adanya islam namun belum meyakininya.

Ketika Nabi telah diangkat menjadi Rasul, dengan rasa penasaran yang tinggi, Ali yang masih muda menanyakan tentang agama yang dianut  sepupunya. Dengan perlahan Nabi menjelaskan islam agar Ali dapat  memahaminya dengan mudah. Setelahnya. Nabi langsung menanyakan kesediaan Ali mengenai keputusan untuk memeluk agama Islam. Ali tidak langsung memutuskan keputusannya, lantas berkata:

“Sebentar, saya akan menanyakan hal ini kepada ayah”.

Islam agama yang tidak ada paksaan, Nabi pun mempersilahkan Ali . Setelahnya, Ali kembali menjumpai Nabi, lalu Nabi bertanya:

Baca Juga:  Membaca Relasi Agama dan Negara: Sebuah Apresiasi

“Bagaimana pendapat Ayahmu?”

Sayyidina Ali menjawab: “Aku tidak menanyakannya kepada ayah, aku berfikir jika Islam yang engkau katakana. Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan alam ini beserta isinya termasuk diriku, lantas untuk apa diriku masih memikirkan dan meminta izin pada ayah yang juga termasuk ciptaan-Nya.”

Ali menyatakan Islam setelah Khodijah istri Nabi. Diambil dari bukukarangan Muhammad Amin yang berjudul Fathimah Az-Zahra (The Mother Family of Heaven).

Kisah Ali, menggambarkan keberanian bukan dari seberapa kuat melawan musuh.Keberanian dari cerita Ali adalah keberanian dalam hal kebenaran. Ali memiliki pendirian kuatapa yang disampaikan oleh Rasulullah mengenai kebenaran Allah tuhan yang berhak disembah, menjadikan Ali memantapkan keputusan memeluk Islam.

Dengan mengendalikan hawa nafsu, tidaklah datang pada manusia selain kebaikan. Sebagai muslimin, aksi yang seperti ini dapat dicegah dasar iman. Dengan selalu memupuk iman dalam hati, menjadikan iman itu kuat dan selalu ingat pada Allah SWT. Tanpa melihat sebesar apa yang diberika, tidak ada keuntungan bagi kemajuan bangsa bila memilih pemimpin menilai dari sebuah sogoan. Memilih pemimpin dasar sogoan hanyalah bentuk dari kesenangan sesaat.

Terpenting adalah mengendalikan hawa nafsu, bila nafsu mengarah pada kebaikan segeralah dikerjakan seperti nafsu membaca Al-Qur’an, bila nafsu mengarah pada keburukan segera memeranginya. tidak terkoyahkan agar tidak adanya suatu penyesalan di akhir. Tidak baik juga bila mengambil keputusan tidak dilandaskan pada agama dan kepentingan masyarakat.

قال رسول الله – صلى الله عليه و سلم- ” لا تكونوا امعة تكولون ان احسن الناس احسنا وان ظلموا ظلمنا ولكن وطنوا انفسكم ان احسن الناس ان تحسنوا وان اساءوا فلا تظلموا

Rasulullah Saw bersabda, ”Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan, yang berkata: Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi tempatkanlah diri kalian! Jika orang melakukan kebaikan maka kamu pun melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka (tinggalkan sikap buruk mereka) jangan kamu berbuat zalim.”

Maka peganglah kebenaran itu dengan keberanian. Orang yang memiliki keberanian dialah yang kuat imannya

Baca Juga:  Moderatisme Beragama dalam Upaya Membendung Liberalisasi dan Ekstremisme di Indonesia

ولا تهنوا ولا تحزنوا و انتم الاعلون ان كنتم مؤمنين

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),  jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139) [RZ]

Robiatul Adawiyah
Mahasiswa Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini