abu jahal

Jika ada yang beragama dan lantas menyembah-nyembah agama dengan mempersetankan agama lain, maka ia sedang kesurupan Abu Jahal.

Bila ada yang hanya memiliki secuil dari cuilan-cuilan kecil ilmu tapi merasa tahu segala hal dan menjahannamkan setiap kebenaran di luar dirinya, maka ia sedang kerasukan Osama bin Laden.

Jika ada yang mengkultuskan satu tokoh sampai-sampai mencium pantat dan menjilat ketiaknya, maka ia sedang keranjingan Abu Lahab. Dan, apabila ada yang berpolitik dan menganggap partai politiknya yang paling suci dan pemegang kunci surga, serta mengkultuskan Capresnya layaknya Nabi dan Mesiah, sembari ternak hoaks dan sebar fitnah sejak di ubun-ubun sampai tujuh turunan, maka sekali lagi, ia sedang kerasukan Abu Jahal, Abu Lahab dan Osama bin Laden sekaligus. Saran terbaiknya, jauhi mereka sebelum Anda tertular!

Merekalah para penganut mazhab sotoyisme, yakni kaum cuti nalar dan tuna pustaka, bani otak cingkrang dan defisit ilmu, namun merasa paling benar sendiri di muka bumi. Ciri-ciri mereka? Ya, ciri-ciri orang kesurupan, gemar teriak-teriak di jalanan dengan pengeras suara pula, melotot dan meninju-ninju ke udara, menuding-nuding dan menunjuk-melonjak ke segala arah, sebentar-sebentar takbir disertai caci-umpatan.

Gerombolan kesurupan ini adalah pasukan nasi bungkus (panasbung), tapi justru menyebut diri mereka mujahid, pembela agama dan Nabi, padahal kue kekuasaan yang dicari. Para begundal berbaju Abu Jahal itu gemar bawa pentungan, bendera, teriak upil power, dan memang bakat terbesar mereka adalah razia dan sweeping, bukan menjadi ilmuwan dan negarawan. Oleh karena itu, gaya berpolitik para sobat gurun ini sangat tribalistik cum ultra jahiliyah.

Pertanyaan kampungan yang bisa kita sodorkan: apa muasal dari itu semua? Hanya satu, yakni berhenti belajar karena merasa paling benar. Konsekuensinya? Selain diri dan kelompoknya pasti salah dan auto-neraka. Padahal, mereka adalah buih di lautan politik agama, mereka adalah masyarakat daun kering yang gampang dibakar, setelah itu hangus dan menjadi abu politisasi agama lima tahunan.

Sayyid Aristoteles pernah memberi wejangan bahwa sejatinya setiap orang menghasrati pengetahuan. Tak ada yang mau bodoh dan apalagi dibodoh-bodohi oleh apa-siapapun, lebih-lebih di bulan Puasa. Itu artinya, dalam segala bidang, semua tindakan harus dilandasi ilmu, setiap perbuatan harus berasaskan pengetahuan, tanpa terkecuali dalam berpolitik, beragama, berbudaya dan bahkan bernegara. Semuanya harus dalam jagad akal sehat, di bawah arasy pengetahuan. Menolak fakta ini, berarti melecehkan anugerah istimewa dari Tuhan bernama akal.

Baca Juga:  Pesantren dalam Kaca Mata Masyarakat

Sehebat apapun yang Anda gagas dan Anda inginkan, tidak akan pernah mengalahkan yang Anda lakukan. Jangan lupa, tindakan adalah pikiran yang bergerak, bukan tergeletak dan lalu mengendap di almari ide-ide. Berpikir dan dan bertindak adalah satu kesatuan. Kesalahan kita adalah karena hanya bertindak tanpa berpikir dan sebaiknya cuma berpikir tanpa pernah bertindak.

Memang, langkah-langkah yang Anda tempuh, kadang ditolak bukan oleh orang lain, tetapi bahkan oleh diri Anda sendiri. Apa sebab? Setiap memutuskan untuk melakukan hal ”baru”, diri Anda yang ”lama” pasti memberontak, Abu Jahal-Abu Lahab dalam dada pasti meronta-ronta.

Begitu pula ketika memutuskan untuk belajar. Pasti “diri yang lama” alias kebiasan lama, kemalasan akut dan kecerobohan yang telah menahun pasti menolak hal-hal baru dalam diri. Memang, bukan belajar yang sulit, tetapi memutuskan untuk belajar. Begitu pula bekerja, menikah, melayani sesama, merajut kebhinnekaan, menghargai yang berbeda, memuliakan yang lain dan liyan, yang sulit adalah mengambil keputusan!

Kalah-menang itu wajar dan normal, jangan sampai gila gara-gara itu, bahkan saya pribadi sudah jauh meninggalkan dimensi “kalah-menang” itu dalam seluruh aksentuasi hidup, kecuali pertarungan melawan diri sendiri, saya tetap pantang mundur. Nah, yang sulit adalah “memutuskan” untuk menerima kekalahan dan riang-gembira serta merayakan kekalahan itu dengan melanjutkan hidup dan tugas sebagai khalifah.

Komitmen untuk terus istiqamah terhadap keputusan adalah jalan terjal berliku, penuh onak berduri, ia nyaris tak terkendali meski lama-lama akan tertungkus lumus menjadi kebiasaan. Dan, seterusnya menjadi watak kita—habit is the second nature. Oleh sebab itu, lagi-lagi, banyak politisi dan ulama kutu loncat, semata demi selangkangan politik.

Kabar baiknya, bagi sobat gurun dan bani micin yang gagal move on dengan Pilpres, justru karena urgensi ilmu dan memperjuangkan akal sehat, ayat yang turun pertama kali kepada baginda Nabi adalah perintah membaca (iqra’) bahkan kanjeng Rasul Saw mewajibkan umatnya belajar sepanjang hayat (minal-mahdi ilal-lahdi). Inilah long-lived education.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan, seharusnya umatnya pun demikian. Tak pantas, kaum muslimin menjadi masyarakat yang tidak ilmiah dan terbelakang dalam saintek. Celakanya, tak sedikit yang membeda-bedakan ini ilmu agama itu ilmu umum, ini ilmu Islam itu ilmu kafir, ini politik Islam itu sistem thaghut. Mari kita sudahi kesalahkaprahan warisan Kompeni dan bikinan Zionis ini dengan membuka hati, merentangkan pikiran dan terus belajar!

Baca Juga:  Jalan Syubhat

Dalam Ihya Ulumiddin (the Revival of Religious Sciences), hujjatul Islam Imam Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua, yakni yang wajib dipelajari secara personal (fardhu ‘ain) dan yang wajib dipelajari secara kolektif (fardhu kifayah).

Jadi, tidak ada demarkasi antara ilmu umum dan agama, karena semua wajib dipelajari. Bahkan, jika agama-agama kita anggap ilmu, dan memang seharusnya demikian, maka semua agama wajib kita pelajari, bukan malah kejang-kejang melihat salib, pingsan melihat patung dan alergi kemenyan kearifan lokal.

Sekali lagi, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan. Contoh konyol, kalau Anda salat jum’at tapi pakai niat puasa, maka Anda tidak sembahyang tapi olah raga. Jika Anda sedekah gunting dan sisir untuk para jomblo menahun sebanyak lima kontainer semata karena ingin dipuji calon mertua teman, maka Anda sedang mubazir buang-buang harta.

Apabila Anda haji tiap bulan, umroh tiap minggu, salat malam hingga kepala bertanduk dan jidat berwarna biru, pakai gamis polkadot rangkap lima, serban melilit sebesar parabola, plus jenggot impor lima helai sampai lutut, tapi Anda melakukan itu semua tanpa ilmu, salah aturan pakai, sia-sialah yang hebat-hebat itu tanpa ilmu. Bisa-bisa, Anda malah kerasukan Abu Jahal dan kesurupan Osama bin Laden. Anehnya, kaum monaslimin-monaslimat lantas dengan jumawa pamer kebodohan dan pongah memviralkan kebebalan justru di bulan suci Ramadan, bulan yang non muslim saja sangat menghormati.

Kita renung-insyafi sekali lagi, semua prasyarat sebelum ibadah, juga muamalat adalah wajib aqil-baligh. Apa itu?

‘Āqil adalah mendayagunakan mekanisme intelektual dengan benar, dengan itu manusia akan sampai pada konteks-konteks kebenaran (bāligh). Bahkan, agama ini adalah rasionalitas (ad-dīnu ‘aqlun), barangsiapa yang tidak menggunakan akal-sehatnya, maka dia tidak beragama (lā dīna li man lā ‘aqla lahū), meskipun penampilan sangat religius.

Baca Juga:  KH Bisri Syansuri; Inisiator Pendidikan Pesantren Putri

Wal hasil, sadar bahwa diri ini masih bodoh adalah ilmu tingkat tinggi, dan berkomitmen untuk terus belajar adalah dengan cara rendah hati pada ilmu dan ahli ilmu, para Kiai. Sebab, ujar-ujar lama berbunyi, di atas langit masih ada langit (wa fauqa kulli dzi ‘ilmin alīm).

Begitu pula kebodohan, di bawah orang bodoh, banyak yang lebih bebal dan jahil murakkab. Maka, jangan heran jika banyak orang-orang bodoh diikuti oleh lebih banyak lagi orang-orang dungu, yang kerjanya hanya menjelek-jelekkan Pemerintah, ingin menggorok leher Presiden, mengadu-domba umat dengan main ulama-ulamaan dan presiden-presidenan.

Alangkah bajik dan bijaknya jika energi dan ghirah sehebat itu digunakan untuk belajar dan membangun bangsa, merekat kerukunan dan kebhinnekaan.

Well, sobat gurun yang lucu dan cupu, begitu kita berhenti belajar, mulailah kita bodoh. Ia bisa menyelinap dalam ego dan nafsu, menyusup dalam keakuan yang serba sok tahu, serta menuding siapapun selain dirinya keliru.

Perlu kita renungi sabda Nabi Saw: Izdad ‘aqlan tazdad min Rabbika qurban (tingkatkan kapasitas akalmu, niscaya meningkat pula intensitas kedekatan dengan Tuhanmu).

Ramadan adalah saat yang paling tepat untuk berhenti menjadi Abu Jahal dan jangan kumat lagi setelah Lebaran. Oh ya, kopi mana? Isteri mana? Huss, gak sabaran banget!

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Berita