Dilematika Pesantren: Antara Identitas dan Tantangan Masa Depan

Modernitas, dengan segala kecanggihan dan dengan instrumen menggiurkannya, tidak dapat dipungkiri mampu menjembatani beragam permasalahan sosio-ekonomi, mempermudah jalannya regulasi di berbagai lini masyarakat atau pemerintahan. Meskipun, sebab polemik di sana-sini, masalah baru tetap tak pernah bisa dihidari.

Kemudian pesatnya perkembangan teknologi berhasil merubah sebagian besar, jika tidak semua,  pola kehidupan manusia. Ia bergerak cepat, menciptakan siklus baru bagi peradaban. Manusia dituntut untuk mendekonstruksi ulang nilai-nilai yang selama ini sudah baku tapi tak lagi relevan dengan ruang waktu—memaknai kembali sesuai kebutuhan dan persoalan zaman. Teknologi, dilihat dari sisi gelap yang ia bawa, adalah arus di tengah keringnya nilai-nilai perjuangan, suatu wadah yang melenakan, di tengah kecanduan manusia terhadap hal-hal yang serba instan. Tapi teknologi tetap menyimpan ambiguitasnya: positif-negatif. Dan dalam ambiguitas itu ia sudah menjamah apa yang kita sebut lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan sangatlah beragam corak dan spesifikasi yang dikedepankan. Dari mulai yang semi formal, formal sampai lembaga pendidikan yang bernuansa natur-alam. Di samping itu ada juga lembaga pendidikan yang bernuansa keagamaan dan sumbangsihnya untuk pendidikan, untuk negara tidaklah sedikit, yaitu pesantren salah satunya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari kreativitas (kultur) tradisional kehidupan bangsa Indonesia adalah dasar yang membangun karakter. Metode pengajaran pesantren, tanpa banyak campur tangan pihak luar, berhasil menciptakan ruang mandiri dan sanggup berdiri sedemikian lamanya.

Pesantren sebagai lembaga sekolah menyadari adanya arus kencang di bawah kuasa teknologi. Sebagian besar pesantren membuka ruang untuk perkembangan modernitas itu—meski terkesan setengah-setengah, atau dipaksakan—dan sebagian lain tetap menggenggam erat identitas yang ia bawa sejak lahir. Ini tentu dengan segala kemelut internal yang mendasarinya. Dengan kesadaran inilah, pesantren memantik dilemanya.

Benar adanya, jarak antara pesantren dan luar pesantren bukan lagi persoalan baru. Persoalan ini terus berkembang di tengah gempuran keras modernitas sejak memasuki abad 20, juga di tengah diskriminasi.

Baca Juga:  Genealogi Pendidikan Pesantren sebagai Global Peace

Tapi hari ini, apakah metode dan kebijakan pesantren—yang terbuka dan yang tidak—berhasil juga menjawab segala keresahan masyarakat di tengah lubernya sarana teknologi? Apakah lulusan pesantren mampu menjamin kehidupan bermasyarakat—selain ruhaniyah—yang melibatkan diri dengan modernitas? Apakah mereka, mayoritas manusia yang melek teknologi, percaya dengan model lama pesantren dan lulusan pesantren mampu bersaing atau paling tidak bekerja sama tanpa lepas dari teknologi?

Barangkali memang pesantren, sebagai lembaga pendidikan, bertanggungjawab atas problema ini. Sebab tidak semua lulusan pesantren harus menjadi “kiai”, bahwa apa yang kita hadapi hari ini lebih kompleks. Relasi manusia, meminjam istilah Werner Heisenbreg, dan teknologi pada akhirnya seperti relasi siput dan cangkangnya.

Apakah pesantren menjamin siput tetap hidup tanpa cangkang?

Barangkali apa yang kita takuti adalah identitas. Citra yang dibangun sekian ratus tahun itu harus hilang setelah, semisal, pesantren membuka ruang untuk pengetahuan umum. Tapi bukankah pedoman khas kiai pesantren adalah “al-Muhafadzah ala al-Qadim as-Shalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”. Bahwa kreativitas tetap harus digali, dengan catatan, di atas dasar yang kuat. Artinya transformasi itu tidak perlu mengubah apa pun yang menjadi ciri khas dan dasar kependidikan pesantren. Sebab meninggalkan khazanah keilmuan pesantren, seperti mengkaji kitab kuning dan sekelumit tahapan pembelajaran yang harus dilalui untuk bisa membaca kitab kuning itu, berarti juga memutus mata rantai keilmuan ulama salafus shalih.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren adalah ruang untuk membangun manusia yang tidak hanya alim, tapi juga terampil, menjawab kompleksitas masalah kekinian, memanfaatkan teknologi sebagai lahan basah, dan tentunya berakhlakul karimah.

Ada hal yang perlu kita benahi. Sebab dunia daring menuntut sistem pendidikan kita bukan saja menekankan tugas pada pelajar. Ada pemahaman berupa konteks yang perlu kita berikan sebagai bekal mereka menghadapi tantangan masyarakatnya, di dunia baru ini.

Baca Juga:  Kiai dan Politik Cultuurstelsel

Pesantren harus mulai membangun kembali visi kependidikannya. Ada inovasi, improvisasi, dan strategi yang harus di susun, untuk memanfaatkan media sebagai lahan pengembangan sikap kritis masyarakat, sadar problematika zaman, dan yang paling utama berakhlakul karimah.

Keresahan Lain

Pesantren yang membuka ruang bagi modernitas, bagi teknologi, memang berbeda dengan pesantren yang menutup diri dari dunia luar. Ini pun mempengaruhi pamor masing-masingnya meskipun setiap pesantren memang memiliki pesona tersendiri bagi peminatnya.

Di sisi lain, oleh sebab teknologi pula, media tepatnya, tidak sedikit masyarakat yang menaruh ketertarikan pada dunia pesantren itu hanya sebab keinginan dan-atau tujuan yang tendensinya berupa timbal balik materi semata, seperti banyak orang tua yang menginginkan anaknya piawai berbicara di atas mimbar podium atau menjadi penghafal al-Qur’an untuk disaksikan di khalayak umum. Semoga ini hanya sebatas sikap skeptis penulis merespon peta kurikulum pendidikan yang hanya bertujuan pada job seeker, lowongan pekerjaan.

Dan lagi, dilema pesantren sebagai institusi pendidikan adalah dengan maraknya lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis daring, dari mulai pendaftaran, administrasi, materi & tugas pelajaran sampai akreditasi seberapa kompetennya siswa. Ini sangat merisaukan akan hilangnya identitas pesantren, tentu ini bukan jalan bijak untuk diambil.

Lalu bagaimana dunia pendidikan kita, lembaga pesantren tepatnya, mesti mengambil sikap guna menghadapi dunia baru ini?

Adaptasi

Kawan saya pernah berkelakar, bahwa salah satu sebab collapse, ambruknya Handphone Nokia, adalah lepasnya kesadaran membaca kemajuan para pesaing. Produk mereka tumpul di tengah kerasnya persaingan pasar, dan minat konsumen—ketika para pesaing sukses mengembangkan teknologi OS (Operasional Syistem) pada android, Nokia masih dininabobokan kejayaan masa lalu (Syimbian OS-nya).

Apakah ada cermin (ibrah) yang perlu kita ulangi untuk membangun kesadaran?

Baca Juga:  Pesan Mbah Moen untuk Santri, Sebuah Catatan dari Tarim

Untuk meminjam frasa dalam teori evolusi “survival of the fittest, sintasan yang paling ‘bugar/layak'”, barangkali adalah satu cara untuk keluar dari dilema besar ini. Sintasan yang paling layak dalam teori evolusi bermaksud memberikan gambaran berupa spesies/individu yang paling bugar/layak/kuat adalah individu yang lebih mungkin mampu untuk menghadapi ujian dalam fase seleksi alam daripada individu yang tidak layak/kuat. Singkatnya, sesuatu yang beradaptasi pantang untuk mati.

Inilah jalan terang di tengah gelombang dilema, dunia pendidikan beradaptasi dengan bukan hanya lingkungan, juga pada teknologi. Begitupun pendidikan pesantren, mampu menyesuailan diri dengan modernitas, bersinergi dengan teknologi, tentu dengan filterisasi yang sebijak mungkin untuk jangan sampai pesantren kehilangan identitas aslinya. Frasa teori evolusi ini selaras dengan kaidah pedoman dunia pesantren di atas: al-Muhafadzah ala al-Qadim as-Shalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah. Tapi adaptasi bukanlah obat satu-satunya yang harus diminum, selalu ada suplemen daya tahan tubuh di sana. Lembaga pendidikan yang bergandengan dengan dunia teknologi-daring seyogyanya mampu mengaktualisasikan pelajaran-pengetahuan, memberikan pemahaman baru dari teks-teks konkrit buah tangan para sarjana muslim terdahulu bagi konteks problematika di masyarakat dewasa ini, bukan sekedar menekankan tugas pada para pelajar yang menurunkan minat mereka mengkaji ilmu pengetahuan.

Dan yang abadi adalah perubahan itu sendiri, kata Herakleitos. Pesantren dan modernitas mengambil sikap untuk menjaga keberlangsungannya, eksistensinya. Dunia pendidikan kita, ini yang paling penting, sebagai ilmu pegetahuan mampu membersamai dunia luarnya, membersamai sosial di semua strata ekonominya, menyemai tentram antara budaya dan agama, menjernihkan awan gelap pikiran masyarakat, membangun generasi yang berakhlakul karimah berkarakter islami. Semoga. Wallahu a’lam. []

Deden Ubaidillah
Santri PP. Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri Jawa Timur

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] prinsip- prinsip nilai yang dipegang dalam tradisi pesantren selama ini tentunya menjadi pegangan santri untuk bekal dimasa yang akan datang. Menghadapi era […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini