Saya ingat betul, dulu kedua orang tua saya rutin mendengar pengajian pagi selepas subuh dari satu stasiun radio AM. Uniknya mereka membawa radio sendiri-sindiri. Ibu saya menyetel sambil klutak-klutik di dapur. Radio ini tidak pernah diputer ke gelombang lain dan memang sudah tidak pernah digunakan anak-anaknya. Sekali menyalakan radio, sudah langsung bunyi pengajian. Sementara Abah saya (alm.) menyetel pengajian di depan rumah sambil menyeruput kopi da siap-siap berangkat ke pasar. Pengajian yang disetel adalah rekaman ceramah Kyai Asrori al-Ishaqi, guru mursyid Thoriqah Qadiriyah Naqsyabandiyah, melanjutkan Abahnya Kiai Utsman al-Ishaqi.

Yang ingin saya ceritakan di sini, memang ada beberapa orang yang konsisten dan sangat hobi mendengarkan pengajian dengan berbagai sarana: bisa radio, bisa TV dan sekarang sudah bergeser dari media elektronik ke media online berbasis internet. Ada beberapa platform media digital yang dipilih: bisa di YouTube, Facebook ataupun yang sekarang lagi ramai di Instagram. Sebagian besar juga multiplatform, satu pengajian di share ke semua akun medsos. Saya sering secara sengaja mengikuti pengajian berapa ustaz online ini, dan peminatnya lumayan ada yang sampai menyentuh angka 1.000 sekali live di satu platform media sosial. Ini pun nanti bisa disaksikan ulang setelah pengajian berakhir.

Nah, tapi di jagat internet, pengajian yang live ini rasanya berbeda dengan pengajian rekaman, hampir-hampir seperti bertatap muka langsung. Bahkan pasca-covid ini sebagian generasi tua sudah sangat enjoy berinteraksi lewat internet. Para jamaah yang mengidentifikasi diri sebagai penggemar atau muhibbin mungkin sudah pernah menyimak kajian dari ustaz idola sehingga mereka ingin mendengar yang baru. Di jagat internet, umumnya kita ingin menyaksikan sesuatu se-update mungkin setiap kejadian atau menjadi yang pertama nonton. Selain itu, konten pengajian memang berbeda dengan musik yang diputar berulang-ulang. Kecuali untuk maksud tertentu, para jamaah atau penggemar biasanya hanya mendengarkan sekali saja.

Baca Juga:  Katib Aam PBNU: Halaqah Fiqh Peradaban, Strategi Menguatkan Jamaah dan Jam'iyyah

Jadi pengajian live internet ini kira-kira akan makin ngetren pascacovid-19. Sebagiannya peminatnya adalah generasi lama juga sudah berangsur bermingrasi ke media baru, dan tentunya generasi muslim baru. Ada banyak riset yang menyebutkan “hasrat berislam” di Indonesia ini semakin tinggi pasca reformasi dan di sisi lain ditopang dengan kemajuan teknologi informasi-komunikasi untuk belajar agama. Dengan internet, tidak ada orang yang minder belajar agama karena di internet semua jawaban pertanyaan agama ada. Di luar Indonesia sana juga ada gejala yang disebut post-sekularisme, orang yang sudah bosen sekuler sekarang ingin kembali merasakan nikmatnya beragama.

Nah, sejauh mana nanti pengajian-pengajian online dari majelis taklim atau pesantren tertentu ini diminati, atau berapa besar apa viewer-nya atau atau jamaahnya tentu sangat tergantung dengan massa yang dibidik, cara promosinya, serta urusan teknis lainnya, termasuk bagaimana pemilihan tema-tema yang dibutuhkan atau diminati dan waktu yang pas untuk menyampaikan pengajian itu. Beberapa pengajian khusus memang tidak membidik jumlah viewer tapi merawat dan memberikan materi pengajian rutin kepada jamaahnya atau alumninya saja. Tentu ini pilihan-pilihannya.

Ada ustaz yang bahkan setiap hari di luar bulan Ramadan bisa live pengajian empat kali: Selepas subuh, jam istirahat siang, sore pulang kerja dan waktu malam menjelang tidur. Peminatnya kira-kira 300-an orang yang kalau berjejer di satu masjid ya sudah penuh.

Memang aktivitas rutin sang ustaz ya seperti itu. Sambil live pengajian dia juga bertindak sebagai semacam brand ambassador beberapa unit usaha ekonomi yang didukung oleh rekan-rekan pemodal di luar, termasuk jamaahnya. Jadi sambil pengajian, ia mempromosikan produknya, dari mulai travel, resto, catering, percetakan, atau apapun. Saya kira ini sah-sah saja sambil juga keuntungannya untuk membiayai proses berjalannya pengajian online, peralatannya, dan tim kreatifnya. Kadang-kadang ada info di running teks pengajiannya itu membuka donasi untuk tim ustaz secara pribadi, atau untuk kegiatan sosial tertentu berkaitan dengan isu yang lagi viral.

Baca Juga:  Paduan Suara Katolik Nyanyikan Syubbanul Wathon di Harlah NU, Gus Yahya: NTT Miniatur Indonesia

Jadi, selamat datang di era baru. Kata seorang motivator dunia yang bukunya banyak diterjemahkan di sini: Masa depan itu sudah terjadi sekarang. [HW]

A Khoirul Anam
Dosen UNUSIA Jakarta dan Redaktur NU Online.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini