Salah satu yang khas dari bulan puasa adalah penyelenggaraan ngaji pasaran atau pasanan. Selama lebih kurang satu bulan lamanya para santri secara intensif mengikuti pembacaan kitab kuning.

Biasanya dengan cara bandongan, yang memang hanya diajarkan di bulan puasa. Oleh karena itu, kitab yang diajarkan jarang kitab yang tebal, dengan tujuan agar bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Pada awalnya tradisi ngaji pasaran dilakukan di pesantren-pesantren tradisional. Mirip kegiatan pesantren kilat di sekolah-sekolah, tradisi ngaji pasaran mempunyai jadwal yang ketat dari pagi sampai malam.

Terkadang pesertanya tidak hanya santri yang mukim di pesantren bersangkutan, tetapi juga mereka dari luar yang datang khusus untuk kegiatan itu.

Dalam kondisi tertentu, pelaksanaan dimulai sejak beberapa hari atau beberapa pekan sebelum masuk bulan puasa supaya pembacaan kitab bisa rampung sebelum lebaran tiba.

Kitab-kitab yang diajarkan umumnya bukan kitab-kitab yang diajarkan sehari-hari, melainkan kitab-kitab lanjutan dalam bidang ilmu tertentu. Bidang keilmuannya bermacam-macam, tergantung pada keahlian kiai yang membacakan.

Di pesantren yang kiainya terkenal sebagai ahli fikih, misalnya, maka yang diajarkan adalah kitab fikih. Demikian seterusnya.

Selain untuk menamatkan pembacaan kitab kuning tertentu dalam waktu singkat, ngaji pasaran adalah ajang untuk mencari keberkahan.

Lazimnya hal ini melekat pada pesantren dan kiai yang secara turun temurun telah dipercaya memiliki keistimewaan luar biasa. Dalam kultur pesantren tradisional, seorang santri berusaha menamatkan pembacaan kitab di pesantren dan kiai tersebut biar mendapat keberkahan dan itu sering dilakukan pada bulan Ramadan.

Dalam perkembangannya, tradisi ngaji pasaran tidak hanya dilakukan di pesantren-pesantren, tetapi juga di dunia maya secara online. Fenomena ini mengemuka sekarang di saat pandemi Covid-19 menjalar di seluruh jagat.

Baca Juga:  Muharram, Ladang Ganjaran Setelah Ramadan

Sementara orang-orang diminta untuk melakukan pembatasan sosial, termasuk para santri di pesantren, kegiatan ngaji pasaran selama bulan puasa ternyata masih berjalan. Dengan memanfaatkan internet, sejumlah kiai menyiarkan pembacaan kitab kuningnya melalui berbagai kanal yang tersedia.

Tidak tanggung-tanggung, beberapa kiai sepuh ikut mengisi fenomena ngaji pasaran online ini. Misalnya KH Mustofa Bisri yang membacakan kitab Hadits Arbain di Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang.

Atau KH Anwar Manshur yang membacakan kitab Al-Adzkar An-Nawawi di Pesantren Lirboyo, Kediri. Melalui live streaming di media sosial, pembacaan kiai-kiai tersebut bisa diikuti oleh siapa saja dan di mana saja.

Di luar nama itu, masih ada puluhan dan bahkan ratusan kiai pesantren tradisional lainnya yang menggunakan fasilitas internet untuk ngaji pasaran.

Sementara itu, di kota-kota besar, beberapa tokoh juga melakukan hal yang serupa. Di antaranya yang terkenal adalah Ulil Abshar Abdalla, yang telah sejak beberapa tahun terakhir mengadakan kegiatan ngaji Ihya Ulumuddin secara online.

Khusus di bulan puasa sekarang, dia membacakan kitab Al-Munqidz min al-Dhalal karangan Imam Ghazali setiap malam. Disiarkan lewat akun Facebook, ngaji pasaran yang diselenggarakan oleh Ulil Abshar Abdalla di rumahnya di Bekasi itu bisa ditonton oleh ribuan orang.

Dengan demikian, pandemi Covid-19 bukan halangan bagi keberlangsungan ngaji pasaran. Malahan, karena ditayangkan secara online, sekarang pengikut tradisi tersebut bukan hanya santri pesantren seperti biasa, tetapi juga kalangan masyarakat yang lebih luas.

Meski mungkin belum terlalu familiar dengan wacana yang disampaikan, setidaknya sekarang pengetahuan kitab kuning telah melampaui batas-batas tradisionalnya.

Daya tahan tradisi ngaji pasaran dalam berbagai kondisi memperlihatkan kemampuan mereka yang melestarikannya, yaitu pesantren-pesantren dan komunitas Muslim tradisional.

Baca Juga:  Gus Rozien: New Normal di Pesantren, Pemerintah Harus Melakukan Orkestrasi Kebijakan Strategis

Berkebalikan dengan kesan kolot yang dulu pernah dilekatkan, fenomena ngaji pasaran online yang justru marak di era pandemi saat ini menunjukkan adaptasi mereka yang luar biasa terhadap perubahan zaman.

Diharapkan bersamaan dengan itu nilai-nilai keagamaan moderat atau wasatiyah yang selama ini dikembangkan oleh pesantren-pesantren dan komunitas Muslim tradisional bisa tersiar lebih jauh lagi. Tulisan ini sudah pernah tayang di https://www.kompas.com/ramadhan/read/2020/05/02/211103672/ngaji-pasaran-online-menembus-batas-batas-tradisional. [HW]

Amin Mudzakkir
PP ISNU dan Peneliti di LIPI

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini