“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah, ayat 257)
Kehidupan manusia itu selalu mengikuti sunnatullah. Dari tidak ada menjadi ada. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tak berdaya menjadi berdaya. Dari kecil menjadi besar. Dari lemah menjadi kuat. Dari gelap menuju terang. Itulah dinamika kehidupan, yang tidak hanya bertumpu pada anugerah Tuhan, melainkan juga ikhtiar manusia sendiri yang seijin Tuhan.
Untuk mengenal Tuhan yang sangat abstrak tidaklah mudah. Upaya efektif yang perlu dilakukan adalah mengenali diri sendiri, ma’rifatun nafsi, karena dengan mengenali diri kita dengan benar, maka kita akan mengenali keagungan Tuhan. Imam al-Ghazali mengutip hadits Rasulullah saw “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah”, yang artinya siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.
Dengan mengenal Tuhan, berarti kita mengenal Allah swt yang menjadikan manusia dengan segala sifatnya. Manusia yang diciptakan dari kehidupan yang gelap menuju ke kehidupan yang terang. Secara fisik, dari hidup dalam kandungan menuju kehidupan di dunia yang dipenuhi cahaya. Secara psikis, dari kehidupan jahiliyah yang diwarnai dengan kemusyrikan menuju kehidupan berperadaban yang diwarnai dengan ketauhidan.
Dalam rangka memahami kehidupan kita sebagai manusia, mari kira telaah implikasi dari gelap menuju terang dalam proses kehidupan manusia.
Pertama, manusia itu diciptakan dari kondisi lemah yang tidak bisa duduk dan berdiri, yang akhirnya bisa berjalan dan lari. Secara fisiologis dan fungsional kita tidak bisa biarkan seorang bayi atau anak itu berproses sendiri untuk bisa duduk dan berjalan, namun akan lebih baik jika kita melakukan pendampingan (scaffolding), sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Pendampingan ini diharapkan sekali untuk menjadikan anak bisa mandiri selama pertumbuhan dan perkembangannya. Bisa menggunakan locus of control dengan baik, kemana dia pergi menggunakan kakinya untuk hal-hal yang baik.
Kedua, manusia itu diciptakan dari tidak bisa bicara menjadi bisa bicara. Anak tidak hanya diajari berucap dan mengartikulasikan kata dan kalimat dengan benar. Namun yang jauh lebih penting adalah mengenalkan kata dan ungkapan yang baik, terpilih dan mulia (qaulan kariimaa). Jika anak tidak dibimbing dengan baik dalam berucap, anak bisa bicara yang kotor dan jahat. Yang bisa jadi kata-katanya dapat mencelakakan dirinya sendiri dan orang lain. Mari kita simak QS. Al-Furqan ayat 63: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Ketiga, manusia itu dilahirkan dengan tanpa ada kemampuan membaca hingga akhirnya bisa membaca. Tidak sedikit realitas di lapangan bahwa anak seorang manusia yang lahir di bumi di tengah-tengah orangtua yang tak berpendidikan, menjadikan mereka tidak bisa membaca, sehingga menjadi buta huruf. Kehadiran orangtua sebagai pendidik dan guru sangatlah berarti menjadikan seorang anak yang illiterate menjadi literate. Dari yang tidak melek membaca menjadi yang melek membaca. Kecakapan membaca seharusnya tidak hanya terbatas pada membaca tekstual, tapi yang lebih bermakna adalah membaca kontekstual. Membaca antara dua baris (Reading between two lines). Membaca adalah how to construct meaning. Akhirnya kita harus memiliki kebiasaan membaca. Dengan selalu membaca, kita bisa terus meng-update diri.
Keempat, manusia itu awalnya bebas dari hukum. Merdeka dari berbagai tuntutan hukum, karena dinilai belum bisa dipercaya. Begitu proses hidup berjalan, manusia menjadi mukallaf, menjadi trusted, menjadi mature dan siap atau wajib mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Bahkan telah siap dibebani kewajiban dan tanggung jawab hamba Allah, yang wajib melaksanakan ibadah sesuai dengan rukun dan syaratnya. Rasulullah SAW bersabda, “Diangkatkan pena atas tiga (kelompok manusia), yaitu anak-anak hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sembuh.” (HR Abu Dawud).
Perubahan ini harus menjadi kebutuhan, bukan lagi beban. Dengam begitu seberat apapun dapat disikapi dengan senang dan ikhlas. Jika demikian maka hidup kita tercerahkan, dan tidak dalam kehidupan yang kelabu dan tersesat. Hidup sebagai hamba Tuhan yang taat dan setia menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Kelima, manusia berangkat dari seorang anak. Yang secara berangsur menuju ke dewasa. Ketika hidupnya masih kanak-kanak, hidupnya sangatlah tergantung pada orangtua dan orang dewasa. Hidupnya cenderung konsumtif dan selalu disiap disuplai untuk bisa eksis. Namun ketika menginjak dewasa, maka posisinya menjadi individu yang mendiri dan merdeka. Segala sesuatunya harus dipikirkan dan dilakukan sendiri dengan penuh tanggung jawab sendiri. Ketika dewasa juga harus produktif, mencari kehidupan sendiri. Jangan nampak childish. Bukan lagi konsumtif yang bergantung hidupnya pada suplai dan subsidi orang atau fihak lain. Pikiran, sikap dan perilaku mandiri tidak hanya berlaku pada tataran keluarga melainkan juga tataran dunia kerja dan kehidupan di masyarakat. Kehidupan dewasa adalah kehidupan yang sudah tercerahkan. Kehidupan yang terang, bukan lagi hidup dalam kegelapan.
Kita manusia, sebagai warga negara Indonesia, telah dikeluarkan dari era kegelapan, ketika masa penjajahan, memasuki era terang benderang, ketika masa kemerdekaan, pembangunan, dan reformasi. Mungkin secara fisik kita merdeka, tetapi secara non fisik, apakah iptek dan ekonomi, kita masih dalam penjajahan sehingga kita belum merasakan kehidupan yang terang bersinar. Kita semua punya tanggung jawab untuk bisa mewujudkan kehidupan merdeka untuk sektor lain seoptimalnya.
Demikian juga kini kita berada dalam ancaman dari Covid-19, sehingga kehidupan kita tidak menentu. Dalam bayang-bayang ketakutan dari ancaman dahsyatnya pamdemi wabah Corona. Apapun kondisinya kita punya potensi baik duniawiyah maupun ukhrawiyah. Tinggal bagaimana kita memanaj potensi ini sehingga mampu memenangkan perlawanan dengan Covid-19. Kemampuan leadership pemerintah yang bertanggung jawab melindungi keamanan dan keselamatan bangsa sangat menentukan. Kerjasama sinergis antara unsur bangsa dengan kepemimpinan yang kuat diyakini, insya Allah akan mampu menuntaskan Covid-19 di seluruh nusantara.
Akhirnya bahwa bangsa Indonesia yang dibayang-bayangi oleh kegelapan karena ketidakmandirian kita, harus didorong kuat untuk menuju bangsa yang mandiri. Bangsa yang tercerahkan. Bangsa yang berperadaban. Bangsa yang bereputasi. Bangsa yang siap berkompetisi. Bangsa yang siap berbagi. Bangsa yang melindungi. Bangsa yang memiliki harga diri. Semoga Allah swt meridloi.