Opini

Mudik atau Tidak?

Mudik itu merupakan sunnatullah, mudik juga merupakan budaya kita yang secara massal terjadi setiap tahun, momentumnya bisa berbeda. Jika ummat Islam itu setiap liburan Idul Fitri, sedangkan untuk orang Kristen Protestan dan Katolik terjadi saat liburan Hari Natal.

Mudik dipandang penting untuk konsolidasi dan memperkuat keutuhan keluarga. Namun untuk mudik tahun ini situasi dan kondisinya berbeda, karena kita dihadapkan pada pelarangan dan pembolehan yang bisa membuat kita sedikit confuse.

Mudik menjadi tema penting setiap tahun, kini persoalan mudik jauh lebih penting diangkat karena memiliki alasan yang lebih komprehensif. Setiap tahunnya himbauan tidak mudik dikaitkan dengan persoalan ekonomi dan keselamatan.

Hanya menghabiskan uang dan resiko kecelakaan serta resiko kebakaran rumah (karena lupa mengamankan aliran listrik). Alasan ini belum efektif untuk membendung, karena nilai sosial dan agama menjadi pertimbangan yang lebih kuat.

Kini berbeda konteksnya, demi keselamatan dirinya dan keluarga dari penyebaran wabah Covid-19, ada yang mengharamkan dan membolehkan dengan pertimbangan khusus dan catatan untuk ekstra hati-hati.

Juga adanya himbauan dengan kuat dan larangan dengan kuat dari kedua belah pihak Pemerintah Daerah (tempat tinggal sekarang dan asal).

Esensi mudik itu hakekatnya merupakan hajat untuk dapat menengok kembali tumpah darahnya. Sungkem dengan kedua orangtua. Bisa berziarah ke makam orangtua dan nenek moyang.

Silaturahmi dengan keluarga besar baik yang ada di kampung maupun yang bersama-sama kumpul di rumah inti, rumah orangtua. Hajat mudik tidak hanya di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain. Hanya berbeda momentumnya.

Di Amerika Serikat yang berbudaya Barat, juga tetap menghargai institusi keluarga. Pentingnya kunjungi orangtua juga terjadi pada suatu waktu yang disebut Thankgiving Day. Pada Thankgiving Day, semua orang pulang atau mudik menemui orangtua untuk sampaikan terima kasih yang selama hidupnya, kehadiran kedua orangtua sangat berarti.

Baca Juga:  Hukum Menikah di Bulan Syawal

Di mata Allah swt berbuat baik memiliki kedudukan yang utama dalam kehidupan, karena setelah manusia itu diperintahkan untuk menyembah kepada Allah swt, manusia diperintahkan berbakti kepada kedua orangtua, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman pada QS. An Nisa: 36, yang artinya:

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.

Selain itu firman-Nya pada QS. Al Isra: 23, yang artinya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. Allah swt memandang sangat penting manusia berbuat baik kepada kedua orangtua yang telah mengandung, melahirkan, mengasuh, dan mendidiknya.

Begitu pentingnya posisi orangtua di hadapan anak, Rasulullah saw merespon ketika beliau ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud ra, “Amal apa yang paling dicintai Allah ‘Azza Wa Jalla?”. Nabi bersabda: “Shalat pada waktunya”.

Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”.Nabi menjawab: “Lalu birrul walidain”. Ibnu Mas’ud bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”. Nabi menjawab: “Jihad fi sabilillah”. Demikian yang beliau katakan, andai aku bertanya lagi, nampaknya beliau akan menambahkan lagi (HR. Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi ra bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Bukhari).

Rasulullah memperkuat betapa pentingnya berbuat baik kepada kedua orangtua dan keluarga dekat atau kaum kerabat.

Dengan mudik, tidak hanya ketemu dan “sungkem” dengan kedua orangtua, melainkan juga dengan keluarga besar, sehingga tali persaudaraan tetap terjaga. Memperkenalkan anak dan cucu dengan keluarga kerabat, sehingga keutuhan dan kesolidan keluarga besar semakin terjaga.

Baca Juga:  Mengupas Istilah-Istilah Ungkapan Berbahasa Arab di Hari Raya

Dengan mudik, kita bisa salurkan jakat dan shodaqah kepada kerabat. Kita saling memberi informasi dan memotivasi untuk maju baik belajar maupun kerja/karir.

Hajat mudik yang ideal itu bisa terwujud, sekiranya tidak ada kendala yang berarti. Semuanya bisa berjalan lancar. Namun dengan adanya himbauan kuat dan larangan untuk mudik, maka hajat mudik tidak bisa dengan mudah diwujudkan.

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap himbauan kuat dan larangan untuk mudik, ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu: Pertama, tidak jadi mudik, tapi bisa melakukan pengiriman WA messages atau videoconfrence pada saatnya diperlukan untuk sungkem, silaturahim dan saling mengucapkan selamat.

Kedua, tidak jadi mudik, tetapi pengiriman zakat, infaq atau shadaqah kepada orangtua atau keluarga dekat lewat transfer. Ketiga, jadi mudik selama beberapa hari dengan isolasi diri tinggal di hotel atau penginapan dengan tetap menjaga physical distancing dan social distancing.

Keempat, jadi mudik pada suatu hari bertemu dengan orangtua dan atau ziarah makam orangtua, yang sore atau malamnya kembali ke rumah jika jarak rumah sendiri dan rumah asalnya terjangkau.

Kelima, menunda mudik pada saat yang aman dan memungkinkan untuk bisa silaturahim lebih leluasa dengan tetap bisa menggunakan jasa digital untuk komunikasi dengam orangtua, kerabat dan sahabat.

Pada hakekatnya mudik adalah hak asasi. Pemerintah, Organisasi Keagamaan atau Instansi lain tidak seharusnya memberikan larangan keras, apalagi memberikan sanksi hukum kepada warga, kecuali yang benar-benar terbukti merugikan banyak orang.

Suatu sikap dan kebijakan yang terpuji jika mampu memberikan insentif bagi yang tidak mudik dan memberikan dukungan untuk memutus rantai penyebaran virus sesuai dengan rambu-rambu yang ada.

Dengan melakukan pengurangan secara signifikan atau peniadaan fasilitas atau transportasi publik, baik udara, laut atau darat, sebenarnya sudah mengurangi banyak arus mudik, kecuali yang menggunakan kendaraan pribadi.

Baca Juga:  Kemenangan Hakiki (Apakah Hari Raya Merupakan kemenangan?)

Akhirnya kita percaya dan bisa maklumi bahwa selama warga negara itu normal dan sehat, cenderung bisa mandiri dalam membuat keputusan, kapan tidak jadi mudik dan kapan mudik demi keselamatan bagi dirinya dan orang lain.

Jika mudik, konsekuensi apa yang akan dihadapi. Semoga Pemerintah dan Aparat serta Ormas keagamaan bisa menfasilitasi warga dan umat atas pilihan yang dibuat dengan cara-cara yang persuasif.

Dengan adanya kesadaran semua untuk hidup bersih dan menjaga diri serta berhati-hati untuk kontak dengan orang lain, insya Allah kita sudah ikut andil dalam memutus rantai penyebaran virus.

Semoga pandemik Covid-19 segera berakhir dan segera memasuki kehidupan masyarakat yang sehat dan kehidupan kerja yang normal. Anda Mudik atau Tidak Mudik, mengapa?

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini