Opini

Hakikat Mengemban Amanah

(Ilustrasi: Freepik.com)

“Menyikapi dan menjalani amanah dengan ikhlas, jujur dan adil, insya Allah Tuhan akan terus membimbing dan meridloinya” – Rochmat Wahab

Mengemban amanah itu lebih penting, lebih mulia, dan lebih terhormat. Dengan mengemban amanah secara baik, hidup bisa lebih bermanfaat. Itulah yang tidak mudah, karena harus menjaga komitmen baik secara horizontal, dengan sesama, maupun secara vertikal, dengan Tuhan. Demikian juga mengemban amanah tidak sebatas urusan dunia, melainkan juga urusan akhirat.

Kita sering mengamati berbagai fenomena yang ada. Banyak orang yang salah dalam menyikapi terhadap suatu jabatan. Mengejar jabatan dengan berbagai cara, bahkan menghalalkan segala cara. Begitu dapat meraihnya dengan serta merta sujud syukur dan mengucap “Alhamdulillah”.

Padahal jabatan adalah suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Bukan suatu keagungan yang akan dinikmati dengan sukaria. Yang tepat mengucap “Innaa lillaah”.

Jabatan sebagai amanah seharusnya dituntut untuk lebih pada melayani, bukan untuk dilayani. Karena salah menyikapi terhadap jabatan, banyak yang terjebak masalah pada saat sebelum menjabat, selama menjabat dan setelah menjabat. Mestinya setelah menjabat bisa menikmati hidup merdeka, tetapi justru harus “disekolahkan”, karena harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakan yang salah ketika menjabat. Mengemban amanah harus ekstra hati-hati. Menyikapi amanah harus benar (proper), karena itu kita mengikuti dan setia dengan rambu-rambu dalam memahami amanah.

Amanah itu pada hakekatnya suatu yang sangat berat, makhluk Allah swt yang hebat, bumi, langit, dan gunung-gunung pun tidak sanggup memikulnya. Karena itu bodoh sekali manusia siap menghadapinya. Ingat bahwa manusia itu tempat lupa dan khilaf (innal insaana mahalul khatha wan nis-yaan), walau memang diberi kelengkapan paling sempurna daripada makhluk-makhluk lain.

Allah swt berfirman dalam QS al Ahzab: 72, yang artinya “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”.

Baca Juga:  Pemimpin yang Adil

Begitu beratnya amanah itu, sehingga bodoh sekali jika amanah itu dikejar-kejar dengan menghalalkan segala cara. Karena itu layaknya amanah itu sifatnya diberi, bukan dicari. Amanah itu diberikan kepada yang berhak, yang memang sudah dikehendaki oleh Allah swt. Sehebat apapun usaha kita, tidak akan memperoleh amanah itu. Sebaliknya dengan ikhtiar seadanya, jika dikehendaki-Nya, maka amanah itu sampai juga pada kita. Allah swt berfirman dalam QS an Nisaa:58, yang artinya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”

Dengan begitu terhadap amanah kita wajib menjalaninya dengan total, adil, terbuka, profesional, dan akuntabel. Jangan sampai menghianati, dengan menjalani amanah seenaknya tanpa bekerja yang sungguh-sungguh, sehingga gagal tunaikan amanah. Tidak tunjukkan integritas yang tinggi. Jika merasa gagal mewujudkan amanah, sehingga trust menurun, maka dengan legawa sebaiknya mengundurkan diri. Ingat
Firman Allah swt dalam QS al Anfal:27, yang artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Begitu pentingnya kita tidak boleh menghianati amanah, maka Rasulullah saw, bersabda sebagai berikut:

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

yang artinya “Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu”. (HR Imam Ahmad).

Orang yang memegang amanah tidaklah bebas dari ujian. Salah satu ujian yang berat adalah munculnya kepentingan pribadi atau golongan, sehingga mengabaikan kepentingan institusi. Kondisi inilah yang pelan-pelan bisa menggerogoti integritas diri untuk menjaga amanah. Kebijakan dan program yang dibuat lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, bukan institusi dan warga, rakyat, ummat, atau publik. Jika hal ini terjadi, ingat sabda Rasulullah saw,

Baca Juga:  Menjadi Pemimpin yang Baik

فَإِذَا ضُـيِّعَتِ الأَمَانَـةُ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ .

Artinya: ”…Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu kembali bertanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Rasulullah bersabda,”Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!”(HR Tirmidzi).

Kita dewasa ini menjadi saksi hidup, saya berhipotesis bahwa 2020 ini frekuensi kata KIAMAT muncul sangat tajam di seluruh penjuru dunia. Mengapa, karena Masjidil Haram dan Madjid Nabawi tidak lagi bisa digunakan untuk beribadah dengan bebas. Tempat-tempat ibadah harus dijauhi. Walaupun dengan alasan utama untuk kepentingan pencegahan penularan virus. Di samping kehendak Allah dan ujian dari Allah, yang utama adalah amanah yang diberikan kepada manusia tidak dijaga dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian dan kerusakan di mana-mana. Tidak hanya harta benda tetapi juga jiwa manusia yang melayang. Membikin orang cemas dan takut. Ini benar-benar ujian yang sangat berat. Semua harus introspeksi, mawas diri, bermuhasabah.

Kondisi apapun yang menyesakkan dada, kita sebagai orang beriman dan beragama seharusnya optimis. Kita punya iman, Islam, dan akhlaq yang bisa membimbing hidup kita untuk mengemban amanah lebih baik. Baik amanah terkait dengan jabatan, pekerjaan, harta, maupun anak (keluarga). Kita tunjukkan pengabdian kita sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Kita luruskan niat kita dalam emban amanah, kita jalani amanah sesuai dengan rambu-rambunya, dan kita persembahkan amanah untuk memberikan kepuasan kepada yang kita layani dan pertanggungjawaban kepada Allah swt dengan selalu mengharap ridlo-Nya (Radliyalloohu wa radluu’an). Karena amanah kita mestinya mendapat kemudahan jalan ke syurga, bukan mendapat kemudahan jalan ke neraka).

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini