Hikmah

Belajar Keteladanan dari Keluarga Nabi Muhammad Saw Menurut Quraish Shihab (1)

Belajar Keteladanan dari Keluarga Nabi Muhammad Saw Menurut Quraish Shihab (1)

Kita tahu bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. memberikan dampak yang sangat luar biasa terhadap perkembangan dan peradaban umat manusia. Maka sangat patut untuk dipelajari dan diteladani.

Namun, dibalik perjuangan Nabi terdapat keluarga Nabi yang selalu mendukungnya dan menjadi penyampai ajaran beliau hingga saat ini, sehingga perlu diteladani di dalam kehidupan sehari-hari.

Jika ditanya apakah perlu kita berbicara mengenai keluarga Nabi Muhammad Saw.? Kita bisa menjawab perlu bahkan sangat perlu. Sekurang-kurangnya ada empat hal yang menjadikan kita berkata bahwa itu perlu.

Pertama, Nabi bersabda: “Aku tinggalkan untuk kamu dua hal, yaitu al-Qur’an dan keluargaku. Kalian tidak akan tersesat jika berpegang kepada keduanya.” Jadi kita sudah punya al-Qur’an dan keluarga Nabi. Dengan meneladani kehidupannya otomatis kita akan berpegang kepada al-Qur’an, karena keluarga Nabi adalah penerjemahan dan perwujudan dari al-Qur’an.

Kedua, al-Qur’an menyatakan, “Katakanlah wahai Muhammad bahwa Aku tidak meminta upah dari upayaku kecuali cinta terhadap keluarga.” Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 23:

ذٰلِكَ الَّذِيْ يُبَشِّرُ اللّٰهُ عِبَادَهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ۗ قُلْ لَّاۤ اَسْئَـــلُـكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰى ۗ وَمَنْ يَّقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهٗ فِيْهَا حُسْنًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ

Artinya: “Itulah (karunia) yang diberitahukan Allah untuk menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Dan barang siapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS. Asy-Syura [42]: 23).

Jika demikian, maka kita diperintahkan untuk berterimakasih kepada Nabi Muhammad Saw. atas upayanya, tetapi kita tidak bisa berterimakasih secara sempurna. Maka, yang dituntut untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah cukup cintai keluargaku.

Ketiga, kita di luar shalat atau di dalam shalat seringkali bershalawat kepada Nabi dan keluarganya yang berbunyi “Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa aali sayyidina Muhammad”.

Keempat, Nabi Muhammad Saw. dijadikan teladan dalam segala hal. Nabi telah disiapkan dan dipilihkan buat Nabi segala sesuatu yang terbaik, termasuk keluarga Nabi yang di didik untuk menjadi teladan. Karena itu, hasil didikan Nabi bisa kita lihat melalui keluarga-keluarganya.

Dari sini, kita bisa berkata bahwa kita perlu mengenang kehidupan keluarga Nabi. Hanya saja, masalah yang muncul lebih jauh adalah siapakah keluarga Nabi itu? Ada banyak pendapat ulama, dari yang sempit sampai yang luas.

Ketika Anda berkata Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa aali sayyidina Muhammad ada yang berkata bahwa yang dimaksud keluarga Nabi adalah istri-istri dan anak cucu Nabi. Boleh jadi ada yang membatasi anak cucu Nabi yaitu, anak-anak Fatimah dan Sayyidina Ali yaitu, Sayyidina Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kultsum.

Baca Juga:  Tabaqat Ibnu Saad; Sejarah Nasab Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Sementara yang memperluas berkata bahwa keluarga Nabi adalah istri dan anak cucu Nabi serta anggota keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib ini membela Nabi walaupun ketika itu mereka belum memeluk agama Islam.

Pada tahun ke-6 hijrah Nabi diboikot karena mengajarkan ajaran yang dinilai oleh masyarakat Makkah sebagai melanggar ajaran leluhur. Dalam hal ini tidak boleh menyembah berhala dan sebagainya. Maka dilakukanlah upaya untuk mengehentikan Nabi, namun Nabi tidak mau berhenti dan terus berdakwah, akhirnya mereka memboikot Nabi dan keluarganya.

Pemboikotan itu berupa “Jangan berjual-beli dengan mereka, jangan berbesan dengan mereka, jangan bergaul dengan mereka selama tiga tahun.” Dan waktu itu yang berpihak kepada Nabi adalah keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib dan anak cucunya, sehingga mereka itulah yang dinamai keluarga Nabi.

Ada juga yang sangat umum berkata bahwa keluarga Nabi adalah seluruh umat Islam. Kita semua adalah keluarga Nabi. Namun penulis akan fokus membahas yang kedua yaitu, istri Nabi, anak cucu Nabi dan Bani Hasyim dan Bani Muthalib.

Tentang istri-istri Nabi

Jangan berkata bahwa Nabi berpoligami sehingga Anda mau juga berpoligami. Jika Anda berkata demikian, maka Anda sombong dan bodoh. Dikatakan sombong karena Anda mempersamakan diri Anda dengan Nabi. Dianggap bodoh karena Anda tidak tahu mengapa Nabi berpoligami.

Quraish Shihab mengatakan, bahwa Nabi berpoligami setelah hidup monogam selama sekian tahun (13 tahun bersama Khadijah). Nabi baru berpoligami setelah Islam tersebar dan diperlukan orang-orang yang bisa mencata dan mengetahui kemudian menyampaikan bagaimana kehidupan Nabi di dalam rumah, kehidupan Nabi bersuami istri, kehidupan Nabi mendidik anak cucunya dan seterusnya.

Dalam hal ini, tentu saja diperlukan banyak orang untuk merekam itu semuanya. Maka, inilah salah satu rahasia mengapa Nabi berpoligami. Nabi dinyatakan memiliki 9 orang istri. Oleh al-Qur’an dinamai ummahatil mikminin (ibu kaum beriman). Lalu apa maknanya?

Bahwa Anda harus menghormati dia karena dia adalah ibu Anda, tidak boleh menikahi mereka setelah rasul wafat. Karena mereka tidak sama dengan yang lain bila mereka bertakwa. Apa itu bertakwa?

Ketika bertakwa mereka mendapatkan kedudukan yang lebih baik dari yang lain, karena mereka melaksanakan tugas-tugasnya, menemani dan mendukung Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, jika mereka berdosa juga tidak sama dengan yang lain, dan mendapatkan balasan yang lebih buruk bahkan berlipat ganda.

Menarik, bahwa mestinya seorang istri itu selalu bersama suaminya dan menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukan terhorma suaminya. Mereka istri-istri Nabi dituntut dengan tuntutan yang sedemikian besar. Lebih banyak tuntunan terhadap istri-istri yang lain karena mereka adalah istri rasul.

Baca Juga:  Hakikat Mencintai Rasulullah, Mampukah Dijangkau Logika?

Itu artinya, kata Qurasih Shihab, jika Anda termasuk istri seorang pejabat yang terhormat, maka jadilah istri yang terhormat, karena istri yang terhormat itu mendukung suaminya. Demikian sebaliknya. Jika Anda merupakan suami dari istri terhormat, maka Anda harus menyesuaikan diri dengan kedudukan istri.

Kejadian dalam rumah tangga Nabi

Banyak kejadian dalam rumah tangga Nabi yang wajar kita hayati. Suatu waktu, ketika Nabi telah berada di Madinah maka kehidupan masyarakat Makkah sudah membaik. Pemasukan untuk kehidupan kelarga mulai meningkat. Sementara istri-istri Nabi menuntut dari Nabi, “Wahai Nabi tambah dong uang belanja kami, kami ini kekurangan.”

Tetapi Nabi walaupun tidak miskin betul penghasilannya terbatas. Maka ketika turun tuntutan itu Allah Swt. memerintahkan Nabi untuk menyampaikan, “Kalau memang kalian bersikeras menuntut tambahan belanja, maka saya akan memberikan tambahan belanja sesuai kemampuan saya. Tetapi karena saya tidak mampu melanjutkan ini seterusnya baiknya kita bercerai dengan baik-baik saja.”

Coba lihat. Nabi walaupun terbuka baginya kesempatan mendapatkan harta dari manapun, baik dari harta rampasan perang maupun dari harta yang dapat dimintanya dari sahabat-sahabatnya, tetapi Nabi enggan melakukan hal itu dan hanya mendapatkan apa yang wajar Nabi dapatkan. Dan itulah yang dibagi untuk keluarga dan istri-istri Nabi.

Lalu apa pelajaran yang bisa diambil dari sini?

Wahai para istri, terimalah dengan legowo hasil kerja suamimu. Jangan sampai engkau mendorong dan mendesak sehingga mereka melanggar ketentuan agama. Jangan sampai mereka mau menerima hadiah bukan pada tempatnya. Jangan sampai mereka korupsi. Jangan sampai mereka menyalahgunakan. Inilah pelajarannya, kata Quraish Shihab.

Karena itu, semua istri-istri Nabi setelah ditanya satu-persatu apakah mau cerai baik-baik saya kasih ganti rugi atau masih lanjut dengan saya, semua berkata “Kami ingin lanjut hidup sebagai suami istri dengan engkau.”

Kata Quraish Shihab, menjadi istri Nabi itu tidak berarti patuh dan tunduk dengan segala sesuatu apa yang dikehendaki Nabi, walapun bukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Nah, yang berkaitan dengan agama semuanya harus patuh, akan tetapi dalam kehidupan rumah tangga ada hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan pribadai dan lainnya.

Di sini kita menemukan bahwa, istri Nabi itu berdiskusi dalam urusan rumah tangga bahkan dalam urusan umat (berdiskusi dan bisa berbeda pendapat). Ada riwayat, kalau berbeda pendapat itu bisa jadi sehari semalam tidak ngomong, karena masing-masing mempertahankan pendapatnya.

Baca Juga:  Kecerdasan Profetik Nabi

Jadi jangan beranggapan bahwa istri itu harus nurut 100% pada suami. Tidak. Silahkan berdiskusi. Silahkan mengajukan argumentasi. Dan kalimat yang paling baik diucapkan oleh suami atau seorang istri setelah berdiskusi adalah boleh jadi pendapatmu benar.

Kehidupan rumah tangga adalah kehidupan dua sosok yang saling berstatus sama sebagai pasangan. Ia seperti alas kaki; satu kiri dan satu kanan; satu laki dan satu perempuan. Ia beda. Tetapi ia tidak dapat digunakan kecuali apabila keduanya dipakai dalam berjalan sama. Demikian juga keadaan seorang istri.

Hal yang menarik, diriwayatkan Nabi biasa berbeda pendapat dengan Aisyah ra. Nabi berkata berkata begini dan dia berkata begini, akhirnya mereka melakukan kesepakatan. Suatu ketika Nabi berkata kepada Aisyah, “Saya tahu kalau kamu lagi senang sama saya atau kamu lagi tidak senang sama saya.” Aisyah bertanya, “Di mana kamu tahu?”

Nabi menjawab, “Kalau kamau senang pada saya kamu berkata demi Tuhan Nabi Muhammad baru kamu menyebutkan sesuatu setelah itu. Tetapi kalau kamu tidak senang kepada saya kamu berkata demi Tuhan Nabi Ibrahim baru kamu menyebutkan sesuatu.”

Aisyah kemudian menjawab, “Benar. Saya mencintaimu. Saya tidak bisa meninggalkanmu, kecuali paling tinggi yang saya tinggalkan adalah namamu, tetapi sosokmu dan kepribadianmu tidak pernah meninggalkan daku.”

Inilah yang sangat menarik dari kehidupan keluarga Nabi. Bagaimana romantisnya Nabi dengan Aisyah. Demikian juga dengan istri-istri yang lain. Kata Aisyah, “Kalau saya minum, gelas yang saya gunakan untuk minum dan ada bekas bibir saya digelas itu, Nabi lalu minum di bekas bibir itu.” Sangat romantis.

Aisyah bercerita, pernah suatu ketika kami bertiga duduk bersama Nabi, saya dan istri beliau Ummu Salamah. Ummu Salamah menyodorkan kue masakannya lalu berkata pada Aisyah “Makan.” Kata Aisyah “Saya tidak suka kue ini.” Kata Ummu Salamah, “Makan kalau tidak saya penuhi wajahmu dengan kue ini.”

Akhirnya Ummu Salamah mengambil kue di piring itu baru meletakkan sambil tertawa terbahak-bahak di wajah Aisyah. Nabi pun tertawa. Nabi berkata, “Ambil juga itu kue letakkan jga di muka Ummu Salamah.” Jadi ada diskusi dan saling pengertian.

Ketika istri Nabi bernama Shofia akan naik unta, beliau agak pendek, tidak bisa naik unta yang sudah duduk. Lalu apa yang Nabi lakukan? Nabi duduk dan meletakkan pahanya dan menyuruh istrinya supaya injak pahanya. Sangat romantis kehidupan Nabi Muhammad Saw., dan romantisme inilah yang perlu kita wujudkan dalam rumah tangga.

Bersambung…

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Quraish Shihab, apa yang dijawab oleh Ali inilah tuntunan agama. Karena itu, Umar berkata, “Sungguh kehadiran […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah