Mengapa Ulama Nusantara tidak Menghendaki Fikih sebagai Hukum Positif Negara?

Teks al-Quran dan Hadis sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Permasalahan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lainnya yang muncul belakangan perlu mendapatkan legalitas fikih. Hal tersebut menjadi wajar apabila fikih dianggap paling bertanggung jawab untuk memberikan solusi agar perkembangan masyarakat tetap berada dalam koridor syariat. Namun demikian, “kiai-kiai menghendaki fikih sebagai etika sosial dan tidak menetapkan fikih sebagai hukum positif”. Mengapa demikian?

Indonesia dengan seperangkat aturan hukum di dalamnya termasuk dalam kategori negara hukum. Hal tersebut telah tersurat secara konstitusional. Pada saat yang bersamaan, bangsa Indonesia sangat kental dengan nilai keagamaan. Namun demikian, kiai-kiai dan ulama-ulama Nusantara tidak menjadikan fikih sebagai hukum positif negara, melainkan fikih sebagai etika sosial. Hal tersebut karena fikih bersifat luwes, mengutamakan maslahah, serta menyesuaikan dengan konteks. Para mujtahid akan memberikan jalan keluar melalui fikih dari persoalan kehidupan yang dihadapi. Hal ini berbeda dengan sifat hukum positif negara yang bersifat mengikat, statis, kaku, dan harus ditaati (mengingat Indonesia merupakan Negara hukum).

Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, etnis, suku, budaya, dan tradisi tentu tidak dapat diikat oleh hukum fikih. Hukum fikih tidak dapat dijadikan sebagai hukum positif negara hanya karena dalih warga Negara Indonesia mayoritas beragama Islam. Jika hukum fikih diterapkan, maka Indonesia akan kehilangan ruhnya sebagai Negara Pancasila. Pancasila dan Undang-undang yang sudah disahkan sesungguhnya sudah menjadi payung bagi seluruh umat beragama dan suku yang ada di Indonesia.

Namun demikian, hukum positif Negara berlaku untuk siapapun dan dalam keadaan apapun tanpa memandang latar belakang pelaku hukumnya, atau semua dipukul rata. Sedangkan fikih, tidak demikian, karena fikih mengedepankan maslahah dan harus mengetahui illat-nya.

Baca Juga:  Kiai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20

Apabila fikih diterapkan sebagai hukum positif negara, maka fikih akan menjadi kaku, bahkan bisa jadi (separah-parahnya) akan menutup pintu ijtihad. Sedangkan fikih sebenarnya ada agar umat Islam tidak berbuat yang menyimpang dari al-Quran dan Hadis. Selain itu, fikih menjadi jalan keluar bagi umat Islam yang sedang mengalami masalah, baik dalam hal ibadah, ekonomi, sosial, keluarga, dan lain-lain. Fikih akan mengikuti zaman dengan tetap memperhatikan uṣūl dan furu`.

Fikih akan dipandang sebagai hukum yang saklek dan kaku apabila ia menjadi hukum positif negara. Akibatnya, semua orang harus menaati hukum sesuai kaidah fikih dengan mengabaikan illat. Negara Indonesia akan mengarah menjadi Negara Agama Islam, semua orang harus mengikuti aturan Agama Islam tanpa mempedulikan latar belakang agama atau keyakinan yang dianut masyarakat, bahkan tidak menutup kemungkinan, Negara Indonesia akan berubah tatanannya menjadi sistem khilafiah. Lalu, bagaimana nasib para pemeluk agama lain yang memiliki tata norma sendiri dalam mengatur umat bergamanya?

Kemungkinan, bisa saja jika fikih diterapkan sebagai hukum positif akan diberlakukan hanya untuk umat muslim di Indonesia saja, non-muslim diberikan hak untuk mengatur kehidupannya dengan tata norma dan aturan ideal masing-masing agama. Namun dari pada itu, umat Islam sendiri tidak akan dapat berkembang. Umat Islam akan terjebak dalam sistem hukum masa lalu yang keadaannya sudah berbeda dengan perkembangan zaman yang semakin krusial dengan masalah kehidupannya yang mencakup segala aspek. Hal tersebut akan terjadi karena fikih dianggap sebagai hukum yang final dengan segala aturannya, serta menutup pintu ijtihad para ulama.

Dengan demikian, penulis mengamini Kiai Sahal Mahfudh serta kiai lainnya yang menghendaki fikih sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif. Hal ini semata-mata agar keilmuan fikih tidak hanya berhenti pada wilayah halal-haram, sunnah-wajib, atau dosa-pahala saja. Jauh dari pada itu, fikih menjadi tameng umat Islam dalam menghadapi masalah yang semakin berubah dan beragam dari zaman ke zaman.

Toifah
Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama