Kita awali, pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, ia merawat ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya ia bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangga yang juga kekurangan, Uwais al Qorni namanya.
Uwais al Qorni lahir 594 M, yang artinya ketika Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah pd tahun 622 M, Uwais sudah berumur ± 28 tahun, meski ia hidup dijaman Rasulullah namun tidak sempat berjumpa dengan Baginda Nabi saw, jumhur ulama tarikh mengolongkan Uwais sebagai kalangan tabi’in Uwais dikenal banyak orang sebagai si miskin yang mempunyai penyakit sopak (warna kulit yang putih tapi di sebagian badan saja).
Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata: “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak memengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Ia telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad saw yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah.
Peraturan-peraturan yang terdapat di dalam ajaran Islam sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.
Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Rosillulah secara langsung. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah mendapat cedera dan giginya patah terkena lemparan batu oleh musuh. Kabar ini terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada baginda Nabi saw sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat?.
“Wahai anakku, Uwais! mungkin aku tidak akan lama lagi bisa bersamamu. Tolong, ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan ibadah haji,” kata ibunya.
Setelah mendengar permintaan dari ibunya tersebut, Uwais terdiam dan termenung memikirkan caranya agar sang ibu bisa menunaikan ibadah haji. Jika memakai kendaraan berupa unta maupun keledai jelas tidak mungkin karena tidak punya biaya.
Jalan satu-satunya yakni menggendong ibunya dari kota kelahirannya Al Qarn Yaman, meski harus menempuh jarak yang sangat jauh perjalanan menuju ke Mekkah (Yaman ke Mekkah kira-kira 1.100 Km). Selain itu juga akan melewati padang tandus yang luas dan sangat panas.
Setelah berpikir cukup lama mencari jalan keluarnya, kemudian Uwais memutuskan untuk membeli anak lembu dan membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi, Uwais bolak-balik menggendong anak lembu tersebut naik turun bukit. Bahkan ia sampai disebut gila oleh orang-orang yang melihat tingkah lakunya.
Setelah 8 bulan berlalu, dan masuk pada musim Haji. Lembu milik Uwais pun beratnya telah mencapai 100 kilogram, begitupun dengan otot Uwais yang semakin kuat. Ia semakin bertenaga mengangkat barang. Akhirnya orang-orang pun mengetahui maksud dari Uwais menggendong lembunya setiap hari itu ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya.
Uwais pun menggendong ibunya berjalan dari Yaman menuju ke Makkah. Begitu besar cintanya Uwais terhadap ibunya. Ia rela menempuh perjalanan yang jauh dan tidak mudah itu hanya demi ibunya.
Ketika Wukuf pun Uwais dengan tegap dan gagah, ia tetap menggendong ibunya melaksanakan wukuf di Ka’bah. Melihat perjungan anaknya tersebut, ibunya pun terharu dan bercucuran air mata bahagia telah melihat Baitullah sebelum ia meninggal.
Di hadapan Ka’bah, Uwais berdo’a: “Ya Allah, Ampunilah semua dosa ibuku,” ibunya pun bertanya.” Lalu bagaimana dengan dosamu?”, Lalu uwais menjawab “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”
Seketika itu juga penyakit sopak-nya sembuh atas izin Allah Swt, hanya tertinggal bulatan putih di telapak tanganya. Yang mana bulatan putih tersebut sengaja di sisakan sebagai tanda bagi Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib agar dapat mengenali Uwais kelak.
Selesai menunaikan Ibadah Haji Uwais meminta ijin kepada Ibunya untuk berkunjung ke rumah Nabi saw.
Sang ibu memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, “Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Ibunya di tinggal di Makkah. Dengan rasa gembira ia berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan.
Berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak ±350 km dari Makkah. Medan yang begitu ganas dilaluinya, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi saw yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi, sambil mengucapkan salam diketulah pintu, dari balik tabir Aisyah menjawab salam.
Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang.
Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan yang di tinggal di Makkah, agar ia cepat pulang,” Engkau harus lekas pulang”.
Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada ‘Aisyah untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya.
Sepulangnya dari perang, Nabi saw sudah mengetahui tanpa Aisyah bercerita terlebih dahulu tentang afanya Uwais yang bertamu, Nabi saw langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya.
Nabi menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit).
Mendengar perkataan baginda Rasulullah, Aisyah dan para sahabat tertegun.
Rasulullah bersabda:
“Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah² telapak tangannya”.
“Kemudian Rasullulah, memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab ra dan bersabda, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”. (Hr Muslim).
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Rasullulah wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ra telah di estafetkan Khalifah Umar. Suatu ketika, Umar teringat akan sabda Nabi. tentang Uwais al Qarni, sang penghuni langit. Ia segera mengingatkan kepada sayyidina Ali. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais, apakah ia turut bersama mereka.
Rombongan kafilah dari Yaman yang hendak menuju Syam silih berganti melewati Madinah, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwaisi turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar . dan sayyidina Ali mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al Qorni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan salat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.
Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi. Memang benar Dia penghuni langit ?.
Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?”
Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais al Qorni” Ya Amirul Mukminin”.
“Dalam pembicaraan mereka, di- ketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia”. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu.
Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka.
Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah, “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”.
Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata, “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”.
Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar.
Setelah “bertawasul” kepada Uwais al Qorni, Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya.
Segera saja Uwais menolak dengan halus, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang.
Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”. Sikap seorang waliyullah yang menempuh suluk menyendiri dimiliki Uwais al Qorni.
Kemudian Amirul Mukminin meyampaikan “amanah” Rasulullah untuk diberikan kepada Uwais al Qorni berupa sebuah Jubah. “Khirqah Asy Syarifah” adalah jubah Rasulullah yang diberikan Jibril pada malam Mi’raj. Rasulullah kemudian memberikannya kepada Uwais melalui perantara Umar dan Ali.
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais telah pulang ke Rahmatullah, pada Tahun 657 Masehi, bertepatan dengan peristiwa perang “Shiffin” antara pihak Ali dan Muawiyyah.
Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.
Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang mengali kuburnya hingga selesai.
Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah tetangga Uwais yang pernah ikut berperang pada masa pemerintahan Umar.)
Meninggalnya Uwais al Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.
Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia² asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya.
Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.
Mengenai Jubah yang diberikan kepada Uwais al Qorni, sebagaimana riwayat dari keluarga Al Uwaisi dengan sanad musalsal (turun temurun), diperkuat dengan penelitian modern, disimpulkan bahwa Khirqah ini tidak dibuat oleh tangan manusia.
Hal ini terlihat dari kontruksi kainnya yang rumit, yang mustahil teknologi pembuatannya telah ada pada masa Rasulullah, juga kandungan material dalam seratnya yang berbeda dari kain pada umumnya.
Diceritakan ketika Uwais wafat tanpa memiliki keturunan, Khirqah ini diberikan kepada saudaranya, Syahabuddin al Qarni dan disimpan secara turun-temurun oleh anak cucunya.
Keluarga ini selanjutnya membentuk marga Al-Uwaisi. Kemana pun mereka pergi, masyarakat dan penguasa setempat selalu menghormatinya, itu tidak lain karena berkah dari Khirqah yang mereka miliki.
Pada masa Abbasiyah, keluarga ini menetap di Baghdad, lalu pindah ke Aydin (Turki bagian tenggara) sebab kondisi di Baghdad tidak kondusif.
Sekitar tahun 1600-an, saat Ukrullah Al-Uwaisi menjadi kepala marga, Sultan Ahmed I meminta keluarga ini untuk tinggal di Istanbul. Mereka tinggal di wilayah Fetih dan tidak pernah pindah lagi hingga hari ini.
Pada tahun 1780 Sultan Abdul Hamid I membangun sebuah ruangan khusus untuk menyimpan Khirqah. Kemudian pada masa Sultan Mehmed II, tepatnya tahun 1811, ruangan tersebut diperbesar agar lebih banyak menampung orang yang berziarah.
Selanjutnya pada tahun 1847 Sultan Abdul Majid I membangun masjid dengan nama Hirka-i Serif Cami. Ruangan yang sebelumnya digunakan untuk menyimpan Khirqah kini menjadi bagian dari masjid tersebut.
Saat ini otoritas Khirqah dipegang oleh Baris Samir, generasi ke-59 dari silsilah Al-Uwaisi, dengan didampingi oleh pemerintah Turki. []
والله اعلم
[…] Kyai H. Maksum Abdurrahman adalah contoh ulama yang memadukan ajaran tasawuf dan thoriqoh dengan kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang beliau ajarkan, seperti kedekatan […]