Halal Bihalal sebagai Tradisi Warisan yang Harus Dilestarikan

Indonesia merupakan negara yang penduduknya bisa digolongkan mayoritas beragama Islam terbanyak di dunia. Tidak heran jika di negara kita ini mempunyai banyak aneka ragam tradisi keagamaan yang tidak terdapat di negara negara islam lain. Tradisi keagamaan di Indonesia yang paling sering kita dengar antara lain seperti, Tahlilan, Fidaan, Qasidah, Shalawatan, Kenduri (selamatan) dan Halal bihalal. Salah satunya yaitu tradisi halal bihalal, merupakan tradisi yang dilakukan pada awal bulan syawal setelah melaksanakan shalat idul fitri. Meskipun praktik pelaksanaan halal bihalal berbeda beda antara satu daerah dengan daerah lainnya dikarenakan Negara Indonesia mempunyai 3 waktu yang berbeda di setiap daerahnya, 3 waktu tersebut diantaranya yaitu Waktu Indonesia bagian Barat (WIB), Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), Waktu Indonesia bagian Timur (WIT) , untuk itu tidak menjadi halangan terhadap umat islam di Indonesia yang berdomisili pada 3 waktu yang berbeda-beda mereka tetap dianjurkan untuk memanfaatkan momentum halal bi halal guna menjalin silaturahim  dan saling memaafkan.

Tradisi halal bi halal tidak bisa di jauhkan dengan peristiwa hari raya Idul Fitri. Kata  عاد berarti kembali maksudnya kembali ke keadaan semula. Dan  فطر/ افطار artinya menurut bahasa yaitu berbuka (jika masih berkaitan dengan puasa)  kejadian agama yang benar, atau kesucian. Dalam pandangan Al-Qur’an mengartikannya dengan asal muasal kejadian manusia bebas dari dosa dan menuju kesucian atau bersih. Jadi kembali ke keadaan semula yang ketika pada bulan Ramadhan diharuskan untuk menahan lapar disiang hari kini sudah bisa makan kembali pada siang hari. Hari raya Idul Fitri adalah hari berbuka puasa ( tidak berpuasa lagi setelah sebulan berpuasa dibulan Ramadhan). Saat tiba waktunya mendirikan shalat Ied yang dilaksanakan di tanah lapang atau di Masjid umat Islam disunahkan untuk makan terlebih dahulu pada pagi harinya sebelum berangkat menunaikan sholat Ied hal ini bertujuan agar umat Islam mengetahui bahwa bulan Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari berbuka puasa bersama sama bagi seluruh umat Islam.

Baca Juga:  Menumbuhkan Tradisi Literasi Santri di Era Digital

Jika mendengar tentang istilah “halal bi halal” pasti kita akan mengira bahwa kata tersebut berasal dari Bahasa Arab, namun sebenarnya kata halal bi halal murni dari Bahasa Indonesia bukan dari Bahasa Arab sebab halal bi halal merupakan sebuah tradisi yang lahir di Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Halal bi halal artinya hal maaf-memaafkan atau saling memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Islam mengajarkan umatnya untuk menanamkan sikap saling memaafkan, dalam hal ini tidak hanya dilakukan pada momen selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan saja, melainkan alangkah baiknya seusai melakukan perbuatan yang salah terhadap orang lain maka hendaknya segeralah meminta maaf agar kesalahan yang diperbuatnya baru saja akan diampuni oleh Allah SWT. Allah SWT menghargai seseorang yang bermurah maaf kepada orang lain. Hal tersebut terdapat dalam Q.S. Ali Imran ayat : 134

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 134)

Tradisi halal bi halal merupakan sebuah tradisi yang dimana sekelompok orang Islam di negara Indonesia berada di dalam tempat tertentu untuk melakukan aktivitas bersalam-salaman sebagai ungkapan saling memaafkan hal ini bertujuan agar yang haram menjadi halal. Oleh sebab itu halal bi halal memiliki makna filosofis tersendiri yaitu mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan suatu hubungan dengan cara mengampuni kesalahan, dan melakukan pembebasan kesalahan dengan cara memaafkan.

Lalu, apakah Halal bi halal bisa diartikan sebagai media silaturahim?

Baca Juga:  Ashabus Shuffah Sebagai Inspirator Tradisi Santri dan Dilematik Sistem Pendidikan ala Pesantren

Silaturahim sendiri terdiri dari dua kata yaitu Silah dan Rahim. Silah berasal dari kata wasl yang artinya menyambung dan menghimpun. Jika dipandang dari objek sasaran kata silah adalah perkara yang putus dan terserak. Sedangkan kata Rahim pada awalnya dimaknai kasih sayang kemudian lama kelamaan artinya berkembang menjadi Peranakan (kandungan), tetapi kedua arti tersebut tidak dapat di pisahkan karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Namun dari kedua arti tersebut yang lebih konkrit mengenai kata silaturahim adalah kunjungan dan pemberian yang tulus (ikhlas). Arti silaturahim tidak hanya sekedar membalas kebaikan seseorang namun juga membalas kejelekan seseorang dengan kebaikan dengan tujuan untuk menyambung hubungan yang baik agar tidak memutus hubungan dengan orang yang bersangkutan. Nabi Muhammad SAW bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَدُ بْنُ كَثِيٍرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ اْلاَعْمَشِ وَالْحَسَنِ بْنِ عَمْرٍو وَفِطْرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ عَمْرٍو – وَقَالَ سُفْيَانُ لَمْ يَرْفَعْهُ اْلاَعْمَشُ اِلَى النَّبِيِّ صلى اللّه عليه وسلم وَرَفَعَهُ حَسَنٌ وَفِطْرٌ، وَعَنِ النَّبِيِّ صلى اللّه عليه وسلم قَالَ لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Artinya :”Bukanlah orang yang bersilaturrahimitu orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim ialah yang menyambung perkara yang putus”.

Berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW tersebut menjelaskan silaturahim artinya mendekatkan diri kepada orang lain telah sekian lama terpaut jarak yang jauh, dan menyambung kembali komunikasi yang dulunya sempat terputus. Silaturahim merupakan bagian esensi tradisi halal bihalal yang sering dilakukan oleh umat Islam setelah hari raya Idul Fitri. Dengan adanya silaturahim hubungan antara seseorang akan sempurna, dan akan tersebar rasa kasih sayang dan rasa cinta didalamnya. []

Naufal Alaudin Fahmi
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang bidang Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini